"Dan semesta mendadak berpaling dariku. Merebut senyum dan juga tenang dalam hatiku. Tepat di hari genapnya usiaku menjadi dua puluh."
***
Padahal aku kira tempat itu—pasar malam samping mall—akan selalu menjadi tempat yang menyenangkan bagiku. Aku kira, tempat itu akan menjadi tempat yang pasti aku kunjungi setiap tahun bersmanya. Merayakan betapa hebat kita berdua bisa bertahan dengan berbagai masalah yang terjadi di tahun-tahun itu. Dan aku kira, dia tidak akan pernah mengecewakanku sampai sebegininya. Namun ternyata aku salah. Salah besar. Dia tidak pernah sejatuh cinta itu padaku.
"Stasiun Manggarai, hati-hati melangkah dan perhatikan celah peron. Manggarai Station, step carefully and pay attention to the platform gap." Suara pemberitahuan menyadarkanku. Ternyata sudah sampai Stasiun Manggarai. Aku mengusap kedua pipiku dengan cepat. Menghilangkan sisa-sisa kesedihan di sana. Hari beranjak siang dan aku belum makan sejak pelarian ini pagi tadi.
Iya, bagiku pelarian paling menyenangkan adalah melakukan sebuah perjalanan. Seperti saat ini, aku memutuskan pergi setelah malam tadi menghabiskan berlembar-lembar tissue. Meskipun aku tahu betul akan bersedih sepanjang perjalanan, tapi melihat banyak manusia berlalu-lalang dengan kesibukannya masing-masing membuatku sedikit terhibur. Setidaknya, beberapa dari mereka ada yang sama sepertiku, berjalan malas dengan tatapan menyedihkan. Sendirian dengan headset terpasang di telinganya. Benar-benar persis sepertiku. Namun ini juga tidak sepenuhnya menyenangkan. Aku akan kesal sekaligus sedih ketika meliihat sepasang kekasih berjalan, bergandengan tangan dengan mesranya, tertawa seperti dunia hanya milik berdua. Aku hanya bisa tertawa sinis. Dulu aku juga pernah begitu bahagia seperti mereka. Sayangnya, orang yang saat ini membuatku hancur dan yang paling sering menjadi alasan tawaku merekah adalah orang yang sama.
***
Entah persisnya sejak kapan, Fahru memang seperti sedikit berubah. Aku pernah bertanya sesekali tentang sikapnya yang tidak biasa. Namun, dia menyatakan dirinya baik-baik saja. Akhirnya aku beranggapan mungkin itu hanya perasaanku. Hingga malam tadi, Kiki mengirim sebuah foto. Yah, salahku juga yang terlampau ingin tahu. Padahal Kiki sudah memperingatkan untuk lebih baik tidak melihatnya. Aku bersikeras ingin melihatnya, berjanji tidak akan marah, bersedih, bahkan berlarut. Namun, yang terjadi setelah Kiki mengirimkan foto itu justru kebalikannya.
Aku menyusul Kiki ke tempat dimana dia mendapatkan foto yang aku lihat. Berharap semua itu hanya salah paham. Namun, usahaku menahan tangis sepanjang perjalanan menuju tempat Kiki berada sia-sia. Yang aku dapatkan hanya sebuah kekecewaan.
Aku melihat Fahru duduk berdua dengan seorang perempuan. Cara dia memandang perempuan itu sama persis seperti cara dia memandangku. Tak lama kemudian mereka bangkit, berjalan menyusuri taman kota. Bergandengan tangan. Aku tercekat, rasanya seperti ditusuk dengan ribuan jarum. Kali ini, Kiki memainkan perannya dengan sangat hebat. Tidak mengatakan satu patah kata pun. Hanya melingkarkan lengan di pundakku. Tidak membiarkan aku terluka sendirian.
"Ru, gua nggak suka diselingkuhin." Hanya itu pesan yang sanggup aku ketik.
Aku lihat dia mengambil gawainya di saku. Berpikir sejenak.
"Mana ada si, Ta, orang yang suka diselingkuhin," jawabnya beberapa menit kemudian.
Ya Tuhan, dia masih bisa sesantai itu. Aku benar-benar merasa tertipu dengan sikap santainya. Selama ini, aku menyukai segalanya dari dia. Aku menyukai sikap santainya, aku menyukai kesederhanaannya, aku menyukai setiap perlakuan-perlakuan darinya yang bisa membuatku mematung. Aku menyukainya, teramat menyukainya.
"Kita udahan aja, ya. Lu boleh nengok ke belakang kalo mau tau alasannya."
Benar saja, dia menoleh persis setelah pesan itu terkirim. Melihat diriku yang kacau dan Kiki yang memasang tempang menyeramkan. Dia mulai berjalan ke arahku. Namun Kiki lebih dulu menghampirinya. Melayangkan satu tamparan keras tepat di pipinya. Kiki benar-benar sangat mewakiliku.
"Tolong jangan temuin Gita lagi, Ru."
"Ki please banget, gua mau jelasin semuanya dulu ke Gita," ucapnya memohon.
"Percuma, Ru. Lu lanjutin aja deh tuh jalan sambil gandengan tangan sama cewe itu. Nyesel gua udah dukung lu sama Gita." Kiki kembali berjalan ke arahku. Bergegas mengantar aku pulang.
***
Aku menarik napas panjang untuk yang kesekian kalinya. Beginilah awal usia dua puluhku. Tepat di hari ulang tahun yang harusnya menyenangkan, aku justru sendiri—lebih tepatnya menyendiri—dengan luka hati yang menganga. Menyedihkan sekali. Benar-benar awal yang sangat tidak baik. Aku hanya berharap semoga yang menantiku di depan sana adalah kebahagiaan dan kebaikan. Meskipun aku ragu, tetapi aku sungguh berharap tahun ini akan menjadi tahun yang baik.
Aku kembali mencari sandaran setelah satu bungkus roti dan satu kotak susu sudah berada digenggaman. Menunggu kereta arah Tanah Abang sembari melahap roti dengan amat terpaksa. Mengamati gerbong-gerbong yang datang dan pergi silih berganti.
Kalau bisa, aku ingin menjadi seperti stasiun ini. Dia bisa dengan mudah melepaskan gerbong-gerbong yang memang harus pergi, dan selalu menyambut gerbong-gerbong baru yang datang. Tidak pernah menahan yang ingin pergi dan menghalangi yang ingin datang. Aku ingin memiliki hati seluas itu. Aku ingin menganggap kepergian seseorang adalah suatu hal yang harus aku maklumi, hingga hatiku tidak sesakit ini setiap menemui kehilangan atas seseorang atau sesuatu yang amat berharga.
Kalau dipikir-pikir,aku bodoh sekali menangisi dia sampai melakukan perjalanan ini untuk lari darinya. Yah, mau bagaimana lagi, ternyata rasa sayangku untuknya sudah segini besarnya. Sampai-sampai aku tidak yakin bisa dengan cepat membuka hati untuk orang lain. Bagiku, ini menyakitkan. Teramat menyakitkan. Lagi-lagi aku menarik napas panjang. Ya Tuhan, aku sudah tidak sanggup menahan air mata ini. sekali lagi, izinkan sekali lagi saja aku menangis karenanya. Setelah ini, aku berjanji tidak akan menangis karena dia lagi.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Usia Dua Puluh "Ketika Semesta Mendadak Berpaling Dariku"
Phi Hư CấuAku Gita. Usiaku saat ini 21 tahun. Satu tahun yang lalu, satu minggu sebelum aku menginjak usia 20, aku mendapatkan kehilangan pertamaku. Dan sialnya, kehilangan-kehilangan lain menyusul menghancurkan hidupku. Cerita ini ditulis dalam rangka berse...