Dia Masih Ada
Karya: NaylaNba"Innalillahi wainnailaihi roji'un."
Sepenggal kata yang mampu membuat semua aktivitas orang terhenti itu menggema di mana-mana. Mereka terkejut, tak terkecuali aku.
Pandanganku beralih ke samping. Kosong. Piara yang terkenal rajin, hari ini tidak datang, tanpa keterangan.
Saat walikelasku masuk dan mengumumkan jika Piara sudah tiada karena bunuh diri semalam, membuatku sangat terguncang.
"Hei."
Aku tergagap, menoleh ke asal suara.
"Ayo," katanya yang membuatku bingung.
"Ke mana?"
"Ya, ke rumah Piara, lah. Lo yang sabar, ya, Nai." Ia tersenyum lalu meninggalkan bangkunya, pergi ke luar kelas tanpa memberitahuku sesuatu.
Aku rasa otak dan pikiranku tidak berjalan sesuai rencana, kaki ini perlahan mengikuti teman-teman yang satu per satu meninggalkan ruangan. Padahal aku tidak ingin ke sana.
***
Ibunya Piara membuka penutup kain di kepala gadis itu. Aku yang berada tepat di hadapannya tak bereaksi sedikitpun. Pasalnya, mencoba untuk tidak percaya bahwa temanku sudah tiada. Ini pasti mimpi, karena kemarin aku masih bermain bersamanya.
Aku yakin, keluarga Piara menutupi alasan kenapa ia bunuh diri. Ketika ditanya, mereka seperti menghindar. Juga, pasti ada alasan di balik kematian sahabatku yang tiba-tiba ini, karena Piara adalah anak yang baik dan rajin selama ini.
***
Tak terasa, beberapa hari sudah kematian Piara. Aku mendesah pelan karena hari ini harus duduk sendirian lagi. Setiap sekolah kurasakan jika Piara masih hidup, masih duduk di sebelahku.
"Ah, ngomong apa sih, gue," gumamku saat tersadar jika sekarang sudah waktunya istirahat.
"Lo mau ikut gue ke kantin?"
"Ha?!" Aku refleks menoleh ke samping. Tepat di hadapan muka Raja, ketua kelas.
Besyukur. Kukira siapa tiba-tiba manggil sangat dekat dengan telinga.
"E – enggak, lo aja," paparku berusaha tersenyum.
"Ya udah, kalo gitu. Lo juga jangan sendirian di sini, apalagi sambil melamun, nggak baik." Pria itu tersenyum setelah selesai menakut-nakuti. "Ya udah, gue duluan." Setelah itu, ia pergi.
Dahiku mengernyit heran. Rasa penasaran membuatku menoleh ke belakang. Kosong. Ah, ternyata kelas sudah kosong dan aku tidak menyadarinya sama sekali. Dasar!
"Naida."
Mendengar gumaman seseorang yang terasa dekat sekali dengan telinga, membuatku refleks menoleh ke samping. Tidak ada siapa-siapa.
"Naida."
Bulu kudukku berdiri saat gumaman itu kembali memekakkan telinga, lebih mengerikan dari yang sebelumnya, seolah siap menerkam kapan saja. Kali ini aku tidak menoleh, rasa ketakutan sudah sepenuhnya menguasai, hingga untuk bergerak saja rasanya sulit.
Akhirnya, kuberanikan diri menoleh perlahan. Tampak seorang perempuan kurus sedang menatapku dengan kepala yang miring, refleks aku melompat sembari berteriak, hingga berdiri di atas kursi.
Kali ini jelas aku bisa melihat gadis itu. Piara. ia tengah tersenyum mengerikan di sampingku dengan muka sangat pucat, leher yang mengeluarkan darah hingga membanjiri permukaan dadanya, serta bajunya yang putih bercampur darah di mana-mana menambah kesan seram.
"Lo pasti la – lagi ngehalu, Nai. Pi – Piara udah meninggal."
Aku berusaha tenang, bisa jadi sekarang aku sedang bermimpi. Tidak. Dia nyata. Dia masih ada! Bahkan, beberapa kali aku mengerjap pun dia tetap ada.
"Pergi, gue mohon jangan gangguin gue!" teriakku frustasi sembari meredam isakan agar tak terdengar.
"Kenapa kamu suruh aku pergi? Bukannya kamu rindu sama aku?"
Ah, tuhan, ini mustahil. Aku bukan cenayang yang bisa melihat hantu.
"Jangan takut. Aku masih sama. Aku masih sahabatmu."
Jantungku seakan mencelos keluar, kaki yang bertumpu di atas kursi pun gemetar hebat. Pelan-pelan aku turun dari bangku, sedikit menjauh dari sosok yang mengaku sebagai Piara.
Tampak jelas, leher yang bersimbah darah itu perlahan menghilang tiada jejak. Sesaat setelah itu, kepala Piara tiba-tiba bergerak. Terdengar suara patahan tulang yang membuat siapa saja takut sampai ke ubun-ubun. Kepala itu meneleng ke kiri, hingga tampak lehernya berbelok. Mukanya yang hanya pucat tiba-tiba muncul banyak luka seyetan hingga ke sekujur tubuh. Luka seyetan yang benar-benar memilukan.
Perlahan, tangis meredam suara sunyi di kelas. Sosok itu menangis kencang di hadapanku yang diam mematung. Ia berjalan dengan terseok-seok ke arahku, anehnya, aku tak bisa lari, bagai semua pasokan oksigen di dalam diri sudah terkuras.
"Pergi, gu – gue – mo – mohon."
"Naida tolong aku."
"Tidak! Ja – jangan mendekat." Sosok itu kembali berjalan pelan ke arahku.
"Aku ingin balas dendam."
"Balas dendam."
"Mereka harus mati!"
"Mati seperti aku."
"Cukup. Pleasee." Aku menutupi telinga sembari terduduk lemas. Suara itu benar-benar mengerikan dan memilukan, membuat siapapun yang mendengar, ingin ikut prihatin, walau tak tahu apa yang tengah terjadi.
Mula dari saat itu, hidupku tidak tenang. Siang, malam, sosok itu selalu menakutiku. Hingga, suatu hari aku memberanikan diri untuk bertanya, 'apa maumu?'
Ternyata kedatangannya bermaksud untuk menceritakan apa yang terjadi sehingga ia bisa mati bunuh diri. Dari dia hamil karena perbuatan bejat pamannya, hingga menjadi korban broken home, dibuang, seolah dia yang salah. Akhirnya, Piara muak! Dan memutuskan untuk mengakhiri semuanya.
Sahabatku itu masih ada. Dia selalu duduk di sampingku hingga larut malam. Dia selalu ada di bangku itu, walau terkadang muncul dengan wujud mengerikan, dan hanya aku yang bisa melihatnya.
Dia masih ada di sana, walau aku sudah tamat sekolah. Dia tetap ada di bangku nomor tiga sebelah dinding. Piara akan marah jika ada seseorang yang menduduki kursinya, walau hanya semenit pun. Bisa dari banyak orang yang kesurupan, hingga tak sadarkan diri tiba-tiba, juga pernah menampakkan diri di depan mereka.
Dia masih ada. Sahabatku belum mati.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Diary
RandomBerisi karya-karya dari anak Forum Lingkar Pena Ranting Mansadel Lubuklinggau. Mulai dari puisi, cerpen, cermin dan pentigraf. 18/1/22 ~Berbakti, Berkarya, Berarti~