Romanoff Lab

7 4 0
                                    


Bubble Universe 0401057
Sea of the Abyss
Romanoff’s Lab, Siberia

“Aktivitas otak subjek C-007 normal. Tekanan darah normal. Infeksi jaringan tidak terdeteksi. Subjek menunjukkan kecocokan dengan larutan. Subjek mulai memasuki medan kuantum.”

“Aktivitas otak subjek C-006 normal. Tekanan darah normal. Infeksi jaringan tidak terdeteksi. Subjek menunjukkan kecocokan dengan larutan. Subjek mulai memasuki medan kuantum.”

“Subjek C-008 menunjukkan penolakan pada reaksi dengan medan kuantum. Tekanan darah tinggi. Subjek berpotensi mengalami infeksi tingkat lanjut. Subjek memasuki medan kuantum. Subjek melakukan penolakan pada eksperimen. Subjek dalam kondisi kritis. Memulai prosedur penghentian eksperimen. Menjalankan penghentian eksperimen.”

Operator yang melaporkan baru akan menekan tombol penghentian eksperimen sebelum gerakan tangannya ditahan oleh seorang wanita paruh baya. Ia memiliki mata zamrud, memakai jubah lab, dan kacamata tebal. Wanita itu tampak dewasa dengan riasan natural di wajahnya. Ia tersenyum simpul sambil menggeleng pelan.

Setelah sang operator mengangguk, wanita itu segera berdiri tegak sembari berteriak, “lanjutkan eksperimen! Jangan ada keraguan sedikit pun. Subjek harus berhasil mencapai realitas kuantum.” Ia diam sejenak, lalu berbisik, “eksperimen ini harus berhasil. Anak-anak muda harus bebas dari dunia yang sudah rusak ini.”

Operator kembali memandang ke depan tanpa ragu.

“Memulai kembali sistem. Meningkatkan daya: 200%. Subjek menunjukkan reaksi pada realitas kuantum. Subjek C-006, C-007, C-008 akan memasuki medan kuantum. Memulai transfer. Menentukan koordinat. Membebaskan gangguan. Subjek siap dikirimkan. Memulai operasi pengiriman.”

Ketiga subjek yang dimaksud sedang berada dalam tabung berisi cairan khusus. Ketiganya terlelap hingga sebuah reaksi elektro membuat tubuh mereka lenyap dalam cahaya. Persis seperti debu yang tersapu angin.

Seketika semua orang di lab terdiam. Suasana kembali hening dan Profesor Anna hanya bisa membebaskan air matanya.

“Subjek terseret dalam anomali Sea of The Abyss. Koordinat subjek tidak terdeteksi. Subjek gagal mencapai koordinat yang dituju. Subjek lenyap. Eksperimen gagal.”

***

Gadis remaja itu tidak dapat merasakan apa pun. Ia tenggelam dalam kegelapan abadi. Seolah tubuhnya telah menghilang dan jiwanya membeku dalam waktu yang terhenti. Ia bertanya pada dirinya sendiri, “di mana aku? Tempat apa ini? Kenapa aku di sini? Siapa di sana? Tolong aku. Hei, apa tidak ada satu orang pun yang bisa mendengarku?”

Namun, tidak satu pun jawaban datang padanya.

Di saat keputusasaan telah memenuhi pikirannya, gadis itu melihat seberkas cahaya di kejauhan. Matanya langsung melebar dan benih-benih harapan kembali bertunas dalam dadanya.

Gadis itu menjangkau cahaya dan kemudian tersadar di sebuah tempat yang familier. Lab Romanoff. Di sebelahnya, seorang pria dengan kaus biru duduk diam. Ekspresinya menyiratkan sedikit kekhawatiran.

“Akhirnya kau bangun juga, subjek C-008.”

Luni memegang kepalanya sendiri. Ribuan ingatan segera mengalir ke dalam otaknya, membuatnya merasakan sakit yang tak terbendung. Kata subjek membuatnya ingat apa yang terjadi sesaat sebelum ia terbangun.

“Kamu ... salah satu subjek eksperimen itu juga?”

Pemuda itu mengangguk pelan. Ia menggaruk kepalanya dengan gerakan canggung. “Syukurlah kau sudah bangun—ah, bukan berarti aku mengkhawatirkanmu. Aku hanya merasa lega karena ada orang lain selain diriku di sini.”

Luni sedikit tersenyum. Ia melihat pemuda itu sebagai sosok yang ‘menarik’ dan lucu. Setelahnya, Luni menghela napas panjang, berusaha menenangkan dirinya dari kekacauan pikiran sebelumnya. Ia memerhatikan sekitar dan menyadari bahwa kondisi lab saat ini sangat berbeda. Tidak ada satu orang pun di sekitar mereka. Selain itu, seluruh ruangan tampak berantakan.

“Apa yang terjadi di sini? Ke mana semua orang?”

Pemuda yang dirundung pertanyaan itu hanya menunduk. Ia kemudian kembali menatap mata Luni dengan sorot mata yang tegas. “Sebelum itu, sebutkan namamu. Sangat merepotkan harus memanggilmu subjek-008.”

Luni memiringkan kepala heran. Namun, detik berikutnya ia langsung berkata, “namaku Eluni Amayra. Namamu?”

Pemuda itu membalas, “Abimana Pratama.”

“Kalau begitu, aku bisa memanggilmu Bima?”

Abimana hanya menghela napas sembari mengalihkan pandangan. “Terserahmu saja.”

Di saat mereka masih saling mengenalkan diri satu sama lain, suara langkah kaki terdengar dari jauh. Suara itu menggema dalam lorong-lorong gelap. Luni segera terbelalak kala menyadari bahwa situasi mereka saat ini mirip seperti apa yang ada di dalam film-film horor atau thriller. “Bagaimana jika langkah kaki itu berasal dari seorang pembunuh? Atau bahkan hantu?” Pertanyaan bodoh semacam itu segera terlintas dalam benak gadis remaja tersebut.

Suara langkah yang semakin mendekat membuat ketakutan di dalam diri Luni kian meningkat. Ia segera memegang tangan Abimana dengan erat. Dan saat itulah, ia merasakan sebuah kenyamanan. Seolah mereka sudah lama kenal, meski sebenarnya Luni tidak pernah bertemu dengannya sekali pun.

Sosok seorang pria muncul dari lorong utama yang gelap. Sorot matanya yang tajam dan wajah tanpa ekspresi membuatnya tampak seperti pemeran antagonis utama dalam serial horor populer.

“Subjek-007 dan subjek-008. Aku sudah membaca laporan tentang kalian dari Profesor Anna. Kalian sudah bangun. Itu cukup bagus. Kupikir kalian sudah mati tadi.”

Luni segera menghela napas. Sepertinya lelaki itu bukan penjahat seperti yang dipikirkannya. Menyadari bahwa ada kemungkinan dia adalah petugas laboratorium, Luni segera kembali bersemangat.

“Apa Anda petugas di sini? Kalau begitu, boleh saya bertanya ke mana perginya semua orang?”

Pria itu diam sejenak. Ia menunduk. “Sayangnya aku tidak bisa menjawabnya. Aku dan kalian sama. Kita adalah subjek eksperimen.”

Pria itu berjalan pelan ke arah Luni dan Abimana. “Melihat semua kekacauan ini, aku dengan berat hati harus berkata bahwa eksperimen telah gagal dan kita terjebak dalam dunia kuantum.”

Seketika Luni terdiam, begitu pula dengan Abimana. Keduanya kini hanya bisa memandangi satu sama lain. Sementara keheningan menyelimuti mereka dan perasaan tegang membuat aliran udara terasa berat.

Pemuda bertubuh tinggi itu kembali melanjutkan, “aku sudah sadar sekitar tiga jam lebih awal dari pada kalian. Aku menjelajahi tempat ini dan berusaha mencari jalan keluar. Tapi tidak ada satu pun. Bukan berarti pintu-pintu di laboratorium ini dikunci. Aku bisa bilang tidak sama sekali. Kita bisa mengakses ruangan mana pun di sini. Bahkan pintu keluar.

Satu hal yang membuatku sadar kita terjebak adalah fakta bahwa di luar pintu utama tidak ada apa pun, melainkan lab ini. Aku sudah mencobanya di semua pintu. Setiap kali aku berusaha keluar dari mana pun, bagian luar yang kucapai bukanlah apa yang kuinginkan. Aku selalu kembali menemukan lab ini. Singkatnya, dunia luar adalah lab ini sendiri. Jadi, aku bisa menyimpulkan bahwa tidak ada jalan keluar. Dan kita benar-benar terjebak.”

Mata Luni terus melebar. Napasnya tidak beraturan dan detak jantungnya semakin meningkat dari waktu ke waktu. Luni ingin menampik ucapan pria itu, namun keyakinan dan kesedihan yang secara sekilas terlukis di wajahnya membuat gadis itu segera sadar bahwa tidak ada kebohongan darinya.

Mereka benar-benar terjebak dalam realitas ruang dan waktu yang kompleks. Yang bahkan tak akan bisa dipahami oleh otak manusia itu sendiri.

***

“Hei, mau sampai berapa lama kita terjebak di sini? Stok makanan bahkah sudah hampir habis.”

Luni memegangi perutnya yang sejak beberapa jam lalu sudah berbunyi. Sementara matanya kian sayu dan rambutnya tidak lagi terawat. Ia sudah menghabiskan waktu sekitar satu minggu dengan dua pria yang bahkan tidak begitu dikenalnya. Awalnya, gadis bertubuh semampai itu merasa agak takut karena hanya dia sendiri wanita yang terjebak di lab tanpa jalan keluar ini. Namun, setelah beberapa hari berlalu, Luni mulai menurunkan kewaspadaannya. Ia sadar bahwasanya kedua pria itu adalah orang yang baik yang tidak mungkin melakukan kejahatan, terlebih lagi kepada dirinya.

“Kalau kau terus mengeluh begitu, lama-kelamaan tahi lalat di bawah matamu itu akan semakin membesar.”

Luni berhenti melangkah. “Tunggu, apa kamu bilang tadi? Biar kuperjelas, tahi lalat ini justru ada untuk semakin memperindah wajahku. Kenapa kamu justru menghinanya?”

Sementara Luni sedang marah-marah, Abimana yang melontarkan kalimat itu hanya bisa menggelengkan kepala. Ia juga tidak menyangkal bahwa Luni terlihat lebih manis dengan adanya tahi lalat itu, namun ia tidak bisa mengatakannya. Itu karena mereka tidak cukup dekat untuk bisa melakukan itu.

Sementara kedua orang itu sedang berdebat, Subjek-006 atau Peter terus berpikir mengenai cara pulang mereka. Apakah ada cara khusus untuk menembus kompleksitas ruang dan waktu di dunia kuantum yang tak terbatas ini? Atau sebagai manusia mereka tidak akan bisa memahaminya dan terjebak selamanya di dalamnya?

“Kalian bertiga tampak santai. Padahal situasi ini harusnya membuat kalian panik, lho. Soalnya kalian terjebak di realitas kompleks tanpa ada aturan ruang dan waktu yang jelas.”

Seketika Luni, Abimana, dan Peter mengalihkan pandangan ke depan, menatap pada seorang gadis misterius yang muncul entar dari mana. Wanita itu memiliki mata layaknya batu zamrud yang bersinar di kegelapan. Wajahnya kecil dan tampak sempurna. Bibir tipis, bulu mata lentik, dan alis yang tebal membuatnya terlihat sangat menawan.

“Ada apa dengan kalian?” Gadis itu mengibaskan rambut pirangnya yang tampak halus. “Ayolah, jangan terlihat ketakutan begitu. Aku ini gadis cantik, lho, bukan hantu apalagi monster.”

“Si-siapa—“

Belum selesai Luni mengucapkan kata-katanya, gadis itu sudah lebih dulu menyela dengan berkata, “aku tahu apa yang ada di benakmu, Luni. Juga kalian berdua, Peter, Abimana.”

Keheningan menyelimuti ketiga subjek eksperimen itu.

“Kalian pasti akan bertanya, ‘kenapa kau tahu namaku?’ begitu, ‘kan? Yah, tidak perlu kalian tanya pun aku akan menjawabnya. Tapi sebelum itu, aku akan memperkenalkan diri dulu.”

Gadis itu sedikit mundur, kemudian berputar dengan anggun,  mengangkat gaunnya hingga menggantung setinggi mata kaki, dan sedikit menunduk.

“Salam kenal, namaku Lyra Chaterina. Aku sengaja memperkenalkan diri dengan anggun seperti wanita-wanita Eropa di abad pertengahan agar suasana di antara kita lebih tenang.

Yah, kalau kalian bertanya aku ini siapa ... itu cukup menyulitkan. Kalian bisa menyebutku sebagai pencipta kalian, meski sebenarnya secara nyata bukan aku yang melakukannya. Dan kalau kalian bertanya mengenai maksud kedatanganku aku bisa menjawab dengan jelas bahwa aku datang untuk membantu kalian keluar dari semua ini. Sungguh, aku merasa sedih melihat kalian seperti ini, anak-anakku yang malang.”

Luni mengernyitkan dahi dan menatap tajam padanya. Menyadari itu, Lyra Chaterina langsung tertawa kecil.

“Yah, jangan menatapku begitu. Aku hanya bercanda. Bersandiwara menjadi Sang Pencipta itu sungguh mengasyikkan. Siapa tahu aku benar-benar bisa mencapai tingkat itu?”

Luni mendengus kesal. “Itu mustahil. Apa kau Atheis? Kau sedang mengolok-olok Tuhan sekarang!”

Lyra tidak menunjukkan reaksi berlebihan. Ia tampak santai meski ketiga lawan bicaranya menyerang dengan tatapan yang mematikan.

“Yah, itu dan ini adalah urusan yang berbeda. Kau tidak akan mengerti apa pun. Habisnya, dirimu hanya manusia biasa, Luni. Semesta ini terlalu luas untuk dapat kau pahami. Meski begitu, aku akan menjelaskannya pada kalian secara sederhana.”

“Kau pikir dirimu siapa? Berani-beraninya—“

Peter langsung mengangkat tangannya tepat di depan wajah Abimana sebelum pria itu berhasil menyelesaikan kata-katanya.

“Katakan,” ucap Peter, “apa yang kau tahu tentang semesta ini? Dan beritahu kami bagaimana cara keluar dari sini.”

“Baiklah. Kau pemuda yang bijak, Peter. Kalau begitu, kumulai, lho. Kalian harus menyimaknya sebaik mungkin.

Secara sederhana, kalian berada di dalam realitas kuantum. Namun, tempat kalian berada saat ini adalah sisa-sisa dari proyeksi semesta yang telah hancur yang disebut Sea of The Abyss. Salah satunya adalah lab ini yang berasal dari ‘bubble universe’ k2986h. Alasan mengapa kalian tidak menemukan jalan keluar dari sini adalah karena tempat ini terbentuk secara tidak sempurna sehingga menghasilkan struktur ruang riemannian yang kompleks. Setiap sisi akan sekaligus terhubung dengan sisi lainnya sehingga kalian akan tetap berada di dalamnya sampai kalian berhasil menemukan celah yang bisa membawa kalian keluar dari ini. Singkatnya, bayangkan kalian berada di dalam perut Ouroboros yang ujung ekornya telah terpotong. Kalian akan terus berada di sana selamanya sebelum berhasil melepas mulut dari ekor si ular. Satu-satunya jalan keluar kalian adalah memisahkan esensi kalian dari proyeksi ini dengan cara memasuki medan kuantum yang lebih dalam. Tetapi itu berbahaya. Kalian bisa saja terseret ke ‘Imajiner Kuantum’ yang lebih kompleks lagi.

Hanya ini yang dapat kusampaikan. Semoga kalian dapat memahaminya, ya. Sampai jumpa lagi di semesta yang lainnya. Bye-bye.”

“Tung—“

Gadis bernama Lyra Chaterina itu sudah menghilang.

Luni dan Abimana saling memandang dengan menyimpan rasa penasaran di benak masing-masing. Sementara itu, Peter justru tersenyum kecil. Ia mengepalkan tangan dengan tegas.

“Kita mendapatkannya,” katanya, “kita bisa keluar dari sini.”

***

Luni berjalan mendekati Abimana yang tengah duduk menyendiri, meninggalkan Peter yang masih sibuk mencari jalan keluar agar mereka bertiga dapat cepat-cepat kembali ke tempat mereka yang seharusnya.

"Kenapa duduk sendiri?" tanya Luni, sambil memperhatikan wajah Abimana dari samping.

"Tidak ada, hanya bosan. Peter terlalu kaku untuk aku yang selama di dunia cukup aktif dengan teman-temanku. Ah, kami memang tidak cocok."

Tertawa geli melihat wajah Abimana yang terlihat frustrasi dan lesu. Bisa Luni lihat dua pria yang kurang lebih seminggu lamanya selalu bersama dengannya itu memiliki sikap yang cukup jauh berbeda. Abimana yang tidak bisa mengontrol mulutnya, lalu Peter yang cukup pendiam dan pemikiran dewasanya.

Keduanya lalu diam, menatap lurus ke depan tanpa adanya tujuan. Dengan adanya Peter yang cukup pintar, membuat mereka sedikit lega. Setidaknya untuk sementara ini Peter bisa diandalkan.

"Luni," panggil Abimana.

"Hm?"

Luni menoleh ke samping, menatap balik Abimana yang entah sudah sejak kapan menatapnya.

"Bagaimana jika aku menyukaimu?"

Kedua netra Luni langsung membulat seketika, menatap seolah tak percaya pada apa yang baru saja ia dengar langsung dari mulut Abimana. Tatapan lelaki di sampingnya ini berbeda dari biasanya. Kini, tatapan Abimana terlihat sangat lembut dan teduh.

Rasanya, Luni ingin lama-lama menatap balik tatapan yang baru saja ia dapatkan ini.

Selama kurang lebih seminggu bersama Abimana, bohong jika Luni tidak merasakan apapun. Sikap hangat yang berhasil membuat Luni selalu merasa nyaman ketika berada di sekitar Abimana. Mau bagaimanapun, Luni tetap seorang perempuan dengan hati yang akan luluh dengan mudahnya.

"Ya tidak apa-apa, memangnya itu salah?"

Satu alis Abimana tertarik ke atas, masih mencerna yang dikatakan oleh Luni. Lalu beberapa saat setelahnya, ia tertawa kecil. Entah apa yang ditertawakan, hingga tawa itu menular pada Luni dengan cepatnya.

Keduanya masih saling menatap, menyelami netra satu sama lain dengan tawa kecil yang masih terdengar.

Sayangnya, mereka tidak menyadari Peter yang berdiri di belakang sejak kata pertama yang Luni katakan pada Abimana. Peter yang mendengar semuanya, merasa sedikit menyesal telah menyaksikannya. Karena baginya, eksperimen yang akan mereka lakukan selanjutnya terlalu berisiko. Dan salah satu dari mereka bisa saja lenyap.

Peter berusaha memasang senyum terbaik di wajahnya. Ia mendekati kedua orang itu.

“Aku merasa tidak enak mengganggu kalian, tapi eksperimen kita akan dimulai besok. Sebelum itu, bersiap-siaplah. Semoga kita tetap berhasil, Luni, Bima.”

***

"Kau yakin?"

Abimana dengan raut wajah ragu memandang Peter, mencari keyakinan di sana. Pasalnya, Peter ingin mencoba subjek C-007 tersebut sebagai eksperimen pertama untuk memasuki tabung besar yang mampu menampung tubuh mereka itu. Peter ingin mencoba suatu kesempatan dalam laboratorium ini daripada berdiam diri mati kelaparan.

Luni yang tampak khawatir pun mencoba untuk meluruskan pikirannya mempercayai kemampuan Peter kali ini. Ia menuntun Abimana untuk masuk ke dalam tabung kosong tersebut dan menempelkan beberapa selang berisikan cairan merah ke tubuhnya.

"Apa tepat untuk mempercayaimu kali ini?"

Peter mengangguk pelan, menatap dalam mata Luni untuk meyakinkan bahwa ia tidak salah untuk mempercayainya kali ini.

Gadis itu kembali menatap Abimana di sana, seseorang yang sudah membuatnya nyaman hingga sangat berat untuk melihatnya gelisah sendiri di sana.

Gerakan tangan Peter yang piawai memainkan beberapa alat teknologi dalam laboratorium dan beberapa cairan yang sedang ia analisis menjadi pandangan Luni. Padahal, itu kali pertama Peter melakukannya. Namun, ia sudah memiliki perasaan yang bagus tentang ini. Mereka akan pulang.

"Aktivitas otak subjek C-007 normal. Tekanan darah normal. Infeksi jaringan tidak terdeteksi. Subjek menunjukkan kecocokan dengan larutan. Subjek mulai memasuki medan kuantum.

Memulai transfer. Menentukan koordinat. Membebaskan gangguan. Subjek siap dikirimkan. Memulai operasi pengiriman."

Keresahan Abimana menguap, begitupula dengan Luni. Suara yang keluar dari monitor kuno di laboratorium itu menerbitkan senyuman lega di wajah mereka masing-masing. "Kau berhasil Pet- ah!"

"Tekanan terlalu besar. Titik koordinat terganggu. Terjadi kesalahan W9118. Tekanan kembali meningkat. Warning!"

Suasana kembali menegang, peluh dari pelipis Peter siap terjun bebas.

"Peter! Hentikan!" teriak gadis itu semakin panik mendengar suara darurat yang muncul dari alat raksasa tersebut.

Peter kembali mengotak-atik alat yang ada dihadapannya.

"Operasi pengiriman tidak dapat dihentikan! Warning! Pengiriman tidak dapat dihentikan!"

Luni berlari ke tempat Abimana berada, memaksa selang-selang yang ia tempelkan beberapa menit sebelumnya dengan tergesa-gesa, ingin mengajak subjek eksperimen itu untuk keluar dari tabung raksasa tersebut. Namun, Abimana terlihat lemah setelah berada cukup lama di sana.

Peter yang merasa bersalah atas perbuatannya juga berlari ke arah tabung tersebut, membantu gadis itu mengeluarkan subjeknya. Baru saja kakinya berhasil masuk ke dalam tabung itu, sebuah asap hijau menyelimuti mereka bertiga di sana. Menyelubungi mereka semua dalam kegelapan lebih dari malam. Benar-benar gelap.

Asap dalam tabung itu menghilang beserta tiga tubuh subjek eksperimen yang gagal. Mereka tenggelam lebih dalam, terseret ke dalam imajiner kuantum. Sekali lagi, mereka benar-benar menjadi eksperimen yang gagal.

Magic DreamsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang