27. Perihal Maaf

1.1K 267 1
                                    

[JANGAN LUPA BINTANGNYA, Teman]

Drizella membuka pintu kamar Lady Tremaine secara perlahan, mengintip sesosok wanita yang terbaring di atas ranjang dengan selimut menutupi setengah tubuh. "Ibu?" panggilnya.

Musim panas memang hendak berakhir, tetapi masih terlihat aneh orang-orang di pagi menjelang siang ini tidur menggunakan selimut. Jadi Drizella mendekatinya, membuka selembar kain hangat berwarna gading itu dan terkejut ketika tidak menemukan satu pun lebam di kaki Lady Tremaine.

Lalu bagian mana yang menjadi korban sandungan?

Gadis itu menatap wajah pucat Lady Tremaine, mulai berpikir aneh-aneh. "Dia tidak mungkin meninggal 'kan?"

Drizella meletakkan jari telunjuk di depan lubang hidung ibunya, lantas bernapas lega merasakan udara keluar masuk dari sana. Dia sudah sangat panik sebelumnya, padahal merasa tidak memiliki tanggung jawab apa-apa. Tetapi menyadari bahwa orang inilah yang mengandung dan melahirkan sosok Drizella membuatnya tidak tega meninggalkan Lady Tremaine seorang diri.

"Haruskah kubawa dia ke Dunya?"

Dunya adalah nama dari ibu kota Kirsha, tempat di mana istana berada. Pusat kota yang sangat aktif ketika musim panas (hanya untuk melakukan festival), sisanya Dunya tidak begitu berguna selain tempat berkumpulnya para sosialita. Sementara itu, Kirsha termasuk bagian dari federasi kerajaan Enryv negeri pegunungan dan Laumi negeri kelautan.

Drizella sudah menyelidiki koran-koran terdahulu selama berada di perpustakaan, tetapi tidak ada satu pun yang berhubungan dengan penculikan gadis-gadis muda. Itu artinya memang baru-baru saja terjadi, saat festival musim panas dimulai.

"Ah, daripada itu aku harus memanggil dokter."

Drizella bangkit dari ranjang, berjalan menuju lemari hias, mengambil gelang yang terbuat dari emas putih dari sana. Dia kemudian menuruni tangga, menyenyapkan mulut para gadis desa.

"Bastian!" panggil Drizella.

Lantas hadirlah pria tua yang sudah melepaskan apron dari tubuhnya. "Ada apa, Nona?" tanyanya.

"Panggil dokter untuk ibuku. Se-ce-pat-nya!"

"Baik, Nona!"

Drizella mengangguk puas setelah Bastian pergi dari hadapannya. Dia kemudian beralih pada Cinderella dan tiga gadis lainnya, lalu berjalan mendatangi mereka.

"Adakah dari kalian yang bisa memasak bubur untuk orang sakit?" Drizella menatap gadis-gadis yang saling memandang ragu, dia pun mengembuskan napas sembari memperlihatkan benda di tangannya. "Aku akan memberikan gelang ini sebagai hadiah."

"Saya bisa!"

Dan satu gadis dengan berani mengangkat tangannya, sedangkan yang lain hanya bisa memasang wajah kepingin tetapi tak bisa berbuat apa-apa.

"Tunggu, Kakak! Itu gelang berharga, lho?!" Cinderella berdiri, "sayang sekali diberikan hanya untuk bubur buat ibu!" pekiknya tak terima.

Drizella mendengkus, mendorong adiknya agar duduk kembali. "Kesehatan ibu lebih penting daripada benda yang kau bilang berharga ini."

Cinderella menggigit bibirnya, mengikuti arah gelang yang mulai berpindah tangan dari Drizella pada salah satu temannya. "Kenapa kau sampai segitu pedulinya pada ibu?!"

"Berhenti bicara atau kebodohan akan terus mengalir dari mulutmu itu, Cinderella."

Suasana jadi tegang, Drizella lekas menyuruh gadis yang menerima hadiahnya untuk segera melakukan perintahnya. Setelah itu dia keluar rumah, mencari keberadaan Kiki demi menjelaskan situasi rumahnya.

"Di mana dia?"

Drizella berjalan menuju halam belakang, lantas menemukan pemuda yang dicarinya. "Kiki!" panggilnya.

Pemuda itu duduk di kursi taman, bertelungkup di atas meja. Mendengar namanya dipanggil, Kiki pun mendongak dan memberikan lambaian tangan pada Drizella.

"Kau bilang mau tidur di kamar perempuan, kenapa malah di luar sini?"

Kiki terkekeh mengusap belakang lehernya. "Sedang ingin kena angin saja, haha."

Ekspresi Drizella jadi sedih, namun sedetik kemudian memberikan senyuman. "Mau tidur di kamar adikku?"

"Adikmu?"

"Bukan anak yang tadi, tapi yang satunya. Dia juga bekerja di istana, tapi bagian barat. Orangnya memang bodoh dan berisik, tapi wajahnya sangat manis." Drizella menjelaskan, lantas kembali memperhatikan wajah canggung Kiki. "Atau mau tidur di kamarku? Aku harus menjaga ibuku yang sakit, jadi kau bisa memakai kamarku sebelum kita pergi lagi."

"Haha. Tidak usah, deh. Nanti gosipmu semakin banyak, aku akan menunggu di sini saja. Tapi kalau bisa berikan aku makanan dan minuman, ya?"

"Baiklah!"

Drizella memberikan jempolnya lalu berbalik, tetapi sebelum dia kembali ke rumah, didengarnya Kiki menggumamkan sesuatu.

"Kupikir kau ke sini untuk minta maaf ...."

Sontak Drizella menoleh, mengejutkan Kiki yang sedang melipat topi kelabunya di atas meja.

"A-ah, anu ... aku tidak bermaksud apa pun!" ujar pemuda tersebut kikuk.

Namun Drizella mengerti, jadi dia kembali dan duduk di hadapan Kiki dengan ekspresi serius.

"Kenapa aku harus minta maaf?" tanyanya.

"Bi-biasanya oran-orang akan begitu, bukan? Meminta maaf sebagai keluarga atau kerabat dekat mereka ...."

"Memang biasanya begitu, sih ...," Drizella mengangguk setuju, "tapi adikku bukanlah tanggung jawabku, dia tanggung jawab orang tuanya. Aku tidak ingin ikut campur atas masalah yang dibuatnya karena kehadirannya di sini bukanlah kehendakku," jujurnya.

Drizella menopang dagu, tersenyum manis pada Kiki yang mendengarkan celotehnya dengan khidmat. "Lagi pula, bukan aku yang melahirkannya, kenapa aku harus bertanggung jawab atas kesalahannya?"

Mata mereka saling merenungi lama sebelum Kiki memutuskannya dengan menundukkan kepala. Drizella lantas melanjutkan sembari berdiri dari kursi. "Kalau kau butuh maafnya, akan kupaksa dia mengatakannya."

"AH! Tidak perlu!" Kiki menggeleng kuat, lalu membuang mukanya ke arah lain. "Memang salahku yang terlihat lusuh dan tidak tahu malu dalam bertamu ...."

Pada akhirnya Drizella hanya bisa angkat bahu, menyerah atas kerendahan diri Kiki. Dia merogoh kantong, mengeluarkan botol kaca yang hanya tersisa tiga biji permen, lalu melemparkannya ke lawan bicaranya.

"Kadangkala ada baiknya darah yang terbaur racun harus dipisahkan darimu. Tapi bukan berarti racun tersebut tidak bisa diobati, kau mengerti maksudku?"

Dengan canggung Kiki menerima pemberian itu. Wajahnya termangu menatap kepergian Drizella menuju kereta kuda yang terburu-buru memasuki pekarangan.

"Oh, iya. Itu dokter, sepertinya?"

Gumamannya seolah terhambat batu dalam kerongkongan. Kiki meneguk ludah, memperhatikan bagaimana senyuman sopan Drizella menyambut dokter untuk memeriksa kondisi tuan rumah.

"Setidaknya situasi mereka yang satu ini harus diberitahukan pada pangeran." []

19/1/22, Sanskara Drew.

Cinderella's Stepsister [√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang