59. Runtuh

918 202 9
                                    

"Pemberontakan sama dengan mati."

Drizella tak pernah melupakan isi dari buku hukum yang dibacanya dari perpustakaan istana. Buku tebal yang berisi undang-undang kerajaan, yang terbaca untuk tujuan merendahkan Hailyn, malah berakhir membuatnya memusingkan hal lain.

Kegiatan Adrian menjadikan Drizella sebagai orang paling khawatir setelah sekian lama hidup santai menghabiskan duit.

Dongeng ini adalah realita bagi penunggunya. Jika kakimu hancur, maka hancur. Tidak mungkin itu akan kembali seperti semula hanya karena sihir Sang Ibu Peri.

Dan memikirkan Ibu Peri, bagaimana kabar Chelsea? Apakah sudah menemukan cara agar mereka bertiga dapat kembali? Atau wanita itu berakhir mati?

"Akhirnya kau memikirkanku juga, Drizella."

Napas Drizella tertahan. Matanya sontak membelalak, merasakan udara hangat menerpa poni rambutnya hingga bergerak.

Drizella lantas mendongak, mendapati ekspresi gelisah Gilbert dalam tidurnya. Orang itu terlihat tidak sehat.

Hingga kesadaran menyentak Drizella dari posisi tidurnya yang menindih perut Gilbert. Gadis tersebut kelimpungan, dengan panik menyingkir dari sana secara perlahan.

Drizella terduduk di atas kasur. Masih dengan pikiran linglung, dia menyingkirkan selimut yang membungkus tubuh dan terkejut melihat gaun kotornya kemarin sudah berganti menjadi gaun tidur tipis.

Pun dia menyenderi dinding sambil memeluk lutut, mencoba memutar ulang kejadian semalam dengan ekspresi datar. Keningnya lalu mengerut, dua alisnya hampir menyambung jadi satu kalau omongan Gilbert tak menghentikan usaha keras Drizella dalam mengingat.

"Semalam yang mengurus Anda adalah pelayan, biayanya lumayan besar ditambah segala macam kebutuhan."

Tanpa membuka kelopak matanya Gilbert menjelaskan.

"Saya sarankan untuk memotong uang perjanjian kita saja kalau Anda tak ingin pusing memikirkannya."

Cukup lama Drizella terdiam, menatap langit yang mendung dengan pandangan kosong, kemudian dia mengangguk mengerti.

"Masukan yang bagus. Saya setuju."

Drizella menutup mulutnya lagi, kali ini mengalihkan perhatiannya pada Gilbert. Dia bertanya-tanya, apakah Gilbert sakit? Napasnya terasa panas, tetapi Drizella tidak ingin ikut campur. Orang itu terkadang juga mudah merasa risih, jadi dia tak mau mengambil resiko sakit hati saat mendapat lirikan jijik dari Sang Pangeran.

"Terima kasih atas pertolongan Anda. Saya sadar bahwa saya sangat merepotkan Anda. Tolong maafkan saya yang baru mengucapkannya."

Gilbert membuka mata. Tangannya yang menjadi bantalan di belakang kepala terasa keram. Dia melirik Drizella yang balas menatap, lalu memberikan senyuman tipis.

"Tidak masalah. Saya juga bisa menjadi Adrian Green yang suka direpotkan."

Alis Drizella naik sebelah. "Kenapa membawa Adrian?" tanyanya, sinis.

"Bukankah Anda yang selalu membawanya?" balas Gilbert.

Drizella tercekat, tidak bisa menjawab. Dia menunduk, meletakkan kening di atas lutut. Selanjutnya mendengar suara keroncongan keluar dari perut. Tetapi dia tidak memedulikannya, memilih berusaha keras memikirkan jawaban balasan untuk Gilbert.

"Oh—"

"Anda lapar. Saya akan ke kantin memesan makan."

Gilbert berdiri, seolah dapat membaca kalau Drizella berniat melawan kata-katanya balik. Jadi dia memotongnya lebih dulu dan pergi menuju kantin penginapan.

Cinderella's Stepsister [√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang