Hujan di pagi hari memang hal yang paling nyaman buatku. Tiduran di atas kasur yang empuk sambil mendengarkan instrumen piano Merry Go Round of Life yang ku setel di Youtube. Tak lupa pula aku mengambil buku di sebelah kasur empukku, aku membaca buku karya Murakami. Ini adalah momen ternyaman dalam kehidupan biasaku. Aku seorang mahasiswa biasa di Perguruan Tinggi Jakarta. Kehidupan kuliahku sangat biasa, tidak ada hal yang istimewa. Aku menghabiskan masa kuliahku di rumah, bukan karena aku ngga mau bersosialisasi tapi karena tuntutan peraturan pemerintah. Work For Home. Ya, karena WFH semua kegitan perkuliahan dilaksanakan di rumah. Mungkin bagi sebagian orang WFH ini membosankan dan merugikan. Namun, bagiku ini adalah hal yang sangat menyenangkan dan menguntungkan. Aneh bukan? Aku memang seperti ini, tak suka dengan keramaian bukan berarti aku anti sosial hanya saja jika aku terlalu lama di ruang publik aku merasa capek, bar energi di tubuhku seperti tersedot habis.
Aku ingat ketika aku masih menjadi mahasiswa baru, waktu itu aku masih semangat untuk mengeksplor berbagai hal yang baru di kampus. Hiruk pikuk berbagai macam kehidupan mahasiswa aku coba jalani. Mulai dari ikut kegitan kampus, seminar, perlombaan, kepanitiaan, sampai ngumpul bareng teman-teman sejurusan maupun antar jurusan aku pernah menjalaninya. Namun, dari semua kegiatan itu ngga ada yang klop di hati. Aku ngga tau kenapa. Hampa.
Sampai suatu hari kakak tingkatku Rihma menyarankanku untuk ikut kegiatan perempuan kampus, akupun menyetujuinya. Kolektif Rosa adalah nama perkumpulan perempuan di kampus, bisa dibilang organisasinya perempuan di kampus. Kak Rihma menjelaskan padaku bahwa organisasi ini baru di kampus kita, anggotanya pun masih sedikit, yang pasti semua anggotanya adalah perempuan. Kesan pertamaku terhadap organisasi ini adalah nyaman. Entah kenapa aku di sana sangat nyaman seperti aku berada di kamarku. Mungkin karena semua anggotanya perempuan jadi aku ngga malu-malu ketika berinteraksi dengan mereka. Ini berbeda sekali ketika aku berkumpul dengan sekumpulan manusia heterogen. Aku merasa malu dan canggung, alhasil aku hanya diam dan tidak berinteraksi dengan mereka di sana. Useless.
Sudah beberapa bulan aku mengikuti semua kegiatan Kolektif Rosa, menyenangkan. Aku merasa hidup dan berguna di sana. Semua ide-ideku diterima dengan baik oleh para anggota. Akupun semakin tertarik dengan isu-isu perempuan, gender, feminis, seks edukasi, body image, dan lain sebagainya. Jujur saja, tingkat ke-awareness-anku semakin tajam. Aku yang dulunya pasif, sekarang aku berani untuk menegur si pelaku pelecehan seperti cat calling di jalan entah itu menimpaku atau orang lain. Aku tidak ragu untuk menegurnya.
Patriarki di Indonesia memang tak bisa kita hilangkan secara instan, butuh waktu dan energi dari setiap insan yang memang betul-betul memperjuangkan hak-hak kemanusiaan. Feminis menurutku ngga cuman untuk perempuan, laki-laki pun bisa ikut andil. Sepertinya di zaman yang sudah modern ini banyak laki-laki feminis, mereka sudah 'melek' akan dampak negatifnya dari budaya patriarki. Budaya ini adalah sampah yang harus dimusnahkan agar tidak menjadi penyakit. Ngga usah jauh-jauh kita ambil contoh masalah patriarki ini. Di lingkungan keluargaku masih menganut sistem ini, contoh simplenya adalah ayahku sendiri, ayahku harus saja dilayani ketika makan, sekadar ngambilin nasi harus nyuruh mamah, padahal mamah sedang bersiap-siap untuk berangkat kerja. Aku bertanya pada diriku sendiri apa memang harus begitu ketika sudah berkeluarga, istri harus benar-benar melayani suaminya walaupun dia juga mempunyai kewajiban penting baginya. Unfair. Padahal, ayahku bisa saja ngambil nasi sendiri kenapa mesti mamah yang harus ngambil. Sesimple itu kasus patriarki. Belum lagi kasus-kasus berat, seperti diskriminasi pada perempuan, perkosaan, kekerasan seksual, pelecehan yang begitu tinggi di bumi Indonesia ini.
Begitu banyak kasus kekerasan seksual di Indonesia, tingkat kasusnya pun semakin hari semakin tinggi. Dilansir dari Tirto.id, pada tahun 2014 sebuah berita kematian datang dari seorang perempuan asal Denpasar, Bali. Namanya Siti Fatimah, ia meninggal karena mengalami patah tulang rusuk, memar di dada, dan infeksi kemaluan. Beberapa minggu sebelum ia meninggal, suaminya, M. Tohari alias Toto (57 tahun) memaksa korban berhubungan badan. Korban sempat menolak karena merasa tidak enak badan, napasnya sesak dan sakit jantungnya sedang kambuh, tapi Toto tak peduli. Miris. Atas perbuatannya Toto hanya dijatuhi hukuman penjara 10 bulan. See? Hukumannya ngga sebanding dengan perbuatannya. Itu membuktikan bahwa UU di Indonesia tentang kekerasan seksual masih sangat lemah dan terbelakang. Ngga heran, RUU PKS aja masih mandek belum disahkan juga oleh pemerintah. Emang nih pemerintah kudu dirukyah dulu apa.
Dari kasus ini, pasti ada saja manusia-manusia yang mengklaim dirinya sebagai 'panitia surga'. Kebanyakan dari mereka menyalahkan korban, mereka (panitia surga) meyakini bahwa istri harus melayani kebutuhan seks suami dan tidak menolak ajakannya, alasan ini diambil dari Hadis Abu Hurairah Ra tentang malaikat yang melaknat istri sampai subuh jika ia tidak melayani kebutuhan seks suami. Nyatanya, interpretasi sebuah Hadis tidak boleh diserap mentah-mentah, yang ada malah menimbulkan kesesatan.
Dalam buku Qiraah Mubadalah bab 'Fleksibilitas Hak dan Kewajiban Pasangan Suami-Istri: Relasi, Nafkah, dan Seks', menjelaskan bahwa dalam perspektif mubadalah, sebagaimana literal teks hadis menuntut istri untuk melayani kebutuhan dan fantasi seks suami, makna resiprokal hadis juga menuntut suami untuk melakukan hal yang sama; memahami kebutuhan seks istri dan melayaninya. Yang lebih luas dari itu, jika istri dituntut untuk memperhatikan dan melayani kebutuhan seks suami yang didorong oleh hormon testoteronnya, suami juga dituntut untuk empati terhadap istri yang bisa jadi lelah dan tidak mood, sedang emosional menjelang menstruasi, atau sakit. Saling melayani kebutuhan masing-masing dan saling memahami adalah puncak mubadalah dari teks hadis tersebut. Hubungan seks hanyalah salah satu ekspresi dari kesalingan ini. Hubungan seks suami-istri tentu saja tidak melulu berupa intercourse (jima'), karena ada banyak aktivitas seks lain yang variatif yang bisa menyenangkan, selama dilakukan tanpa paksaan dan kebahagiaan bersama. Dari penjelasan di atas, sudah sangat jelas bahwa konsep kesalingan itu sangat penting dalam berelasi. Menghindarkan pasangan dari semua kejadian yang tidak diinginkan seperti dalam kasus tadi.
Aku sangat bersyukur menjadi feminis muslim, aku bisa tahu ilmu-ilmu tentang perempuan dalam perspektif Islam, relasi pernikahan, dan lain-lain. Aku sama sekali tidak menyesal bergabung dengan organisasi perempuan di kampusku. Ka Rihma mungkin sebagai wasilah dari Tuhan untuk menjadikanku sebagai seseorang yang berguna di dunia. Aku pun sekarang aktif menulis artikel maupun cerita tentang isu-isu perempuan, feminis, gender, dan lain-lain di blog pribadiku dan Wattpad. Walaupun dari luar aku terlihat seperti seseorang yang muram enggan berinteraksi, weird. Namun, di dalam lubuk hatiku aku adalah seorang feminis yang menjungjung tinggi hak kemanusiaan.