part 1

46.4K 2.4K 547
                                    

Bismillah

Gulai Daging Ibu

#part_1

#by: Dewi Jambi

Aroma masakan menyeruak begitu menggoda keluar dari rumah berlatar luas di samping rumah Parni, wanita paruh baya yang sedari tadi menelan ludah membayangkan betapa nikmatnya makanan yang sudah lama diidam-idamkan keempat anaknya.

"Bu ... bau apa ini, Bu? nikmat sekali," Tono, anaknya yang berumur empat tahun berdecak berulang kali. Seolah ikut merasakan nikmatnya aroma yang masuk dalam hayalannya.

"Bayangi, Nak. Itu daging gulai, teksturnya lembut, bumbunya meresap sampai ke sela-sela daging. Kuahnya kental, di makan pakai nasi, enak, Nak?"

Tono kecil menutup matanya dan membayangkan apa yang di ucapkan ibunya yang kini sedang mengelus rambutnya sayang, ia kembali mengecap, merasa menikmati setiap kunyahan nasi bercampur daging dalam mulutnya.

Parni yang melihat ekspresi dari bocah polos itu tak tahan untuk menitikkan bulir bening yang sejak tadi berontak ingin keluar di sudut matanya.

Sembari menggigit bibir, Parni merutuki nasib buruk yang selalu menghampiri keluarganya.

Kemiskinan yang menggerogoti hidupnya, serta suaminya yang lumpuh mengharuskan tubuhnya yang memasuki usia renta harus terus berjuang demi menghidupi orang-orang yang ia sayang.

Ibu mana yang tak ingin melihat anaknya makan enak? membiarkan buah hatinya tumbuh sehat dan memenuhi segala kebutuhannya? memberi kehidupan layak dan bahagia?

Semua ibu punya impian yang sama, ingin melihat anak-anak mereka sehat dan memastikan perut mereka kenyang.

Begitupun Parni. Ia bukannya tak menangis membiarkan anak-anaknya hanya makan nasi aking, nasi bekas kemarin yang baginya sangat berharga. Sengaja meminta kepada tetangga agar keluarganya bisa makan.

Dengan hati teriris ia jemur nasi sebelum ia tanak kembali, dan makan bersama dengan keluarganya tanpa lauk ataupun sayur yang menemani.

Kadang-kadang jika beruntung, sayur singkong di belakang rumah bisa ia petik dan jadi pendamping nasi yang terasa amat nikmat bagi mereka.

Telur? ayam? daging? jangan tanya! mereka tak pernah merasakan kecuali hari raya Idul Fitri dan Idul Adha tiba.

Ketiga anaknya yang sedari tadi main di luar berlarian masuk kerumah, memeluk tubuh legam ibunya seraya merengek di pangkuan Parni yang bergantian mencium kening keempat anaknya.

"Bu, baunya enak banget, ya, Bu?" ucap Si Sulung, Toni dengan wajah memelasnya.

Parni hanya mengangguk pelan.

"Kapan kita bisa masak gulai, Bu? Tini pengen, Bu," timpal anak keduanya.

"Tono juga, Bu,"

"Toni juga, Bu,"

"Tina juga, Bu,"

Di cecar pertanyaan yang tak mungkin ia jawab, Parni hanya mengulas senyum getir dan beranjak dari duduknya.

"Nanti Ibu buatin, sekarang kalian makan yang ada dulu, ya. Ibu mau ke rumah Nenek dulu,"

"Oh, iya, Ibu nitip Bapak sebentar,"

Keempat anaknya melonjak girang. Sementara Parni melangkah gontai keluar rumah. Pikirannya bingung bukan kepalang.

Dari mana ia bisa mendapatkan daging? jangankan daging, telurpun ia tak mampu.

Terbit keinginan hatinya untuk meminjam uang pada mertuanya, tapi, ketika teringat kembali jika mertuanya sudah mewanti-wanti untuk tidak datang menginjakkan kaki lagi di rumahnya, membuat wanita paruh baya itu mengurungkan niatnya dan memilih duduk di bawah pepohonan rindang yang dekat dengan areal pemakaman.

'Itulah akibat jika masih melawan dengan orang tua! sekarang kau urus saja Gito, suamimu itu. Aku tak sudi melihat mukamu lagi!'

'Sejak awal, aku sudah tau jika kamu itu cuma akan jadi pembawa s*al bagiku dan juga anakku, tapi memang dasar ngeyel! dia tetap mau menikahimu!'

'Salah siapa masih nekat menikah, padahal kamu tau aku tidak suka!'

Kata-kata menyakitkan itu selalu terngiang dan seolah enggan untuk pergi dari benak Parni. Hatinya terlampau sakit. Air matanya kembali menganak sungai. Menyebabkan sesak dalam dadanya.

Wanita itu kemudian memejamkan mata dan menengadah ke atas. Membiarkan perih di hatinya. Kembali wajah keempat anak dan suaminya membayang di pelupuk mata.

Ia terhenyak saat mendengar suara beberapa orang yang berbincang dari area pemakaman.

Ia lalu membuka mata dan berdiri, mengintip ke dalam area pemakaman demi menuntaskan rasa penasaran di dalam pikirannya.

Benar saja, empat orang lelaki dewasa sedang membawa cangkul dan sebagian menggali di tengah pemakaman.

Dari percakapan mereka, Parni tau jika ada bayi yang akan segera di makamkan saat itu juga.

Parni mengintip di balik tembok yang membatasi area pemakaman dengan kebun warga. Sebuah ide terbit begitu saja. Ide gila yang akan menjawab semua gundah yang ada di hatinya.

***

Parni tersenyum riang kala membawa sebuah karung putih di pundaknya. Ia sengaja menghindar dan bersembunyi jika ada tetangganya yang lewat.

Saat keempat anaknya bertanya, Parni hanya memberi pesan untuk menunggu bersama bapaknya. Tak ada seorang pun yang boleh masuk ke dapur selama proses memasak.

Anak-anaknya menurut. Yang penting mereka bisa makan, jika hanya di suruh menunggu, itu bukan hal yang sulit untuk dikerjakan.

Sebuah senyuman bahagia tersungging di bibir Parni. Tangan nya amat lihai mencin cang da ging dan meracik bumbu. Sebagian da ging ia masukkan ke dalam kulkas yang sudah berkarat, sisa kejayaan suaminya sebelum sakit-sakitan.

Alat elektronik usang itulah satu-satunya benda berharga yang ia punya. Itupun hanya tinggal menunggu waktu karena listrik sudah tenggak beberapa bulan dan ini masa-masa tinggal di putuskan secara sepihak karena tak kunjung ada pelunasan.

Dagi ng ia masukkan setelah bumbu bercampur santan yang ia parut dan peras sendiri dari kelapa yang tumbuh di belakang rumah.

Wajahnya amat bahagia begitu memikirkan keempat anak dan suaminya makan dengan lahap, karena untuk pertama kali ia memasak makanan yang diimpikan seluruh keluarganya.

Aroma gulai menguar memenuhi ruangan. Keempat anak Parni berteriak girang seolah tak sabar untuk menyantap hidangan yang dibuat oleh ibu mereka.

Parni menuang gulai dagi ng yang sudah matang ke dalam mangkuk dan membawanya keluar dengan hati yang bergemuruh riang.

Keempat anaknya menyambut dengan gembira. Mereka makan dengan amat lahap hingga meminta tambah berulangkali.

Sementara Parni dengan rasa sayang menyuapi suaminya, Gito yang bersandar di ujung ranjang.

Parni menatap haru keempat anaknya yang mengucap terima kasih padanya. Ia tersadar dari lamunannya kala mendengar suara serak Gito, suaminya.

"Dari mana uang untuk beli dagi ng, Bu? tumben bisa makan enak,"

Parni bergeming sejenak. Jantungnya berdegup kencang, seolah ada ribuan mata yang kini menatapnya. Ia seperti sedang diintrogasi oleh polisi.

"A–ada orang baik hati tadi kasih sedekah di jalan, Pak," jawabnya terbata.

"Oh, iya, alhamdulillah kalau begitu, Bu,"

"Rasa gulainya amat nikmat, jika masih ada sisa, jual aja, Bu. Mana tau laku," usul suaminya.

Parni terdiam sembari berpikir, benar kata suaminya, jika bisa di jadikan ladang uang, kenapa tidak?

"Iya, Bu. Gulainya enak sekali, Bu. Jualan aja, Bu. Pasti laku," Toni, anak sulungnya ikut menimpali.

Merasa di beri banyak dukungan, rasa percaya diri Parni terbit seketika.

"Ya, mulai besok Ibu akan berjualan gulai daging istimewa," jawabnya diiringi dengan senyum bangga.

****

Gulai Daging IbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang