Bismillah
Gulai Daging Ibu
#part_2
#by: Dewi Jambi
Sulis, tetangga sebelah rumah Parni mengendus, hidungnya kembang kempis mencium bau yang amat enak dari rumah gubuk yang selama ini amat jarang sekali tercium bau masakan.
Ya, sebagai tetangga dia tau betapa susahnya Bu Parni. Ia yang sebagai ibu rumah tangga harus rela bekerja sebagai tukang gosok keliling yang hanya berpenghasilan dua puluh ribu setiap ada yang memakai jasanya. Itupun tidak setiap hari. Kadang dua sampai tiga hari ia harus gigit jari karena tak ada yang menghubungi.
Itulah yang sering di keluhkan oleh tetangganya itu. Kadang, ia sering melihat Bu Parni menangis, memikirkan nasib keempat anaknya dan suaminya yang lum puh hingga tak mampu mencari nafkah.
Sulis tau betapa susah tetangganya itu. Dialah yang sering memberi sekedar lauk jika masak lebih dan juga beras. Sesungguhnya ia tak tega memberi nasi kemarin yang pada akhirnya ia pun memberi karena paksaan dari Bu Parni.
Seperti hari ini, ia mendapat dagi ng dari mertuanya setengah kilo. Ia ingin membagi ke Bu Parni, tapi untuk dirinya dan keluarga pas-pasan. Alhasil, ia hanya bisa mengelus dada dan meminta maaf dalam hati.
Namun, siang ini ia mencium aroma yang sama, hatinya mulai bertanya, dari mana uang Bu Parni, hingga bisa memasak daging seperti dirinya?
"Astaghfirullah, maafkan aku, Tuhan," Sulis menepuk mulutnya sendiri. Merasa berdosa sudah berpikiran buruk pada wanita mis kin yang selalu berbuat baik padanya.
Di dera rasa penasaran yang teramat sangat, Sulis memberanikan diri untuk singgah ke rumah Bu Parni.
Sulis mengetuk pintu belakang rumah tetangganya itu. Tak ada sahutan, yang ia dengar hanya suara riang anak-anak disertai tawa ibu bapaknya. Sulis ingin beralih dan memutar tubuhnya menuju arah depan, tapi, tiba-tiba pandangannya tertuju pada karung yang ada di belakang rumah, karena terdapat merah-merah seperti da rah dari kejauhan.
Dengan kaki gemetar Sulis mendekat, saat ia akan menyentuh karung, tiba-tiba ...
Kriettt!
Pintu belakang rumah bergerak, Sulis tersentak dan memandang ke arah sosok yang tengah berdiri dengan wajah tak suka.
"Ada apa, Lis?" sosok yang tak lain adalah Bu Parni itu mendekat, wajah legamnya terlihat panik saat matanya tertuju pada karung yang tadi ia bawa. Lupa membuang dan membakarnya.
"I–ini, Bu, saya lihat karungnya kok banyak bercak da rah, ya?" ungkap Sulis kemudian.
Bu Parni bergeming, tapi raut wajahnya tak bisa bohong jika saat ini ia didera kecemasan yang teramat sangat.
"Oh, itu ... kakakku yang berada di desa sebelah suka berburu rusa. Rencana mulai besok aku akan menjual gulai dagi ng rusa, untuk tambah-tambahan belanja," kilah Bu Parni.
Tentu saja wanita itu berbohong. Sedari bayi ia sudah sebatang kara. Ibunya gan tung diri waktu Parni bayi karena tak kuat menanggung
hu tang suaminya yang suka berjudi. Bapaknya pun meninggal saat usia Parni dua tahun akibat ove rdosis.Parni kecil akhirnya dirawat neneknya yang akhirnya meninggal saat Parni berusia delapan belas tahun.
Parni dewasa sebelum waktunya. Ia harus bisa mengurus semua seorang diri termasuk dalam mencari nafkah.
Di dera kesusahan yang beruntun, Parni menjadi sosok kuat dan penuh misteri.
Dalam hatinya selalu berkata,' apa pun akan aku lakukan demi melihat anak-anakku bahagia.'
"Oh, begitu ya, Bu. Tadi saya mencium bau yang sangat harum, makanya saya ke sini. Mau tanya resep, gitu," Sulis menyunggingkan senyum. Ia tak enak hati karena ketahuan mengintip di belakang rumah Bu Parni.
Senyum seketika terbit di bibir Bu Parni. "Oh, kebetulan, saya memang mau mencicipi daging rusa yang di gulai khas resep kampung saya," Bu Parni lantas masuk dan tak lama membawa semangkuk gulai.
"Ini, dicicipi, nanti kasih saran apa yang kurang sebelum saya jual," kembali Bu Parni menyunggingkan senyum dan menyerahkan mangkuk yang berisi gulai daging pada Sulis.
"Terima kasih, Bu," ujar Sulis senang.
"Sama-sama, tapi lain kali jangan datang dari pintu belakang. Kata orang dulu ga sopan."
Sulis yang mendengar langsung melebarkan matanya. Ucapan Bu Parni sungguh sangat membuatnya salah tingkah. Apakah Bu Parni marah padanya?
"Oh, iya, Bu. Kalau begitu saya permisi dulu, Bu. Terima kasih sekali lagi untuk dagi ng gulainya." Dengan wajah yang sulit diartikan, Sulis pamit dan memutar tubuhnya. Ia melangkah dengan hati yang tak enak.
Bu Parni masih tetap berdiri di tempat sembari menatap langkah langkah Sulis yang tergesa.
Salah satu sudut bibirnya ditarik hingga menciptakan senyuman sinis yang membuat siapa pun akan bergidik ngeri bila melihatnya.
"Kamu jangan berani-berani ikut campur, Sulis. Biarpun selama ini kamu baik, tidak menutup kemungkinan, kamu yang akan jadi bahan baku untuk gulai selanjutnya," lirihnya seraya memutar tubuh dan meraih karung yang ada bercak dar ahnya itu.
Ia lalu merogoh kantung dan meraih koset, memantik api dan membakar karung beserta sampah yang ada di belakang rumahnya.
"Hampir saja ketahuan, besok-besok aku harus lebih jeli," gumamnya sembari melangkah masuk ke dalam rumah.
***
Degup jantung Sulis belum mereda saat tiba di dalam rumah. Merutuki semua perbuatan yang baru saja ia lakukan.
Ia sama sekali tak menyalahkan kemarahan Bu Parni padanya. Karena memang mengakui jika ia salah. Semua itu karena ke-kepoannya.
Seharusnya ia bersyukur bila Bu Parni sekeluarga hidupnya sudah jauh lebih makmur dan bisa makan tanpa menyusahkannya, bukan malah diam-diam mengintip dan berpikiran buruk kepadanya.
Huffttt!
Sulis menghela napas dalam. Ia lalu menatap gulai yang ada di hadapannya.
Aroma yang sedap menguar hingga membuat perutnya keroncongan. Sepertinya gulai pemberian Bu Parni memang nikmat.
Sulis beranjak dari duduknya dan melangkah ke arah dapur, mengambil nasi dari dalam magicom dan kembali ke ruang tengah. Ia sudah tak sabar untuk menyantap gulai yang membuatnya amat berselera.
Benar saja, satu suapan kuah masuk ke dalam mulutnya.
"Ahh... nikmatnya...,"
Itu baru kuah. Belum dagingnya. Baru kuah saja sudah membuat Sulis merem melek saking enaknya. 'Gurih, sedikit pedas, ada manisnya, pokoknya mantul,' batin Sulis.
Suapan kedua, Sulis mencampur nasi, kuah dan sepotong dagi ng berukuran kecil, mengunyahnya perlahan.
"Emmh, tekstur dagingnya beda dengan sapi. Lebih kenyal, tapi berlemak. Ini enak. Lebih nikmat dari daging sapi," Sulis berbicara pada dirinya sendiri.
Saking nikmatnya ia seperti enggan untuk berhenti. Suapan-suapan selanjutnya ia masih menikmati tanpa banyak berkomentar. Ia mengakui bahwa masakan Bu Parni memang sangat enak. Ia yakin jika nanti berjualan, gulai Bu Parni pasti laku keras.
Hingga kuah menyusut dan dagi ng tinggal beberapa po tong, mata Sulis menangkap sesuatu yang berbeda pada bentuk daging yang membuatnya mengernyitkan dahi, heran.
Ia menyendok daging tersebut dan memperhatikan dengan seksama. Seketika tangannya gemetar dan melempar sendok berisi daging ke sembarang arah.
"Ja–jari ... ta–ngan?"
****

KAMU SEDANG MEMBACA
Gulai Daging Ibu
HorreurKehidupan yang begitu keras membuat Parni, 40 tahun harus memutar otaknya hanya demi memenuhi keinginan anak-anak dan suaminya yang lumpuh sejak lama. Membawanya pada dosa yang tak bertepi. Apa yang kira-kira di lakukan Parni?