Bismillah
Gulai Daging Ibu
#part_4
#by: R.D.Lestari
Tersiarnya kabar gulai daging Parni yang nikmat membuat banyak orang yang rela antri untuk mencicipi. Tak terkecuali Halimah, Ibu dari Gito, alias mertua Parni.
Desas desus tentang nikmatnya gulai daging yang katanya gurih dan membuat lidah bergoyang, menjadikan rasa penasaran kian membuncah di hati Halimah.
Sore ini ia begitu antusias ingin berkunjung ke rumah menantu miskin yang selalu di hinanya itu. Sedikit memaksa anak gadisnya yang baru saja pulang bekerja.
"Mau apa sih, Mak? biasanya lihat Mbak Parni aja sudah mau muntah," Sarinah berdecak kesal. Tubuhnya masih teramat lelah sehabis bekerja di Pabrik tempat pembuatan saos.
"Mak penasaran. Kata tetangga sebelah masakan Parni itu enak,"
"Mak, selama ini Mamak berlaku kasar sama Mbak Parni. Sari aja ga di bolehin ngasih jajan apa lagi bantu keseharian mereka. Padahal Sari kasihan, Mbak Parni dan anak-anaknya pasti sering kelaparan," desis wanita berkulit putih itu sembari menaruh pantatnya di kursi rotan dengan sedikit menghentak.
"Ya, karena Mamak benci wanita miskin yang ga tau malu seperti dia. Bawa sial. Buktinya tu abangmu lumpuh dan tak bisa bekerja. Makan tidur, ga bisa ngasilin uang!" Halimah malah naik pitam diungkit keburukannya.
"Semua itu takdir Allah, Mak. Mana kita bisa menolak? Mamak kan juga punya banyak warisan, kasih lah dikit untuk Bang Gito, biar Mbak Parni bisa pake untuk modal usaha," Sari mencoba meluluhkan hati Halimah.
"Halah, menantu ga tau diri macam itu. Jualan enak aja ga ada mikir mau kasih mertua, dasar pelit!" cibirnya dengan wajah masam.
"Kalau aku punya mertua seperti Mamak juga aku ogah, Mak. Nganter nanti cuma dapet hinaan, buat apa," Sari serta merta bangkit. Ia sebenarnya amat kesal dengan sifat mamaknya yang pilih kasih.
Giliran sama Dewi, menantu dari Abang tertuanya, Diman, maknya amat baik. Itu karena Dewi bekerja di kantor besar dan punya gaji yang hampir sama dengan gaji abangnya, Diman.
"Dasar anak kurang ajar kamu! kalau ga mau nganter ya sudah! aku pergi sendiri!" Mak memutar tubuhnya seraya menghentak kaki, merajuk.
"Ya sudah, Sari aja yang pergi. Mak tunggu aja di rumah,"
"Mamak mau ikut,"
"Tapi, Mak ...," Sari akhirnya mengalah karena mendapat ancaman dari mata Mak yang melebar marah.
Dengan sedikit menghela napas, Sari melangkah ke arah motor, mengikuti langkah mamaknya yang nampak bersemangat.
Saat itu hari mulai senja, terselip rasa keraguan di hatinya saat motor sudah menyala. Rumah kakaknya yang berada di desa sebelah membutuhkan waktu yang cukup lama dan melewati area pemakaman yang luas.
Sari melenguh saat motor sudah bergerak menjauhi rumah. Sedangkan Halimah menarik salah satu bibirnya. Ada yang sesuatu di dalam hatinya. Ia bukan hanya sekedar ingin mencicipi masakan menantunya itu, tapi juga ingin melihat bagaimana keadaan anaknya.
"Mak, kita pulang aja, yok. Hari mulai gelap, mana jalanan sepi dan sebentar lagi kita masuk area pemakaman," Sari berulang kali menyentuh tengkuknya. Merasakan gelanyar aneh dan buku kuduknya berdiri saat motor semakin dekat dengan area pemakaman.
"Ah, sudahlah. Tak akan ada apa-apa," Halimah masih ngotot dan menolak pulang. Alhasil Sari tetap melanjutkan perjalanan mereka meski hati menggerutu kesal.
Sari menyipitkan mata saat ia melihat seseorang seperti duduk di pinggir kuburan, bunyi berisik seperti orang bercakap-cakap terdengar lantang, membuat darah Sari berdesir seketika. Jantungnya bergemuruh kencang. Sari yang di dera rasa takut yang teramat sangat tanpa sadar menggas motornya hingga laju motor sangat kencang. Halimah yang di belakangnya hampir saja terjungkal, kalau saja ia tak sigap mencengkeram baju kerja anak perempuannya itu.
"Sari! jangan ngebut-ngebut!" teriak Halimah saat mereka sudah melewati area kuburan.
Napas Sari tersengal-sengal. Beberapa kali ia menarik napasnya susah payah, ia bisa sedikit lega saat telah melewati kuburan.
Baru saja Sari ingin menjawab pertanyaan mamaknya, rungunya mendengar suara lirih bayi yang sedang menangis.
"Oekk--oekkkk!"
"Ma ... Mak ..., pe ... gangan!" Sari kembali tancap gas karena ia yakin tak mungkin ada bayi ditempat yang penuh dengan pepohonan rindang dan ilalang yang tinggi, karena di samping komplek pemakaman memang terdapat semak yang cukup luas.
Sementara motor Sari yang saat itu melaju kencang membuat seseorang yang memang duduk di depan komplek makam menatapnya heran dan bertanya-tanya. Ia menggaruk kepalanya yang tak gatal melihat tingkah wanita yang bawa motor ugal-ugalan seperti ketakutan.
Laki-laki itu lantas bangkit dan masuk ke dalam areal makam dan kembali duduk di makam bersama beberapa orang yang berjaga. Mereka duduk sembari menyantap gorengan dan minum kopi mengelilingi kuburan bayi yang baru di makamkan sore tadi.
Semenjak hilangnya mayat bayi yang baru di makamkan beberapa hari yang lalu, warga selalu berjaga jika ada keluarga mereka yang meninggal dunia. Kasus pencurian mayat belum terungkap dan itu membuat semua orang takut. Banyak yang berspekulasi jika itu diambil binatang buas dan ada juga berpikir untuk ilmu hitam. Entahlah, karena semua masih menjadi misteri yang belum terungkap.
***
Sesampai di rumah Parni, Sari tak lantas turun. Rasa takut masih menguasai dirinya. Ia terlihat enggan untuk masuk ke rumah ipar yang sudah sejak lama tak pernah ia singgahi karena di larang keras Mamaknya.
"Kamu ga turun? ayo, cepat ini sudah malam," Halimah menekan suaranya agar Sari mau menurut dan ikut ke dalam.
"Mak duluan saja, Sari mau membeli jajan di warung depan untuk anak-anak Bang Gito," sahutnya saat mulai tenang.
"Halah, ngapain susah-susah buat beli jajanan untuk anak-anak dekil bin kumel seperti mereka," gerutu Halimah berniat mencegah anaknya yang hendak bergerak ke warung bersama motornya.
"Mak, biar begitu, mereka cucumu. Sadarlah, Mak. Sebelum hal buruk terjadi pada Mamak," tanpa menunggu jawaban mamaknya, Sari memutar motor dan melaju dengan kencang menuju warung yang sempat ia lihat sebelum sampai di rumah abang nomor duanya itu.
Halimah menggeram marah. Merasa Sari tak mengindahkan ucapannya. Ia lalu berbalik dan melangkah menuju rumah papan yang sebagian sudah lapuk dan dimakan rayap.
Langkahnya terhenti sejenak saat tiba di depan pintu rumah menantu yang amat ia benci. Kalau tidak karena rasa penasaran yang begitu tinggi, ia tak ingin sedikitpun untuk menginjakkan kaki di rumah gubuk yang penuh debu seperti saat ini.
Tok! tok! tok!
Ia mengetuk pintu dengan kuat. Membuat rumah papan itu sedikit bergetar karenanya. Berulang kali ia memanggil si empunya rumah. Tak ada sahutan, tapi kemudian ....
![](https://img.wattpad.com/cover/298914897-288-k631789.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Gulai Daging Ibu
HorrorKehidupan yang begitu keras membuat Parni, 40 tahun harus memutar otaknya hanya demi memenuhi keinginan anak-anak dan suaminya yang lumpuh sejak lama. Membawanya pada dosa yang tak bertepi. Apa yang kira-kira di lakukan Parni?