part 5

17.5K 1.4K 96
                                        

Bismillah

Gulai Daging Ibu

#part_5

#by: R.D.Lestari.

Tok! tok! tok!

Ia mengetuk pintu dengan kuat. Membuat rumah papan itu sedikit bergetar karenanya. Berulang kali ia memanggil si empunya rumah. Tak ada sahutan, tapi kemudian beberapa detik kemudian terdengar derap langkah mendekati pintu dan seseorang serta merta membuka pintu dengan tergesa.

Seraut wajah lelah memakai mukenah usang yang sudah terkoyak di beberapa bagiannya menatap nanar kedatangan Halimah. Bibirnya bergetar seolah tak percaya sosok yang saat ini berdiri dihadapannya.

"I--Ibu ...," desisnya.

"Ma--mari, masuk, Bu ...," wanita yang tak lain adalah Parni itu segera menyingkir dan menunduk hormat saat mertuanya itu hendak melangkah masuk.

Pandangan Halimah mengedar kesegala arah. Rumah kayu bobrok yang membuatnya jijik. Ia tak menyangka anaknya betah tinggal di tempat kumuh dan hidup susah bersama Parni.

"Mana Gito?" Ia menyentak tangannya saat Parni hendak mencium tangan Ibu dari suaminya itu.

Dengan suara yang tercekat Parni berusaha menjawab, karena ia mendapat perlakuan tak mengenakkan.

"A--ada, Bu. Di kamar. Baru selesai solat,"

"Anak-anakmu, mana?" tanyanya penuh selidik. Matanya tetap memperhatikan setiap inci dari rumah Parni yang membuat ia bergidik. Jijik.

"Mereka biasa tertidur setelah abis magrib, Bu. Karena tak ada TV," jawab Parni pelan.

"Kalau begitu aku mau ketemu sama Gito," tanpa permisi Halimah melangkah menuju kamar anaknya. Sedangkan Parni mengikuti dari belakang.

Halimah menatap kasihan anaknya yang saat ini sedang menyuap makannya dengan susah payah. Hanya nasi dan sayur, tanpa lauk. Tanpa terasa air matanya mengalir di ujung matanya.

Gito yang sedang menyuap segera menghentikan makannya dan melayangkan senyum pada mamaknya yang saat itu masih berdiri mematung di ambang pintu.

"Gito ... malangnya nasibmu, Nak. Ikut Mamak pulang, nanti Mak masakin makanan yang layak untukmu," semarah-marahnya Halimah pada Gito yang lebih memilih pada istri yang dari dulu ia tentang, tetap saja Halimah tak tega melihat anak nomor duanya itu dalam kondisi kurus dan tak terawat.

Parni hanya bisa menghela napas pelan. Dadanya seketika sakit mendengar ucapan ibu mertuanya. Ia sadar, memang saat ini suaminya sangat jauh berbeda dengan saat sebelum suaminya sakit.

"Kau Parni. Bagaimana caramu merawat anakku. Sudah aku bilang kamu itu hanya pembawa sial! sial!"

Halimah mengarahkan jari telunjuknya ke kening Parni, hingga kepala Parni sedikit terdorong ke belakang.

Parni hanya bisa mencengkeram mukenahnya. Ibu mertuanya memang selalu berbuat buruk padanya, tapi kali ini perbuatannya sangat menyakitkan.

"Mamak!" Gito mengulurkan tangannya ke arah Parni yang hampir saja tersungkur. Beruntung ia cukup tangkas berpegang pada konsen pintu.

"Mamak!"

Sari yang baru saja datang dan melihat kejadian tak mengenakkan itu langsung berlari dan membantu Parni berdiri.

Kilat amarah begitu terpancar di mata Sari. Kali ini mamaknya sungguh sangat keterlaluan. Kantong berisi jajanan untuk keponakannya terbang begitu saja, terlempar dari tangannya tanpa sadar.

"Mamak ini! meski Mbak Parni tak melawan, Sari rasa Mamak tak berhak berbuat kasar! Mbak Parni juga menantumu, anakmu, Mak!" suara Sari menggelegar.

Sedikit terhuyung, sembari menahan tangis, Parni melepas genggaman tangan si adik ipar dan berlari ke arah kamar anak-anaknya saat mendengar suara si bungsu Tono yang menangis.

Sari menatap geram mamaknya, begitu pun Gito. Lelaki lumpuh itu hanya mampu menangis menghadapi sikap mamaknya yang keterlaluan pada istri yang selama ini banting tulang demi dirinya dan keempat anak mereka.

"Kalian ini, bela wanita ga jelas macam Parni. Pembawa sial! ngerti ga kalian, hah?"

"Mak ... Mak tadi janji datang kemari cuma mau mencicipi gulai daging buatan Mbak Parni, tapi kenapa malah marah-marah begini?" Sari kembali mengungkap niat awal mamaknya. Halimah hanya terdiam, membungkam mulutnya.

Parni yang berada di kamar sebelah membuka telinganya lebar-lebar. Hatinya sakit bukan kepalang. Sembari menepuk-nepuk pantat Tono pelan, agar bocah itu kembali tertidur nyenyak, tangis Parni pun pecah dalam kebisuan.

Hidupnya yang baru saja akan bahagia, karena usaha gulai dagingnya yang selalu habis dan mendulang rupiah, kini ia harus menelan pil pahit akan kehilangan suami, karena pasti ibu mertuanya akan membawa pergi Gito setelah pertengkaran malam ini.

Parni terisak sembari mencengkeram dadanya yang terasa amat sakit. Ia hanya menunggu momen berikutnya. Ia pasrah. Mungkin memang bahagia tercipta bukan untuknya.

Setelah perdebatan panjang, dan waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, Halimah akhirnya memutuskan untuk pulang dan berjanji membawa serta anak keduanya, Gito, setelah ia menyuruh anak pertamanya, Diman, menjemput dengan membawa mobilnya.

Hati wanita mana yang tak hancur mendengar suaminya akan di bawa pergi jauh darinya, tapi Halimah beralasan jika tinggal bersamanya, Gito akan lebih terawat dan bisa di sembuhkan.

Parni hanya bisa pasrah. Tak banyak kata terucap dari mulutnya. Ia larut pada kesedihan yang teramat dalam.

"Ayo, Sari. Kita pulang," ajak Halimah dengan suara yang ditekan. Ia sudah jengah berada di rumah kumuh milik menantunya.

"Sari ga mau, Mak! trauma lihat kuburan tadi!"

"Kalau kamu ga mau pulang, Mamak pulang dengan siapa?" bentak Halimah.

"Mamak pulang sendiri aja!" ujar Sari. Ia berkeras tak ingin pulang malam itu juga.

"Baik, Mak pulang sendiri!" wanita tua itu menjawab enteng.

"Naek apa, Mak?" tanya Parni yang saat itu memberanikan diri untuk bicara.

"Halah, tukang ojek banyak! ngapain takut!" sahutnya sembari berdiri dan menatap tajam ke arah Sari.

"Mak ... jangan ngeyel, Mak. Besok aja," lagi, Sari berusaha menahan mamaknya, tapi Halimah tak perduli. Ia melangkah dengan tergesa tanpa menghiraukan panggilan anak dan menantunya.

Sepeninggal Halimah, Sari berniat untuk menumpang ke kamar mandi. Sedangkan Parni kembali masuk ke dalam kamar.

Pandangan mata Sari mengedar ke segala arah. Dapur milik Parni masih sangat tradisional. Masak pakai tungku dan kayu bakar berhamburan.

Sari sempat bergidik ngeri saat matanya tertuju pada pisau besar yang sepertinya bertugas memotong daging. Begitu tajam dan tampak mengerikan.

Pluk!

Sari terlonjak saat bahunya seperti di tepuk seseorang dari belakang. Benar saja, saat Sari menoleh, Parni sudah berada di belakangnya sembari tersenyum simpul.

Serta merta Sari memutar tubuhnya dan mendapati Parni sudah berganti pakaian dan memakai sepatu bot. Karung putih sedang ia lipat.

"Mbak titip anak-anak dulu. Mbak ada urusan," ujarnya.

"Mbak mau ke mana?" tanya Sari penasaran. Mau kemana Parni di jam mendekati tengah malam begini?

"Mbak ada perlu. Pokoknya kamu di rumah aja, jangan ke mana-mana. Tidur di kamar anak Mbak aja," tanpa menunggu jawaban dari Sari, Parni melangkah pasti meninggalkan rumah.

Sedangkan Sari di landa rasa khawatir yang teramat sangat. Bagaimana keadaan mamaknya? mengapa ia melihat Parni amat tenang dan bahagia malam ini, padahal ia baru saja bertengkar dengan mamaknya?

Parni ... ia mau ke mana ?

****

Gulai Daging IbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang