0.1

14 5 0
                                    

Suara detakan jarum jam memenuhi ruangan dengan keheningan yang membumbung. Hanya ada satu manusia yang sejak tadi memandang kosong langit-langit kamar, entah apa yang ada dipikirannya namun setiap beberapa saat helaan napas panjang terdengar. Seakan menandakan banyak beban yang ia angkut di atas pundaknya. Manusia itu menoleh, pandangannya beralih pada jam burung hantu hadiah dari ibunya tahun lalu, jam yang setia membunyikan alarm setiap pagi.

"Dua belas."

Pukul dua belas, siang. Namun hujan masih saja mengucur dari langit. Bahkan sejak mentari mulai bersinar atau bahkan belum sempat menyinarkan sinarnya, hujan sudah datang. Manusia tadi beranjak, menuju kamar mandi. Berniat menyikat gigi dan membasuh wajah, masalah mandi sudah sejak pagi ia lakukan.

"Sudah rapi kamu ra. Mau kemana? Hujan loh, sini sama mbak saja kita makan mie ayam."

"Nanti sajalah mbak, aku ada urusan."

Manusia itu, yang biasa dipanggil Lara, berpamitan sejenak dengan penghuni kos lain. Menyilahkan mereka menyantap mie ayam yang sangat menggoda di tengah meja makan. Tapi Lara menyadarkan diri, dia harus bergegas. Jadwal rutinnya akan berantakan jika hal ini tidak dilakukan.

Dengan berbekal payung milik ibu kos yang ia pinjam, Lara melangkah keluar gang tempat kosnya berada. Gerimis masih turun, namun tak sederas tadi. Tak apa, suasana menjadi tenang karenanya. Menuju halte dan menaiki angkutan kota, menjadi kebiasaan sejak ia menetap di kota ini.

"Selamat siang Lara, tidak ada malas-malasnya kamu. Hujan begini masih saja keluar."

Itu bapak pengemudi angkutan kota, entah siapa namanya. Namun bapak ini selalu mengajak Lara berbincang setiap kali ada kesempatan. Mengusir sepi dan bosan bagi keduanya. Angkutan kota kembali bergerak menyusuri jalanan, sesekali terhenti menurunkan penumpang. Tujuan Lara masih lama, bapak pengemudi angkutan kota tahu akan hal itu.

"Kamu sudah punya pacar belum?" Lirikan dari sang pengemudi jatuh pada wajah teduh gadis yang tengah memandang keluar jendela yang tertutup.

"Belum pak. Kalau bapak mau menjodohkan saya dengan anak bapak yang tampan itu, saya mundur. Kan sudah dibilang kang Asep sudah ada pacar." Lara sedikit terkikik melihat bagaimana senyum yang bapak sopir sunggingkan perlahan luntur.

"Ck! Si Sri itu perempuan tidak baik dalam pergaulannya. Tidak cocok dengan anak saya."

"Maka dari itu pak, kehadiran kang Asep bisa jadi lentera putih yang akan memutihkan hidup mbak Sri yang akan menggelap. Beri waktu hingga mbak Sri menunjukkan versi terbaiknya pak. Perubahan butuh waktu."

Lara mengangguk, diiringi dengan bunyi suara pintu angkutan kota yang terbuka. Percakapan singkat mereka membawa waktu melesat dengan cepat hingga tanpa terasa tempat tujuan Lara sudah di depan mata. Bapak pengemudi tersenyum lebar, merasakan apa yang Lara utarakan tadi benar adanya. Tidak salah bukan memberikan kesempatan pada manusia lain?

"Kalau gitu kapan-kapan kamu saya temukan dengan anak kedua saya ya? Dia tidak kalah tampan dari Asep, namanya Slamet."

Kali ini kekehan yang terdengar mengalun. Tujuan Lara telah didepan mata. Tangan Lara melambai, menandakan tidak akan ada lagi jodoh-menjodohkan versi kedua. Kendaraan menderu seru, menjauh dari pandangan Lara. Hujan mereda, menyisakan langit yang masih sendu karenanya. Langkah kaki Lara menapak mantap, memasuki area yang biasanya terlihat ramai kini begitu sepi terlihat.

"Lihatlah siapa yang datang dikala hujan menerjang." Senyum yang sumringah dapat Lara dapatkan dari wajah tua yang menyambutnya, membiarkan kerutan disepanjang wajah menyatakan bahwa sudah setua apa ia hidup di dunia ini.

"Hujan sudah reda pak. Lagian hujan begini enggak menyurutkan semangat saya, untuk menghabiskan waktu di toko pak Basri hehe."

Tempias air masih menetes didalam toko tua ini, tidak banyak namun jika dibiarkan, toko yang menjual buku-buku bekas ini akan terkena imbas buku yang menjamur dan rusak.

"Terserahlah apa katamu, silakan cari buku yang kamu suka. Kebetulan dipojok sana ada buku baru, kalau tidak salah kira kemarin ada barang bekas juga. Kamu harus lihat sebelum orang lain membawanya pulang."

Seusai percakapan singkat itu, pak tua Basri masuk ke dalam toko. Memang tidak terlalu dalam dan terkesan sumpek akan adanya tumpukan menggunung buku-buku, tapi itulah tempat ternyaman dan teraman dari tempias air.

Lara mengangguk, inilah kesibukan Lara jika sedang senggang. Kegiatan 'mari mengunjungi toko buku jadul milik Pak Basri'. Dan lihatlah, kaki gadis itu sudah riang bergeser ke pojok toko yang Pak Basri maksud. Dahinya berkerut, mengambil satu dua buku yang dikira menarik hati, namun lima detik kemudian diletakkan kembali. Kurang menarik setelah dibaca sekilas. Lalu akan beranjak ke buku-buku lainnya. Hingga sudut matanya tidak sengaja melihat sesuatu yang menarik.

"Pak Basri. Ini bukannya walkman ya?"

Kepala Pak Basri melongok penasaran, lantas teriak mengiyakan. Katanya ada orang yang sudah memberikannya, walkman lama sudah rusak. Lantas kenapa masih dipajang?

"Coba kamu pergi ke toko pojok sana."

Toko paling pojok dari deretan toko ini memang paling sepi. Namun dengan arahan Pak Basri, Lara melangkahkan kakinya. Sedikit bingung karena pemilik toko tak ada dibalik meja kerja.

"Oy! Cari apa?"

"Eh bang, ini kata Pak Basri, abang bisa memperbaiki walkman?"

"Bisa."

Datang dari belakang sosok dekil yang tengah menggaruk rambutnya gatal, lantas mengambil walkman yang ada ditangan Lara. Mulai duduk di meja kerja dan berfokus memperbaiki. Tidak ada percakapan yang berarti, abang-abang itu hanya diam sembari bergumam sendiri melihat kerusakan walkman itu.

"Memangnya walkman sedang hits lagi ya?" Tanpa menoleh abang itu bertanya.

"Tidak bang, saya hanya penasaran."

Abang itu mengangguk, melanjutkan kegiatannya. Melihat dari terampilnya tangan si abang, Lara yakin walkman itu akan bisa digunakan lagi.

"Nah, bentar abang cek bisa nyala tidak."

Badan kurus abang itu sedikit berlari mengarah ke salah satu toko, lalu kembali lagi dengan senyum sumringah karena walkman bisa menyala dan mendendangkan lagu dengan keras.

"Wah, terimakasih banyak bang."

"Kalau ada apa-apa ke sini lagi saja Neng."

Lara mengangkat jempolnya, menyetujui. Setelah transaksi selesai, Lara kembali lagi ke toko Pak Basri. Menanyakan berapa uang yang perlu ia keluarkan untuk barang lama ini.

"Tidak usah, lagipula tadi butuh perbaikan. Anggap saja hadiah ulang tahun dari saya."

"Jangan begitulah pak, saya tidak enak. Ini ya terima."

Lalu selanjutnya terjadi berdebatan membayar atau tidak untuk walkman usang. Dengan akhir, Lara menghembuskan napas frustasi dan mencomot sembarang buku untuk melarisi toko Pak Basri yang masih keras kepala untuk Lara membawa walkman itu pergi tanpa mengeluarkan sepersenpun uang.

"Ya sudah, saya pamit Pak Basri. Mau mengerjakan tugas dosen."

Melambaikan tangan pada sosok tua yang sedang tersenyum lebar karena memenangkan perdebatan, Pak Basri terkekeh dan mempersilakan Lara pulang.

"Hah.. Anak muda yang penuh semangat."


///

Aksara LaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang