0.2

4 1 0
                                    

Sekali lagi gadis dengan nama Lara itu menyusuri jalan hingga berakhir pada toko buku tua kesukaannya. Sedikit terkejut sendiri karena datang pada jam yang lumayan telat untuk ukuran manusia penuh ketaatan jadwal.

"Hai hai hai, bagaimana harimu?"

"Baik, selalu baik Pak." Beberapa saat kemudian gadis itu menjentikkan jari, mengingat betapa bodohnya ia kemarin pulang dengan hati senang dengan walkman di tasnya dan tidak menyadari jika ia tak punya satupun kaset tape yang dapat ia putar di kamar kos.

"Pak! Saya baru ingat. Bodohnya saya kemarin tidak bertanya tentang kaset tape."

Kening Pak Basri yang mengerut seketika ditepuk kencang oleh tangannya sendiri, ikut merasakan betapa bodoh gadis di depannya.

"Ck ck ck, lalu kamu apakan alat itu semalam ha? Mana sudah semangat sekali pula."

Pertanyaan dan pernyataan Pak Basri dihadiahi kekehan kencang dari Lara.

"Cuma saya liatin Pak, sudah telpon ibu sebenarnya di kota seberang sana. Ada peninggalan punya kakek saya dulu, tapi masa iya saya harus minta tolong ibu mengantarkannya semalam. Tidak punya kendaaraan spesifikasi buroq kita di rumah."

Kali ini Pak Basri menyambutnya dengan suara tertawa yang keras hingga beberapa pengunjung berhenti dan melongok ingin tahu apa yang terjadi, lalu mulai berjalan setelah mengerti itu hanya suara tawa bapak tua berjanggut tebal di toko buku sebelah bengkel.

"Baik baik, saya mengerti."

Dengan masih menetralkan tawa dan mengelap sedikit air mata yang keluar di sudut matanya.

"Coba deh kamu balik badan grak!"

"Eh pak? Kok jadi main baris berbaris?"

"Sudah ikuti saja apa perintah saya."

Tidak ada yang spesial setelah sepersekian detik, hanya ada tampak toko tua (sama tuanya dengan toko milik Pak Basri) dengan rolling door yang berkarat menggantung. Lara melangkah, sedikit berpikir sejak kapan ada toko ini di sini.

"Sudah lama tokonya, kamu saja yang tidak sadar. Sebenarnya juga tokonya tutup setahun ini. Pemiliknya sakit keras, tapi sepertinya cucunya datang membuka toko tadi pagi."

Tidak mendengar, seluruh atensi Lara hanya tertuju pada toko tua itu dan matanya dengan tajam memicing salah satu barang yang terpajang sebagai karakter utama dalam dunia jual-beli. Tubuhnya sudah seluruhnya masuk, sedikit mendeskripsikan bagaimana pengelihatan gadis bernama Lara ini.

Toko dengan ukuran yang tidak terlalu besar, mungkin jika dikira-kira 3x3. Lalu, sebenarnya toko ini bercat putih tapi karena termakan waktu yang entah sudah berapa lama, cat itu berubah warna menjadi kecoklatan. Kipas angin diatas meja, dengan banyak debu yang menempel di penutupnya dan oh! Lara menemukannya, kaset tape jadul dengan tulisan yang sudah pudar. Bukan hanya satu, namun ada banyak sekali kaset tape di sana. Kebanyakan tersusun rapi di dinding dan sebagian yang malang tidak mempunyai tempat, harus mendekam di kardus reyot penuh bekas gigitan tikus hingga akhirnya terpajang suatu saat nanti.

Hati bungah, menyenangkan rasanya menemukan sesuatu yang bisa disenangi dengan mudah. Senyuman terukir, satu tangan meraih kaset dan satu tangan lainnya mengambil walkman lalu memasangkannya. Detik berikutnya dendangan cukup keras menggema, memenuhi setiap ruang toko itu. Lara tersenyum puas.

"Ternyata anak muda sekarang masih ada yang menggemari musik lama ya."

Badan Lara terlonjak, hendak menjauh tapi naas, jika ia menjauh maka ia akan terjatuh menimpa kaset yang ada didekatnya.

"Ups! Maaf membuatmu kaget."

Seseorang itu tersenyum, menahan tubuh Lara dan mulai menegakkannya.

"Kamu siapa?"

Bukankah yang seharusnya menanyakan pertanyaan itu si seseorang pemilik toko? Bukannya Lara yang dengan polosnya menanyakan hal itu dan sedikit mendorong orang itu agar sedikit menjauh.

"Hahaha, saya pemilik toko ini. Ada yang bisa saya bantu?"

"Loh, bukannya pemilik tokonya sudah tua? Kenapa kamu masih muda sekali?"

"Ah, kamu membicarakan kakek saya. Ya, sebenarnya pemilik asli toko ini kakek saya. Tapi kakek ingin saya mengelola toko tua ini. Bukankah toko ini sangat menarik? Dilihat dari penampilannya dan bau khas apek memang membosankan, tapi bagi saya di sini adalah segalanya."

"Ya, toko-toko tua memang memiliki daya tarik tersendiri."

"Benarkan!"

Sosok itu mengangguk antusias. Mengarahkan Lara untuk duduk di kursi belakang meja dan dirinya keluar sejenak untuk meminjam kursi plastik milik toko tetangga, mengingat ia masih kekurangan kursi di tokonya sendiri. Lara masih terdiam, sedikit mencerna perkataan Pak Basri sesaat sebelum ia terjerumus ke dalam toko kaset ini.

"Cucu ya, pantas saja masih muda." Ucap lirih gadis itu.

"Maaf menunggu lama, sedikit bernegosiasi karena ternyata pemilik toko sebelah hanya memiliki dua kursi. Perkenalkan saya Aksara. Kamu?"

"Oh saya Lara."

Keduanya beradu tatap dan beradu senyum canggung selama beberapa saat, hingga canggung yang sebenarnya datang menghampiri. Lara bukanlah seseorang yang gampang renyah dengan orang baru dan mungkin saja, lelaki di depannya juga seperti itu. Namun dilihat dari gerak-geriknya, Aksara terlihat santai dengan tangan yang sibuk mengelap kaset tape berdebu dan bibir yang bersiul menirukan melodi yang masih terputar dari walkman Lara.

"Saya mau lihat-lihat sebentar boleh?"

"Oh! Boleh, silakan-silakan. Enjoy~"

Beranjak berdiri, insting Lara menuntunnya untuk melihat salah satu kaset yang bersampul tua namun nama sang penyanyi tak pernah menua di telinga para pendengar, karena jujur saja Lara sering mendengar nama itu dan beberapa lagunya.

"Emm, pilihan yang bagus. Jika kamu suka dengan lagu-lagu dalam tape itu, maka kamu akan menyukai ini juga, dan ini, oh sebentar saya masih ada satu kaset yang mirip."

Terkejut untuk kedua kalinya, lelaki itu sumringah memberikan beberapa kaset yang ia ceritakan tadi.

"Nah, cukup menghibur jika kamu mendengarkan itu semua."

Senyuman lebar, gigi berpendar serta mata yang menyipit karena tekanan pipi membuat lelaki bernama Aksara itu terlihat sangat manis di mata Lara. Sebelum pikirannya semakin liar, gadis itu tertawa mengangguk lantas mengangkut 'rekomandasi kaset tape' dari sang pemilik toko.

"Berapa? Jangan kasih murah ya."

"No, no. Karena kamu pelanggan pertama saya, jadi saya kasih diskon."

"Big no too. Saya akan bayar full."

"Ya udah deh, lebihnya buat Mamang aja daripada kalian berantem."

Suara menggoda yang datang tiba-tiba sontak membuat kedua manusia tadi diam. Kemudian terkekeh menyadari persoalan sepele mereka.

"Ok Mang, kalau gitu lebihnya saya beliin makan buat Mamang ya?"

Lara mengangguk setuju penuh dengan keputusan akhir.

"Yes hemat uang!" Mamang Jamal, lelaki yang punya hobi bongkar pasang mesin mengepalkan tangan erat. Dapat makan gratis!

"Habis ini mau kemana?" Pertanyaan dari Aksara untuk Lara.

"Saya mau pulang, ada tugas yang lagi-lagi menunggu untuk dikerjakan. Sampai jumpa."

Sebagai salam selamat tinggal, Lara merekahkan senyum setulus mungkin kepada Aksara. Lara sedikit berlari menghampiri toko Pak Basri, berpamitan pulang dan tak lupa mengayunkan tangan dengan gestur mulut 'dadah' kepada semua orang yang dia kenal.

"Lara, jangan bosan ke sini ya!"

"Tidak akan!"

Keduanya berteriak memangkas jarak agar si penerima mampu mendengar kata yang keluar. Gadis itu hilang ditelan keramaian sore, menyisakan Aksara yang masih setia memandang bekas jejak sang gadis. Temaram sore mulai meredam, arak-arak awan gelap berkumpul siap meneteskan ribuan air.

"Semoga kita bisa bertemu kembali, Lara."



///

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 24, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Aksara LaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang