Singularity

170 26 19
                                    

Tatapan gadis bersurai hitam panjang itu melekat erat pada lampu-lampu yang menyala di balik jendela gedung-gedung tinggi di seberangnya. Suara deru kendaraan dan roda yang berdecit menyentuh aspal menambah sibuk malam ini. Pohon-pohon yang daunnya berwarna kuning madu terlihat keemasan efek lampu jalan. Juga, beberapa pasang muda-mudi ikut menyemarakkan malam, berpaut jemari, sesekali beradu tawa seakan mereka manusia paling bahagia di semesta.

Choi Na Ra tersenyum getir. Setelah menghabiskan tiga kali dua puluh empat jam berada di apartemen lamanya setibanya kembali ke Seoul, malam ini ia memutuskan untuk keluar. Na Ra suntuk sekali karena harus menyelesaikan beberapa tulisan yang belum sempat rampung. Jepang menjadi tempat pelariannya selama dua tahun, menghindari segala sesuatu yang menyebabkan luka. Sehingga tatkala ia rasa lukanya sembuh, Na Ra memberanikan diri untuk pulang. Langkah kakinya menyusuri trotoar menuju taman kota, hingga akhirnya ia mendaratkan tubuhnya di sebuah bangku taman besi yang dicat berwarna putih. Pegangannya terlihat memiliki karat yang menandakan bahwa kursi itu sudah dilahap usia.

Kota ini terlihat sama seperti ketika Na Ra terakhir kali memijakkan kaki di sini. Pemandangannya, gedung-gedungnya, hiruk pikuknya. Hanya saja, ada sedikit perasaan sesak yang ia tahan agar tidak meledak. Na Ra menghirup napas dalam-dalam sampai dadanya terasa penuh, lalu membuangnya perlahan seiring ia mengetuk-mengetukkan kakinya yang hanya beralaskan sandal karet berwarna ungu muda miliknya ke tanah. Ia mengecek jam tangan kulit kecil yang melingkar di pergelangan tangannya. Pukul sembilan lebih tiga puluh, berarti ia sudah duduk di sini selama lebih dari satu jam.

Tubuh Na Ra mematung ketika netranya menangkap seorang lelaki tinggi yang berdiri tepat di hadapannya. Angin musim gugur mengusap lembut surai hitam kemerahan milik lelaki itu, membuatnya sedikit berantakan. Untuk pertama kalinya lagi, hatinya menyebutkan satu nama yang beberapa tahun ke belakang sudah sengaja dikikis paksa.

Lelaki bermarga Kim itu. Kim Seokjin.

Eksistensi tidak terduga sosok di depannya itu, mampu membuat segala macam emosi antara marah, luka sekaligus kupu-kupu bergejolak yang mau tidak mau, harus Na Ra atur dengan amat baik sebisanya. Tatkala bibir Seokjin menampilkan senyum tipis, Na Ra sudah meyakinkan diri bahwa lelaki itu tidak lagi memiliki pengaruh apapun terhadap hidupnya. Tanpa diminta, Seokjin duduk pada ruang kosong di samping Na Ra. Ada jarak beberapa jengkal di antara mereka. Sedikit canggung, Na Ra memainkan daun kering yang beberapa detik lalu mendarat tepat di bahunya.

"Aku mendengar kabar bahwa kau pulang karena novel terbarumu baru saja diluncurkan. Jadi, bagaimana kabarmu?" Suara yang tidak asing menerobos masuk ke telinga Na Ra. Sebenarnya, Na Ra bukan tipikal gadis lemah, hanya saja semua berbalik jika itu tentang Seokjin. Maka dari itu, ia berusaha untuk tidak menatap kedua manik lelaki itu, hatinya akan porak poranda. Bisa-bisa, dinding yang sudah ia bangun dengan susah payah selama ini, roboh hanya dalam sepersekian detik.

Na Ra berdeham. "Lumayan. Kau?"

Lelaki itu tidak segera menjawab, menimang-nimang kalimat yang akan keluar dari mulutnya sembari merapatkan mantelnya kuat-kuat. Sampai akhirnya, Seokjin membuka suara, "Aku akan menikah bulan depan."

Petir. Seperti petir yang tiba-tiba menyambar kuat dirinya di siang bolong, Na Ra jelas sekali terkesiap, lalu ia merasakan tubuhnya melemas. Sungguh, ini benar-benar di luar ekspektasi. Ia pikir, laki-laki itu akan memohon meminta maaf penuh penyesalan. Dirinya benar-benar sangat percaya diri sebelumnya. Na Ra menggigit bagian dalam bibirnya upaya menahan air matanya agar tidak jatuh di depan Seokjin. Na Ra tahu bahwa harusnya sedari awal ia sudah mengusir lelaki itu alih-alih membiarkannya duduk. Setelah selama dua tahun Na Ra benar-benar memblokir semua akses komunikasi dan sosial media milik Seokjin, ia menjadi sama sekali tidak tahu kabar apapun dari lelaki itu. Sekali lagi, Na Ra menarik napas dalam lalu membuangnya kasar sebelum kemudian ia tersenyum yang ia harap, bisa menyamarkan kekecewaan yang tersirat jelas pada guratan ekspresinya. "Dengan dia?"

Sudah jelas sekali. Seorang Kim Seokjin tidak akan pernah bisa lepas dari wanita yang ia tahu telah menghancurkan hidupnya. Seokjin tidak akan menolak permintaan ayahnya, karena seluruh hidupnya bergantung kepada harta orang tuanya. Wanita itu beberapa tahun lebih tua dari Na Ra, pemilik bar besar yang cabangnya sudah tersebar di pusat kota Daegu, Incheon dan Busan. Na Ra bisa melihat dari sudut matanya bahwa Seokjin mengangguk mantap. Mengerti dengan itu, Na Ra menyeringai dan mendelikkan matanya ke sembarang arah.

"Namanya Hye In," Seokjin menambahkan. Persetan dengan namanya, Na Ra sudah tahu semenjak awal mereka bermain di belakang. Ia hanya butuh untuk cepat-cepat pergi.

"Apa kau tidak keberatan jika kau datang ...."

Kalimat Seokjin belum selesai, namun Na Ra sengaja memotong cepat, "Kau mengundangku? Gila."

Na Ra jelas menolak. Baiknya ia tidak pernah menyaksikan kedua manusia itu mengucap janji di depan altar. Seokjin adalah satu-satunya lelaki yang membuat ia membenci kota ini, sebab semua tempat di segala sudut Seoul mengingatkannya kepada Seokjin. Lelaki itu tertawa kecil yang membuat Na Ra ingin sekali menutup telinganya rapat-rapat.

"Kau memang pasti tidak mau. Aku hanya menawarkan karena kau sudah berada di sini," ujar Seokjin sembari mengeluarkan ponsel miliknya. Ia mengecek pesan sebentar dan kembali memasukkan benda itu ke dalam saku.

"Aku minta maaf." Tiga kata itu meluncur lolos dari bibir tebal milik lelaki itu. Kalimat yang sedari tadi Na Ra tunggu, sebagai bayaran atas waktu untuk menangisi lelaki yang bahkan jika ia bisa, Na Ra akan memilih untuk tidak pernah diberi kesempatan sekalipun bertemu Kim Seokjin. Na Ra tidak ingin menjawab apapun, karena ia merasa Seokjin harus bertanggung jawab penuh terhadap kesalahannya di masa lalu.

Na Ra amat mencintai Seokjin. Sampai pada hari di mana ia menemukan kekasihnya sedang beradu decap dengan seorang wanita yang ia tidak tahu dari mana berasal, otaknya masih berusaha mencerna dan menyangkal padahal ia menyaksikan sendiri tatkala Seokjin melakukan hal yang sama untuk yang kedua kali. Na Ra muak mengingatnya. Hatinya mencelos untuk ke sekian kali, tenggorokannya tercekat. Bagaimana bisa seorang lelaki yang dulu banyak mengumbar janji, perlahan-lahan sengaja menabur duri. Na Ra tidak ingin memperpanjang percakapan, maka ia dengan cepat berdiri dan menoleh ke arah Seokjin. "Sudah selesai? Aku mau pulang."

Lima detik setelah itu, sesosok wanita berjalan tergesa-gesa ke arah mereka. Wanita itu mengenakan setelan hangat berwarna serba hitam. Cantik dan berkelas adalah kesan dari wanita itu, namun tatapan angkuhnya membuat Na Ra jijik.

"Ayo." Wanita itu mengulurkan sebelah tangan yang langsung disambut hangat oleh Seokjin. Seokjin bangkit, lalu berjalan melewati Na Ra. Ada seulas senyum tipis dari Seokjin yang menyiratkan perasaan bersalah ketika mata mereka bertemu. Na Ra cepat memalingkan muka dan kembali terduduk perlahan. Ketika atensinya berpusat kepada dua sejoli yang belum jauh pergi, ada satu bulir air mata yang lolos dari sudut matanya. Mereka saling melingkarkan lengan pada pinggang masing-masing, sementara Na Ra hanya bisa menatap punggung-punggung itu menjauh.

Lagi, ada sedikit penyesalan kenapa ia memutuskan untuk kembali ke kota ini. Ia menyadari bahwa ternyata perasaannya pun masih sama, Seokjin masih menjadi lelaki yang mengunci kuat hatinya untuk bisa terbuka kepada lelaki lain. Masih sama, yang berubah hanya dunia yang tidak lagi berpihak kepada dirinya. Na Ra mengusap pipinya yang basah akibat jejak air matanya tadi, lalu bangkit dari tempatnya. Menyusuri kembali trotoar menuju ke apartemen, dan tidak dapat ditahan lagi Na Ra terisak. Dadanya sesak, sakit sekali.

Setelah menekan tombol pin untuk masuk ke kamarnya, Na Ra langsung meraih koper dan memasukkan kembali sembarang baju yang tadi pagi baru sempat ia keluarkan dan ditata rapi ke dalam lemari. Ia mengecek paspor lalu keluar dari kamarnya terburu-buru. Di luar, salju pertama sudah turun. Na Ra menengadahkan tangannya dan membiarkan butiran kecil es itu mendarat di atasnya. Ia memberhentikan taksi, lalu mengarahkan sopir ke bandara.

Hancur. Dirinya sudah hancur. Lelaki itu yang menghancurkannya. Ia harus benar-benar memulai kehidupan baru, dan berjanji untuk tidak kembali lagi. Na Ra tahu bahwa ia harus memperbaiki dan membangun dindingnya lebih tinggi lagi.

•••

SEOULTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang