Teror

14 2 0
                                    

Meskipun Januar sama sekali tidak mau melepas dirinya, Tiara tetap melepaskan statusnya sebagai pacar pria itu. Menjadi kekasih seorang yang memiliki istri adalah satu hal yang tidak pernah diharapkan dalam hidupnya.

Masih bekerja satu kantor dengan Januar membuatnya tidak nyaman saat bekerja. Beruntung Januar sedang fokus dengan proyeknya yang terhimpit deadline. Sementara itu, Tiara pun cukup sibuk dengan pekerjaannya sendiri.

Resign sama sekali belum terlintas di dalam pikirannya. Banyak hal yang harus dipertimbangkan olehnya. Pertama, dia membutuhkan uang untuk melunasi biaya wisuda beserta tetek-bengek-nya. Kedua, tidak banyak perusahaan yang bersedia menerima karyawan dengan latar pendidikan sarjana tetapi ijazahnya keluar. Ketiga, Tiara masih membutuhkan uang untuk biaya hidup sehari-hari.

Dan yang terakhir dan paling penting adalah sistem denda penalti. Tiara masih memiliki masa kontrak selama dua tahun, lebih tepatnya dua puluh bulan. Apabila dia mengajukan pengunduran diri sekarang, itu artinya dia harus membayar denda sebesar dua puluh kali gajinya saat ini.

Alasan terakhir adalah konsekuensi yang paling berat baginya. Oleh sebab itu, Tiara lebih memilih bersabar dengan kehadiran Januar di sekelilingnya. Tiara dituntut untuk bekerja secara profesional.

"Ra, ponsel lo dari tadi bunyi terus. Nggak lo angkat aja?" ucap Septi saat dering ponselnya memenuhi ruang dengar untuk kesekian kalinya.

"Daripada lo reject terus. Lebih baik lo angkat aja dan bilang kalau lo lagi sibuk hari ini," imbuh Vivin.

"Nggak apa-apa, kok. Lagi pula telepon nggak penting juga. Dari marketing asuransi. Kalau gue angkat takut bibir gue kelepasan bilang 'iya' bisa berabe, kan!" jawab Tiara dengan pandangan mata yang tidak beralih dari layar komputer.

"Ya, lo kan bisa langsung bilang 'tidak' aja, Ra. Daripada nggak lo jawab kayak gitu, yang ada dia nelepon elo terus. Serasa kayak diteror tahu nggak, sih!" celetuk Septi diiringi dengan derai tawa.

Teror. Betul, itulah yang dirasakan Tiara. Ranum terus-menerus memberondongnya dengan sederet pesan yang berisi curhatan bahwa dia masih kesulitan mengendalikan suaminya. Mungkin merasa Tiara mengabaikan pesannya, dia berusaha menelepon Tiara.

Atau mungkin, sebenarnya bukan itu tujuan utama Ranum mengirim pesan atau menelepon Tiara. Akan tetapi, berusaha mengusik ketenangan Tiara karena mengira Tiara sedang bermesraan dengan suaminya. Semua itu hanyalah praduga Tiara.

***

"Halo," jawab Tiara setelah sekian puluh kali panggilan Ranum dia abaikan.

Tiara membutuhkan pikiran yang jernih untuk menanggapi Ranum. Jika Tiara nekat meladeni telepon Ranum saat masih di kantor, bisa dipastikan dia tidak akan fokus dengan pekerjaannya.

Setelah sampai di rumah, mandi dan makan malam, Tiara merasa perlu untuk menjawab panggilan Ranum. Sekaligus mengungkapkan bahwa telepon dari Ranum cukup membuatnya terganggu.

"Sibuk banget, ya? Dari tadi pesan saya tidak kamu baca dan panggilan saya tidak kamu jawab," ucap Ranum.

Tiara memutar bola matanya. Hubungannya dengan Ranum tidak mewajibkannya untuk siap-siaga saat merespon pesan ataupun panggilannya.

"Saya punya pekerjaan, Mbak. Saya seorang karyawan. Tentu saja saya punya pekerjaan jadi tidak bisa selama dua puluh empat jam merespon semua pesan dan panggilan yang masuk," jawab Tiara dengan nada ketus.

"OK! Saya minta maaf untuk hal itu. Semua ini saya lakukan untuk memperjuangkan hak saya dan anak saya. Kamu juga wanita, harusnya kamu bisa lebih mengerti keadaan saya. Saya minta dengan serendah-rendahnya hati agar kamu putus sama Mas Januar," ucap Ranum diiringi dengan isak.

EdelweissTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang