Penjelasan

21 1 0
                                    

Meskipun mata dan kepalanya terasa berat, Tiara harus memaksakan diri untuk tidak bolos kerja. Presensi pun menentukan prestasinya dalam bekerja.

Secangkir espresso rupanya tak membantu mengurangi penderitaannya. Justru sebaliknya, setelah menyesap habis minuman tersebut, Tiara merasakan jantungnya berdebar-debar, perutnya mual dan kepalanya semakin pusing.

Puluhan pesan yang dikirim Ranum semalam membuatnya tak sanggup tidur dengan nyenyak. Matanya memang terpejam, tapi sepertinya hati dan pikirannya tidak tidur hingga pagi menyongsong.

"Ra, kita harus bicara!" Secara tiba-tiba Januar menyambar lengannya.

"Nggak ada yang perlu dijelasin, Mas. Semuanya sudah jelas," jawab Tiara sembari melepaskan lengannya dari cekalan Januar.

"Please, Ra. Aku harus ngomong sama kamu, sayang!"

Sama sepertinya, wajah dan penampilan Januar pagi ini pun cukup berantakan. Lingkaran matanya yang tampak menghitam pun cukup menyiratkan bahwa pria itu tidak tidur semalam.

"Ok! Silakan jelaskan, Mas!" Tiara melipat tangannya.

"Bicaranya di balkon saja, nggak enak di sini. Dilihatin orang banyak." Januar berusaha meraih tangan Tiara, tetapi wanita itu menghindar.

"Nu, gawat!" Rio menghampiri Januar dengan langkah tergesa.

Tiara yang hendak terlebih dahulu melangkah ke arah balkon harus menghentikan langkahnya.

"Nanti saja, Yo. Gue harus ngomong sebentar sama Tiara," kilah Januar.

Rio menggeleng tegas. "I'm sorry to say, tapi ini lebih penting dari urusan pribadi lo. Pak Gunawan minta perkembangan proyek yang kita kerjakan. Katanya big boss dari kantor pusat minta laporannya satu jam lagi. Desain lo udah sampai mana?"

Januar menekan keningnya cukup keras. "Tujuh puluh lima persen. Belum kelar. Satu jam lagi juga nggak keburu."

Rio mengangguk. "OK! Seadanya kita laporkan dulu sama Pak Gunawan. Sepertinya big boss cuma pengen lihat sejauh mana perkembangan proyek kita saja. Kita rapikan dulu semuanya sekarang." Rio menatap ke arah Tiara seolah meminta izin untuk membawa Januar ke ruang kerjanya.

"Oh! It's Ok!" ucap Tiara pada Rio. "Kamu harus kerjakan sekarang, Mas." Kali ini Tiara berbicara pada Januar.

"Kita lanjutin di jam istirahat ya, Ra."

Dengan berat hati Januar berjalan mengikuti Rio yang kembali melangkah dengan tergesa-gesa.

***

"Ra, lo habis berantem dengan Januar?" tanya Vivin.

Tiara membelalak sekejap sebelum akhirnya dia menggeleng. "Enggak kok, Mbak. Ada apa?"

"Justru harusnya yang tanya 'ada apa' itu gue! Lo sama Januar itu sama-sama berantakan tahu nggak, sih? Maksud gue, muka kalian sama-sama berantakan. Nggak bagus. Nggak kayak biasanya."

Setelah menimbang beberapa saat, akhirnya Tiara memberanikan diri untuk bertanya sesuatu pada Vivin. Vivin bukan orang yang suka bergosip, jadi tidak masalah kalau Tiara bertanya padanya.

"Sebelum pacaran sama aku, Mbak Vivin tahu siapa pacarnya Mas Janu?" tanya Tiara pelan.

Vivin tampak mengingat sesuatu. "Seingat gue, dari awal dia kerja di sini, dia itu nggak punya pacar. Dia nggak pernah nyinggung masalah pacar, sih, lebih tepatnya. Jadi kesimpulan gue, dia memang belum punya pacar sampai jadian sama lo."

Tiara hanya merespon jawaban Vivin dengan anggukan.

"Ya sudah, kalau lo belum siap cerita sama gue, nggak usah cerita dulu. Tapi, kalau lo memang butuh temen buat cerita, lo bisa kok cerita sama gue."

EdelweissTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang