Janji Maryam

117 34 16
                                    

Maryam meletakkan setrika arang pada tatakannya. Ia lantas memasang satu per-satu kancing seragam hijau kecokelatan yang baru saja disetrika. Seragam kebanggaan Sulaiman. Dengan penuh kasih, ia menyiapkannya untuk suami tercinta. Cemas merayapi hatinya.

Lelaki yang sudah tujuh tahun membersamainya, memutuskan bergabung dalam Laskar Hizbullah. Katanya hal itu perang suci membela negara dari penjajahan asing kafir. Hanya doa keselamatan yang bisa Maryam panjatkan. Ia tak mau suaminya pulang tinggal nama. Sulaiman satu-satunya keluarga yang tersisa. Dalam tujuh tahun pernikahan, keduanya belum dikaruniai buah hati.

"Aku memilih berjihad," ujar Sulaiman kala mengabari istrinya tentang keputusannya itu, "toh, kita belum jua memiliki momongan. Jika selamat, itu artinya masih ada jodoh. Tapi jika aku tak kembali lagi, aku telah menitipkanmu pada keluarga pesantren. Utusan Bu Nyai Sa'diyah akan segera menjemputmu."

Perih, perih hati Maryam mengingat kalimat-kalimat Sulaiman. Ingin rasanya ia mengungkap lara hatinya pada sang suami. Ia ingin meneriakkan kalimat-kalimat tuntutan padanya. Namun, semua harus bisa dia telan tanpa sisa. Sang suami akan berjihad di jalan Allah. Mengusir penjajah Belanda.

Alih-alih, Maryam merasa perut bagian bawahnya kaku. Ia memejam dengan tangan mencengkeram erat pegangan setrika. Sudah sekitar dua minggu Maryam sering merasakan kaku di perut bagian bawahnya. Ia tahu ini bukan hal normal, pasti ada yang tidak beres. Tapi, ia malas untuk sekadar memeriksakan masalah ini ke tukang pijat. Tapi, sakit kali ini sudah terasa sangat mengganggu.

Maryam mengembuskan napas panjang. Ia berusaha menyelesaikan pekerjaannya. Paling tidak, seragam ini selesai disetrika. Malam nanti, Sulaiman akan berangkat untuk melakukan penyerangan bersama Laskar Hizbullah.

***

Maryam berbaring di bale-bale bambu Mak Samina, tukang urut khusus perut yang tersohor di kampung ini.

Mak Samina mengoleskan minyak pijat pada bagian perut Maryam. Meski terasa sakit dan ngilu, tapi Maryam mencoba menahannya.

"Ini kira-kira kenapa, ya, Mak?"

"Sebentar," ujar perempuan tua itu. Dia mengernyit seraya menekan pelan perut bagian bawah Maryam, "kamu sudah lama ndak datang bulan?"

Maryam tak langsung menjawab pertanyaan itu. Ia mencoba mengingat-ingatnya. "Sepertinya iya, Mak."

Maryam sudah tak peduli dengan siklus datang bulannya. Bukan hal penting lagi. Harapannya menimang buah hati telah ia kubur dalam-dalam.

"Ini kamu ada isinya. Lebih dari dua bulan kayaknya."

"Maksudnya?"

"Kamu hamil ini."

Apakah ia harus bersyukur, atau malah menyesali hal ini. Mengapa ia baru hamil setelah Sulaiman memutuskan bergabung dalam laskar Hizbullah? Andai kehamilan ini datang lebih cepat, niscaya ia tak akan terjebak dalam dilema.

***

Sulaiman tampak gagah dengan seragamnya. Barusan, mereka melaksanakan jamaah Isya bersama. Padahal biasanya, sang suami tak pernah absen untuk berjamaah di masjid pesantren. Sengaja, sebab bisa jadi ini jamaah mereka yang terakhir.

Seraya menatap sang istri dengan penuh kasih, Sulaiman mendaratkan kedua tangan di pundak belahan jiwanya. "Doakan aku, ya? Apa pun nanti, itulah yang terbaik."

Perih, perih hati Maryam mendengarnya. Tapi, sekuat tenaga ia menahan. "Berangkat saja, Cak. Aku akan menjaga harta dan rumah ini sampai kamu pulang."

Sulaiman mencium kening sang istri, lalu memeluknya erat. Maryam membalasnya seraya menghidu aroma imam hidupnya.

"Ya sudah. Aku berangkat," ujar Sulaiman seraya melepas pelukannya. Ia meraih pegras dari meja di sampingnya. Menyampirkan talinya ke pundak.

Maryam mengantar sang suami sampai di depan pintu rumah kecil mereka. Ia memperhatikan punggung Sulaiman yang semakin menjauh. Sampai jumpa kembali, Bapak. Buah hatimu menunggumu kembali di rumah ini, batinnya.

Dengan selaksa doa yang dilangitkan, Maryam berjanji bahwa ia akan mengabari sang suami perihal kehamilannya jika nanti ia pulang. Biarlah Sulaiman berjihad tanpa perlu memikirkan istri dan buah hatinya.

Sayangnya, lima hari kemudian, utusan Bu Nyai Sa'diyah, datang menjemputnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 31 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

TunasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang