Krisis moneter dan keamanan menjadi alasan Darmadji menyuruh Ahmadi boyong dari pesantren. Padahal, mondok di pesantren Kiai Afif itu gratis. Kiai juga bukan dukun santet yang bisa jadi sasaran teror Ninja.
Remaja lima belas tahun itu sangat sedih dengan keputusan bapaknya. Di pesantren lebih nyaman daripada di rumah. Dia hanya perlu mengaji dan sesekali membantu Kiai. Tidak perlu panas-panas membantu Darmadji di penggilingan.
"Kamu itu dimondokkan biar aman. Biar aku ini ndak ndredeg mikirin. Bukan malah buat dijadikan penjaga Kiai dari Ninja. Kalau kamu yang digorok, gimana?" ujar Juwariyah saat Ahmadi baru sampai di rumah.
Ahmadi hanya diam meskipun dalam hati menyayangkan pemikiran ibunya. Baginya, boyong di saat seperti ini, ibarat pengungsi yang lari dari perang. Dosa besar.
***
Sebulan berlalu, keadaan belum juga aman. Ibunya masih terus mengomel tentang harga-harga yang terus melambung. Di televisi dan radio, banyak kabar demonstrasi menuntut lengsernya Presiden Soeharto.
Darmadji juga sering keluar. Tak hanya siang, tapi juga malam. Katanya, ada rapat penting dengan teman-temannya. Halah, buruh tani saja, kok, sok-sokan rapat.
Yang lebih menyedihkan lagi, kemarin Ahmadi bertemu Goffar dan Yanto. Keduanya juga ikut boyong. Katanya, karena orangtua mereka khawatir setelah mendengar penuturan Darmadji.
Ahmadi sebenarnya cemas, santri lelaki di pesantren Kiai Afif itu cuma tujuh. Hanya mereka bertiga yang besar, sisanya bocah SD. Jelas mereka akan ikutan boyong. Karenanya, Ahmadi berencana mengajak kawan-kawannya berkunjung dan menjaga kiai.
Sehabis Isya, ia pergi ke rumah Kaji Amin, satu-satunya orang kaya yang punya televisi berwarna di kampung ini. Para pemuda biasanya nongkrong di sana untuk nonton atau bermain karambol.
"Ati-ati, Di. Cepet pulang. Kamu itu anakku satu-satunya," ujar Juwariyah saat putranya pamit.
Perkiraan Ahmadi benar, kedua kawannya memang berkumpul di sana. Dia menyampaikan rencananya tadi dan mereka menyambutnya dengan baik. Bahkan, ada tiga teman lagi yang mau ikut. Toh, pesantren Kiai Afif berada di desa sebelah. Tak sampai setengah jam jalan kaki.
Menjelang jam sembilan, Ahmadi pamit pulang. Saat lewat di pinggir kali, ia iseng menangkap kunang-kunang. Tapi, belum juga mendapat satu pun, ia berpapasan dengan Darmadji yang keluar dari kegelapan dengan senter di tangan. "Loh, Di. Ngapain kamu di sini?!"
Ahmadi menjelaskan alasan keberadaannya. Tapi, sepertinya, bapaknya tak percaya. Membuatnya kesal. "Besok, jangan berkeliaran di sini. Bahaya. Ayo pulang!"
Ahmadi menurut meski kesal. Lantas, ketika sampai di teras, ia baru menyadari penampilan bapaknya. Darmadji sudah seperti blantik kaya dengan jaket kulit dan celana hitam. Meskipun sepertinya, jaketnya palsu. Sarung hitam polos terikat di pinggangnya. Bahkan, sampai membawa golok warisan si mbah. Rupanya, Bapak ikut menjaga desa.
Tersirat bangga di hati Ahmadi. Apalagi golok si mbah itu katanya golok bertuah. Golok yang dibuat khusus oleh guru kanuragan si mbah dulu. Sarung dan gagangnya khas. Ada ukiran naga dengan mata batu merah delima.
Karena kebanggaannya itu, Ahmadi jadi tak terlalu banyak mengeluh meski harus bekerja di penggilingan menggantikan bapaknya yang semakin sering keluar. Bahkan, tak jarang sampai tak pulang berhari-hari.
***
Sesuai rencana, Ahmadi berangkat ke pesantren. Dia sudah mendapat izin dari Juwariyah dengan beralasan menonton bola. Izin yang sangat mengada-ada memang, tapi Ahmadi tidak peduli. Tahu apa ibunya dengan bola? Darmadji juga tidak akan mengurusi. Dia sudah terlalu sibuk. Hari ini saja, dia sudah berangkat sebelum Ashar dengan dijemput mobil.
Teman yang lain sudah menunggu di dekat jembatan ujung desa. Ahmadi merupakan yang terakhir datang. Mereka langsung berangkat setelahnya.
Sesampainya di pesantren, mereka langsung menghadap Kiai Afif. Beliau tampak kaget sekaligus terharu.
Bu Nyai Muthmainnah juga senang. Dia langsung membuatkan tamu-tamunya kopi jahe dan sepiring pisang goreng. Sekitar jam sembilan, Kiai Afif malah mengajak mereka memasak bersama di dapur santri. Kebiasaan yang Ahmadi rindukan. Biasanya, kiainya itu selalu melakukannya bersama ketujuh santri putra setiap malam Jumat.
Alhasil, saat menjelang tengah malam, semua kekenyangan dan mengantuk. Ternyata, kunjungan mereka bukannya untuk menjaga pesantren dan kiai. Buktinya, keadaan aman-aman saja. Malah mereka berpesta kecil. Ahmadi bersyukur dengan keadaan ini.
Kiai masuk kediamannya sekitar jam setengah satu dini hari. Dia menyuruh Ahmadi—yang entah mengapa tak mengantuk—untuk cepat tidur agar tidak bangun kesiangan.
Meskipun telah mengiyakan titah Kiai Afif, tapi Ahmadi sulit memejam. Ia memutuskan untuk berjalan-jalan di halaman pesantren. Tak diduga tak dinyana, ia melihat sosok hitam di atap kediaman kiai. Ia langsung berlari lewat samping rumah. Ia tahu Kiai Afif biasa salat malam di bale-bale belakang.
Benar saja, Kiai tengah duduk bersila menghadap kiblat dan sosok hitam itu sudah berdiri di belakangnya. Refleks, Ahmadi berlari dan berusaha menghalangi aksinya. Tapi nahas, sosok itu mengayunkan goloknya, mengenai leher bagian samping Ahmadi.
Kiai Afif berbalik dan langsung menangkap tubuh santrinya yang oleng dan bersimbah darah. Lelaki tua yang Ahmadi kagumi itu berteriak meminta pertolongan. Ahmadi mengerang kesakitan. Darah mengucur deras. Matanya perlahan mengabur dan dadanya semakin sesak.
Tapi … satu yang seolah masih tetap jelas di depan mata Ahmadi, golok itu adalah golok berukir naga bermata merah delima.