Prolog

7 0 0
                                    

Masih kuingat dengan jelas kalau prakiraan cuaca menyebutkan jika hari ini akan cerah dengan suhu lebih hangat dibanding hari kemarin, didukung dengan teriknya matahari sepanjang hari seolah meyakinkan kalau prakiraan tersebut akurat untuk dipercayai. Sebenarnya, aku tidak begitu peduli dengan ramalan tersebut yang kebetulan fiturnya ada di home screen ponselku, hanya saja kesal juga rasanya ketika ramalan tersebut bisa-bisanya keliru. Karena yang kutemukan ketika kuliahku berakhir dan beranjak dari gedung fakultasku, diluar justru hujan deras disertai angin dan petir.

Hujan mungkin sudah turun sejak tadi, jauh sebelum kelasku berakhir. Aku yakin benar karena terdapat banyak genangan air di jalan beraspal di hadapanku.

Kelas terakhirku berakhir sekitar jam empat sore dan itu artinya hampir setengah jam aku berdiri dengan gusar di depan gedung fakultas design sambil mengecek jam tangan berkali-kali. Sudah selama itu waktu berlalu, masih tidak ada tanda-tanda hujan akan reda melainkan lebih deras dari sebelumnya.

Dengan kikuk aku melirik sekeliling, mencari orang yang bernasib sama yang sama-sama menunggu hujan segera berakhir sepertiku dan rupanya hanya ada segelintir orang di lobi gedung, tengah menatap menerawang melihat hujan, ada yang sibuk dengan ponselnya dan ada yang sedang mengobrol dengan temannya. Itupun tak lama kemudian mereka silih berganti pulang dengan jemputan mereka, adapula yang nekat menerobos hujan menuju tempat parkir yang ada di depan gedung. Yang perlahan-lahan hanya menyisakan aku sendiri dan seorang lelaki yang tengah bersandar di salah satu pilar sambil memejamkan mata.

Aku mendongak menatap awan mendung yang menutupi langit. Perubahan iklim yang tak menentu membuatku menghela nafas. Februari memang tidak jauh-jauh dengan hujan. Seminggu terakhir hujan sudah seperti langganan, membuatku juga mau tak mau menggunakan taksi online. Hari ini bisa dikatakan beruntung karena paginya cuaca cerah, jadi aku bisa menggunakan sepeda motorku setelah seminggu terakhir terpaksa merogoh kocek untuk memesan gojek.

Namun yang tak kusangka, sorenya aku justru terjebak. Aku tidak membawa jas hujan, itu mengapa aku keukeuh berdiri disini. Jika ternyata hujan tidak kunjung berakhir, hujan-hujanan adalah pilihan terakhir yang kuambil dan terpaksa meninggalkan laptop yang kubawa di loker.

Lama aku termenung, tak menyadari seorang berdiri di sebelahku dan berkata, "Hujannya bakal awet banget sih ini." ujarnya, yang tentunya membuatku kaget dan refleks menoleh kearahnya.

Ah, rupanya laki-laki yang tadi berdiri didekat pilar.

Aku tak menanggapi. Memilih membuka ponsel, aku menggulir notifikasi yang masuk, barangkali ada pesan atau panggilan tak terjawab, tapi ternyata tidak ada. Aku meremas ponselku dan memasukkannya ke dalam tas.

"Nunggu jemputan?"

Aku menoleh lagi kearah laki-laki di sebelahku tapi melihatnya tengah mengotak-atik ponsel, jadi aku simpulkan dia sedang berbicara dengan seseorang diseberang sana.

Aku memeluk diriku sendiri, derasnya hujan dan kencangnya angin membuatku mendadak menggigil. Apalagi hari ini aku hanya mengenakan kemeja hitam tipis dipadukan celana jeans, maka tak heran jika aku bakal kedinginan. Kutatap langit sambil memanjatkan doa agar hujan cepat berlalu.

"Kacang, kacang, kacang."

Aku menoleh lagi dan ternyata lelaki di sebelahku tengah menatap ke arahku. Buru-buru aku membuang muka. "Mahal banget ya kacang di sini." ujarnya lagi.

"Ka-kamu ngomong sama aku?" tanyaku.

Dia tergelak, "Ya iyalah, gimana sih. Cuman kita berdua yang ada disini."

Aku manggut-manggut saja.

"Baru selesai kuliah?"

Aku mengangguk, "Hm."

"Semester berapa?"

Lama aku terdiam, aku meliriknya dari ekor mataku. Kulihat lelaki itu menatapku, seolah menantikan jawabanku. Sambil menunduk, ku bibir bawahku. Aku tidak terbiasa bicara basa-basi begini, cenderung aku melengos begitu saja jika dilontarkan pertanyaan yang tidak perlu dijawab. Tapi melihat raut lelaki di sebelahku, dengan tatapan hangat yang menghantarkan gejolak mulas diperutku membuatku sedikit tak tega mengindahkannya.

"Semester dua." ujarku begitu saja. Kupikir setelah itu dia tidak akan berbicara apa-apa lagi begitu mendengar suaraku yang ketus. Ternyata perkiraanku meleset.

"Semester dua ya? Pantesan."

"Kenapa?"

Lelaki itu mengulum senyum, "Kelihatan masih kicik banget." katanya.

Aku sontak cemberut ketika dikatai kecil, padahal jelas-jelas tampangku sebaliknya. Wajahku boros dan penampilanku kolot, tak jarang ada yang mengira aku kakak tingkat ketika tak sengaja berpapasan denganku.

Tiba ketika sebuah mobil berhenti di depanku, lalu seseorang keluar dari sana menggunakan payung hitam. Aku dibuat kebingungan ketika tatapan orang itu langsung menjurus ke arahku. Siapa dia? Pikirku.

"Jemputan gue udah datang." ujar lelaki di sebelahku seketika membuat tanya dikepalaku menemukan jawaban. Aku hanya manggut-manggut. "Lo gimana?"

"Aku nunggu hujan reda dulu." jawabku, tak menatapnya.

Pria berseragam itu berjalan menghampiri kami dengan payung hitamnya. Sikapnya nampak kikuk namun perawakannya tegap.

"Mau pulang bareng?"

Aku menatap laki-laki yang tak kukenal itu dengan ngeri. Membuatnya lalu tersenyum, "Kayaknya hujannya bakal awet deh, jadi daripada lo disini nungguin hujan yang nggak tau kapan berentinya. Mending gue anterin sekalian, gimana?"

Aku menggeleng tanpa pikir panjang, "Duluan aja." kilahku, lagipula mau aku disini sampai malam pun tidak jadi masalah. Yang jadi masalah justru kalau aku mengiyakan ajakannya. Lagipula aku tidak mengenalnya, meski yang aku tahu mobil miliknya berkisar miliaran, tapi aku tidak bisa menjamin dia orang baik atau malah sebaliknya.

Lelaki itu tersenyum lagi, "Yaudah gue duluan." ujarnya, rupanya dia maklum.

Aku mengangguk dan memperhatikannya yang berjalan di bawah payung yang dipegang oleh seorang pria paruh baya yang aku duga adalah sopirnya. Ketika kulihat laki-laki itu sudah masuk ke dalam mobil mewahnya, aku membuka ponselku lagi untuk memeriksa notifikasi yang masuk, barangkali aku melewatkan sesuatu namun seperti semula, aku harus kembali menelan kekecewaan.

Aku mendongak saat melihat sepasang sepatu kets berdiri di hadapanku. Lelaki itu tengah melempar senyumnya padaku. "Kenapa?" tanyaku pelan, nyaris menggumam.

Disodorkannya hoodie kearahku. "Buat lo."

Aku yang enggan menyambutnya, langsung menggeleng keras. "Nggak usah."

"Nggak papa, biar lo nggak kedinginan." katanya menunjuk kearahku yang memang sedang menggigil dengan dagunya. Lalu dengan lancangnya lelaki itu menarik tanganku dan menyerahkan hoodie berwarna hitam itu padaku. Dia tak berkata apa-apa lagi setelah itu dan berbalik kembali ke mobil mewahnya setelah menyempatkan melempar senyum padaku.

"Tunggu!" Langsung kecegat laki-laki itu sebelum dia masuk ke dalam mobilnya, laki-laki itu berbalik, menatapku dengan tatapan hangatnya. Aku memaksakan senyumku lalu berkata, "Makasih, nanti aku kembaliin."

"Ok, see you."

[]

Bersambung...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 26, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

You To Me Are EverythingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang