PART I

34 4 0
                                    

"Lo liat cowok yang pegang gitar itu?"

Aku menoleh ke arah yang ditunjuk oleh teman di sebelahku dan menggigit bibirku.

Sesaat aku merasa gugup karena merasa tertangkap basah. Tapi mustahil teman di sampingku ini menyadari sesuatu yang menggangguku bahkan dari awal acara api unggun inaugurasi siswa baru ini di mulai.

"Kenapa?" tanyaku dengan nada datar. Seolah tidak tertarik pada cowok yang ditunjuk temanku itu.

Temanku bergerak dan mengeluarkan handphone dari sakunya. "Namanya Jace. Satu angkatan sama kita. Anak baru juga. Gila, di angkatan kita ada yang ganteng juga," infonya sambil terkekeh pelan. Dia mendekap handphone-nya ke dada. Seolah handphone itu barang yang paling dia cintai.

Aku menggeleng pelan dan menyeggol kakinya dengan kakiku. "Jaim dikit dong, Sher. Lo kan cantik. Enggak perlu ganjen gitu juga kali," protesku.

Sebetulnya aku harus setuju dengan pendapat temanku. Cowok yang kami maksud memang tampan. Namun, ada yang salah dengan cowok yang bernama Jace ini. Aku merasa dia selalu melihat ke arahku. Aku yakin dia melihat ke arahku, bukan ke arah temanku. Dia tetap akan mencari mataku bahkan ketika temanku membeli beberapa cemilan di warung dadakan yang disediakan panitia.

"Menurut lo, Jace bakal suka sama gue, enggak?" tanya temanku ini setelah kekehannya mereda.

"Tau dari mana namanya Jace?"Aku balik bertanya. Aku melirik layar handphone temanku dan menemukan banyak gambar cowok yang sedang kami maksud di sana.

"Gue baru tau Instagramnya tadi sore. Sebelum acara api unggun."

Aku mengangguk pelan. Kembali mencuri pandang ke arah cowok yang dimaksud. Lalu mata itu kembali bertemu dengan mataku. Dia menahan senyum di wajahnya. Itu terlihat dari sudut bibir yang sedikit terangkat.

"Tuh, kan. Dia ngeliatin kita." Temanku berusaha menahan pekikannya.

Aku menyenggol lengannya supaya dia bisa lebih tenang. Suasana sedang hening karena di depan kami ada yang sedang membacakan sajak-sajak perjuangan.

"Jangan berisik. Nanti kita di tegur panitia." Aku memperingatkan.

Teman berisik yang berada di sampingku bernama Sheryl. Dia temanku semasa Sekolah Dasar dulu. Anaknya cantik dan cerewet. Namun, aku bersyukur bisa bertemu lagi dengannya di SMA. Karena, aku tidak perlu melalui masa orientasi yang membosankan dengan rasa canggung karena tidak ada teman mengobrol.

Oh, ya. Namaku Katy. Aku terbilang cukup pintar. Dari sekolah dasar, aku selalu mandapatkan peringkat pertama, dan menjadi perwakilan sekolah untuk lomba cerdas cermat dan sejenisnya.

Ayah dan ibuku pekerja semua. Ibuku punya usaha rumah makan yang dia rintis bersama temannya. Sedangkan ayahku sering bepergian keluar kota sampai berbulan-bulan. Jadi ketika siang hari, hanya ada aku dan adikku saja di rumah. Namanya Aiden. Masih kelas tiga SMP, tetapi merasa jadi anak tertua di keluarga.

Kembali pada cowok aneh bernama Jace ini. Sampai acara api unggun selesai, aku masih menangkap matanya yang mencuri pandang ke arahku. Dia mengangguk ramah ketika pandangan kami tidak sengaja bertemu. Dia tersenyum ringan dan mencoba sedikit berinteraksi denganku. Namun, aku tak acuhkan semua itu dan mengernyit risih. Tipikal anak nakal yang genit pada wanita. Salah satu tipe yang tidak akan pernah masuk daftar kencanku.

***

"Katy! Kita sekelas!" pekik Sheryl sambil menyerbu tubuhku.

"Serius?" tanyaku tidak percaya.

Sheryl menarik tanganku menuju papan informasi yang menggantung di sepanjang dinding koridor. Dia menunjuk huruf-huruf tebal di atas deretan nama siswa bertuliskan 'Daftar nama siswa kelas Sepuluh A'.

Dia-lo-gueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang