PART III

9 2 0
                                    

Jangan lupa vote nya dulu dong... yuk mariiii


******

"Kenapa, Kat?"

Suara Sheryl menyadarkanku. Aku menoleh ke arahnya tanpa mampu menjelaskan apa yang baru saja aku lihat. Sheryl seperti sudah menduga bahwa ada hal buruk yang telah aku ketahui. Dia merebut handphone di tanganku dan segera memekik histeris.

Beberapa detik kami saling tatap dan tidak berani mengambil kesimpulan atas apa yang sedang kami perkirakan. Bisa saja itu orang lain. Ada puluhan orang yang terlibat dalam tawuran sore tadi. Kemungkinan Jace yang menjadi korbannya adalah sangat kecil.

"Katy, ada apa? Sheryl kenapa?" tanya ibuku ketika masuk ke dalam kamar dengan wajah khawatir. Sepertinya dia mendengar suara Sheryl saat tadi histeris.

Aku menjawab pertanyaan ibuku dengan memperlihatkan gambar buram korban tawuran yang mengenaskan tadi padanya.

"Astaga! Ini siswa dari SMA kamu?"

Aku dan Sheryl mengangguk berbarengan.

"Anak jaman sekarang semakin brutal. Kalian pintar-pintar jaga diri ya. Jangan sampai kenal atau bahkan bergaul sama murid yang seperti ini." Ibuku menghela napas sambil memandangi kami satu-persatu. "Sudah sekarang cepat pada tidur. Jangan pada begadang."

Ibuku berlalu meninggalkan kamar ketika menyadari bahwa tidak ada lagi yang bicara.

"Sher, gue tanya Shafira dulu ya. Dia kan deket sama ketua OSIS. Mungkin dia punya info tentang Jace," usulku setelah beberapa saat kami saling diam.

Sheryl tampak berpikir. Lalu dia mengambil handphone di sampingnya. "Gue coba hubungi Jace lagi."

Aku mengangguk menyetujui idenya. "Oke."

Dia bangkit dari ranjangku lalu berjalan menjauh. Lalu tiba-tiba dia berbalik menghadapku dan berseru. "Aktif!"

Infomasi Sheryl tadi memberiku sedikit harapan. Walau belum mampu menghilangkan kekhawatiran yang masih menyelimutiku.

Lalu harapan itu menjadi kenyataan seiring dengan sapaan yang didengar Sheryl dari seberang. Aku menoleh ke arah Sheryl dan menanyakan siapa yang menjawab panggilan itu dengan gerakan mulut.

"Ini Jace," bisik Sheryl padaku.

Seketika rasa cemas yang membuat dadaku sesak ini berangsur hilang. Aku mendesah lega dan diam-diam mengucap rasa syukur karena Jace tidak kenapa-napa. Sekhawatir itukah aku pada Jace? Apa ini masih normal?

Aku tidak berani menjeda pembicaraan mereka. Sheryl dengan sikap manjanya berkali-kali mengucapkan kalau dia sangat takut terjadi sesuatu pada pacarnya itu. Lalu selebihnya aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan karena Sheryl memilih berdiri jauh di sudut balkon dan bicara dengan suara yang lebih pelan.

Beberapa pesan masuk ke dalam grup sekolah. Rata-rata membahas tentang tawuran dan mengabarkan bahwa siswa yang menjadi korban itu tewas di tempat. Banyak yang mempertanyakan siapa korban tewas itu karena tidak ada satu pun yang mengenalnya. Lalu setelah ratusan chat masuk ke dalam grup itu, mereka menyimpulkan bahwa korban tewas itu bukan siswa dari sekolahku.

Sheryl selesai dengan teleponnya dan kembali ke dalam kamarku. Kemudian membaringkan badannya di ranjang dan memunggungiku.

"Sher, kata anak-anak di grup OSIS, yang jadi korban bukan dari sekolah kita," infoku padanya

"Udah tahu," jawabnya singkat.

Pasti ada yang salah lagi dengan sahabatku ini. "Ada apa lagi, Sher?"

Dia-lo-gueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang