"Nesha menurut lo ini udah lurus atau belum?"
"Miring Nya, yang di bawah," kata Nesha setelah melihat garis pinggir Anya. Gadis itu berdecak kesal.
"Padahal udah gue ukur baik-baik perasaan. Kayaknya nih buku gambar deh yang miring." Anya mencak-mencak menyalahkan semua alat gambarnya, pasalnya sepuluh menit berlalu dia masih belum menyelesaikan empat garis itu.
"Eh, kenapa penggaris gue juga di marah-marahin? Noh, yang itu penggaris punya lo." Sebal Lia sambil menyembunyikan penggaris yang menjadi bahan amukan Anya.
"Sini gue garisin." Iris mencoba membantu.
"Apaan?! Punya lo aja belum kelar, ga mau entar tambah jelek gambar gue," ujar Anya menolak mentah-mentah kebaikan hati Iris.
Iris rolling eyes. "Terserah!"
"Sini gue biar gue aja." Chenle mengambil tempat di samping Anya lalu membantunya untuk menyempurnakan garis yang katanya tidak mau lurus seperti hidup Jisung.
"Gue bantuin yah?" Jisung juga menawari Iris yang tampak kesusahan, bahkan penghapusnya sudah terkikis secara kasar karena berulang kali dipakai.
"Yah, kasian yang ga punya ayang, ga ada yang bantuin," celetuk Lia setelah Iris mengangguk mempersilakan Jisung mengambil alih buku gambarnya.
"Mau gue bikinin garis kehidupan? Tapi kayaknya ga cuman miring, gue buatin yang menanjak, berbelok, barbatu lalu jalan buntu, mau?"
Iris mendesah berat mendengar pelanturan Anya, seperti yang sudah-sudah bakal ada adu kekuatan moncong. "Gue udah bersyukur sama garis kehidupan yang Tuhan buat, makasih lo atas perhatiannya."
"Oh sama-sama Mile-eak, kapan-kapan tolong balas kebaikan hati saya." Anya menjawabnya enteng.
"Nih udah, tarik garis dari sini kalau mau mulai menggambar." Chenle menyerahkan buku gambar Anya kembali lalu beralih ke gambarnya sendiri yang sudah jalan hampir setengah perjalanan.
"Makasih loh Cina."
Jisung juga selesai dan memberikan buku gambar ke Iris. "Thanks Cung!"
"Sama-sama Iris," balas Jisung dengan senyum paling manis.
"Bingung mau gambar gedung yang mana," kata Iris memperhatikan banyak hasil print yang semuanya gambar gedung-gedung.
"Nih, kayaknya lumayan gampang. Tapi, keren," Jisung mengusulkan mengangkat satu gambar diserahkan langsung ke Iris.
"I think so." Tidak ada lagi percakapan semuanya larut dalam kegiatan menggambar gedung pilihan masing-masing. Hanya ada sesekali suara kesal Anya yang sering kehilangan alat menggambarnya yang dicolong teman sekelasnya. Bahkan belum sejam Chenle sudah menyelesaikan gambarnya hanya minus warna saja. Dengan telaten dia memandu teman-temannya untuk menggambar dengan metode yang paling nyaman.
"Yang namanya Nesha keluar!!"
"KAMPRET NGAGETIN AJA, NIH GUE JADI SALAH CORET KAN!!" Anya sudah berdiri, menggebrak meja saat gambarnya tak sengaja tercoret padahal niat awalnya ingin mengerjai Lia, tapi malah dia yang kena.
Benar-benar definisi tersandung kaki sendiri.
Nesha langsung terkesiap menatap satu...dua...tiga... Enam kakak kelasnya yang sudah berdiri di depan kelasnya. Geng kak Nancy, tamat riwayatnya. Cepat atau lambat semua ini pasti terjadi. Kak Nancy dan teman-temannya di ekskul modeling berdiri angkuh sambil menatap Nesha rendah. Dia dilabrak, hal yang paling Nesha takutkan.
"Ada urusan apa yah kakak-kakak?" Saut Lia sudah berdiri dengan wajah galaknya.
"Nama lo Nesha?"
"Nama gue Selia!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Too Love Somebody
FanfictionSeribu kata yang tidak pernah cukup, syarat jatuh cinta yang terlalu pelik, dan aku yang selalu percaya bahwa setiap musim akan membawamu pulang. Na Jaemin, selamat mengenang...