02

8 0 0
                                    

Suara bising dari kendaraan memekakkan telinga Kahsa. Sesekali ia mengibaskan tangannya akibat asap kendaraan yang melaju di depannya. Ia duduk di halte bus.

"Lo yang nabrak gue di bus tadi pagi kan?" Sontak Kahsa menoleh ke arah sumber suara.

"Oh, iya itu gue. Lagian gue kan sudah minta maaf,"

"Ga usah jutek gitu kali. Lo mau naik bus?"

"Ga, gue mau naik becak! Sudah tau nanya," ucapnya Kahsa memalingkan wajahnya.

"Btw nama lo siapa? Gue Lyan,"

Kahsa berdiri dari tempatnya duduk, ia naik ke dalam bus dan disusul Lyan di belakangnya. Kahsa merasa tak nyaman berada dekat dengan lelaki asing yang baru saja memperkenalkan dirinya sebagai Lyan.

"Nama lo siapa?" Tanya Lyan kedua kalinya.

"Gue ga punya nama,"

Lyan mengangguk-anggukkan kepalanya, "oh, nama lo gue ga punya nama. Oke, salam kenal,"

Kahsa memutar bola matanya.

Di sepanjang perjalan mereka hanya diam. Beberapa kali Lyan mengajak Kahsa mengobrol, namun Kahsa diam dan memalingkan wajahnya.

"Bang, kiri," Kahsa berjalan ke luar dari bus.

"Lo ngapain ikutan turun?" Tanya Kahsa keheranan.

"Gue turun karena rumah gue di sekitar sini, masa gue harus turun di sana,"

Kahsa lagi-lagi memalingkan wajahnya, kali ini bukan karena tak mau menanggapi celoteh Lyan melainkan ia malu karena menyangka Lyan mengikutinya.

"O-oh, ya sudah," Kahsa berjalan agak cepat.

Lyan tersenyum melihat pipi Kahsa yang berubah menjadi merah, "Lo kira gue ngikutin lo ya?"

"Apaan si? S-siapa juga yang berpikiran aneh gitu,"

"Masa? Terus kenapa wajah lo merah gitu?" Goda Lyan.

Kahsa ingin menghilang dari bumi saat itu juga. Ia merasa dipermalukan oleh lelaki asing yang baru ditemuinya.

"Hei, jangan lari! Gue cuma bercanda," Teriak Lyan ketika melihat Kahsa berlari.

Kahsa berharap dirinya tak akan bertemu Lyan lagi. Rasanya ia sudah tidak ada wajah lagi jika harus berhadapan dengan Lyan.

"Hah, sial, baru kali ini gue dibuat malu sama cowo asing. Tapi, dia manis juga sih," Kahsa menepuk mulutnya ketika sadar apa yang ia ucapkan.

"Gila, manis apaan. Ga banget deh,"

***

Pancaran sinar dari celah gorden membuat Kahsa memicingkan matanya. Ia melihat jam di atas mejanya.

"Kenapa waktu berputar cepat banget si," Ia menggeliat di atas kasurnya.

Selang beberapa menit, ia keluar kamar. Melihat sepasang lelaki dan perempuan paruh baya tersenyum melihat ke arahnya.

"Pagi, Pa, Ma,"

"Pagi, Kahsa. Nanti berangkatnya mau bareng sama papa?"

"Ga deh, Pa. Kahsa naik bus saja,"

Kahsa memakan masakan mamanya dengan lahap. Mamanya pandai memasak segala macam hidangan dan rasanya tak perlu diragukan lagi.

"Kahsa berangkat dulu, ya. Assalamu'alaikum,"

"Wa'alaikumsalam, hati-hati,"

Kahsa berjalan keluar dari komplek, namun ia mendadak menghentikan langkahnya ketika melihat sosok lelaki yang sudah tak asing baginya kini berdiri tersenyum ke arahnya.

"Sial, kenapa pagi-pagi gini sudah ketemu dia. Apakah ini pertanda buruk untuk hari ini?"

"Woi, kenapa bengong," Teriak Lyan.

Kahsa berjalan melewati Lyan tanpa menengok ke arahnya. Ia tak menghiraukan teriakan Lyan yang menurutnya sedang kesal, tapi entahlah.

Lyan berhasil mensejajarkan dirinya dengan Kahsa, "gue mau minta maaf,"

"Buat?"

"Kejadian kemarin, gue cuma godain lo kok, gue ga ada maksud jahat sama lo,"

"Terus?"

"Lo mau kan maafin gue?"

"Ya"

"Buset, singkat banget,"

"Ikhlas ga minta maafnya!"

"Oh, iya iya ikhlas gue,"

Garis X hidupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang