Prolog

4 1 0
                                    

"Semua yang kulakukan hanya agar aku tetap bisa bersama kalian, kawan. Karena belum tentu kalian bisa menerimaku jika aku menjadi diriku yang sesungguhnya."

"Jujur, gue lelah..."

* * *

Melangkah tanpa arah, berjalan tanpa tujuan, hingga ia tidak menyadari indahnya perjalanan yang selama ini ia lalui.

Begitulah sosok Wavi Zea Adriella, yang kini tengah menduduki bangku kelas 3 SMA.

Menurut pandangan teman-temannya, Wavi itu orang yang ceria dan sangat peduli kepada siapapun. Namun tidak seperti itu bagi Shaqeella, salah satu teman dekat Wavi, dimana ia bisa menjadi sosok dirinya yang mungkin orang lain tidak akan mengenalnya.

Shaqeella merupakan orang yang sangat berarti bagi Wavi, karena hanya pada Shaqeella ia mampu mengeluarkan semua yang ia rasakan.

* * *

"Vi, bentar lagi kita bakalan berjuang masing-masing dijalan yang berbeda." Ujar Shaqeella sambil memainkan rambut panjang nan lurus milik Wavi yang sedang berbaring diatas paha Shaqeella.

Mendengar ucapan itu Wavi hanya bergumam pelan dan tak berucap apapun lagi. Dia seperti itu bukan karena dia merasa bahwa dia akan baik-baik saja saat menghadapi kebenaran itu, namun justru sebaliknya.

Wavi membayangkan alur kehidupannya yang ia pikir hidupnya akan terus berjalan tanpa tujuan, setelah kepergian Shaqeella dari sisinya, meskipun sebenarnya masih bisa disempatkan untuk berkomunikasi.

"Siapa nanti yang bakalan dengerin isi hati gua Qila?"
"Siapa yang bakalan ngertiin perasaan dan pemikiran gua?"
"Siapa yang sanggup nerima diri gua yang segini adanya?"

Pertanyaan demi pertanyaan terus Wavi lontarkan, yang mana itu merupakan sebuah kekhawatiran yang kini tengah memenuhi pikirannya.

Mendengar semua itu Shaqeellaa tak lagi mampu membendung air matanya, karena bagaimanapun juga Wavi sudah dia anggap seperti saudara sendiri, Shaqeella benar tulus menyayangi dan menerima Wavi.

"Kenapa sih kamu milih pergi?" Akhir dari sekian banyaknya pertanyaan Wafi tadi.

Wafi menegakkan tubuhnya dan menghadap Shaqeella, seolah menunggu jawaban dari Shaqeella.

"Vi, i'm sorry... Aku cuman ingin memenuhi keinginan kedua orang tuaku... Please, understand..." suara Shaqeella melemah.

Wavi hanya mampu menghembuskan nafasnya kasar, dan langsung memeluk sahabatnya itu.

"Aku paham... Pergilah, jangan berfikir tentangku... Do'ain aja lah aku disini ya..." Ucap Wavi sambil mengelus punggung sahabatnya itu dengan mata yang berkaca-kaca.

Shaqeella membalas pelukan Wavi.
"Jaga dirimu baik-baik Vi, jangan terlalu mendengarkan apa kata orang lain." Ia melepas pelukannya dan menangkup kedua pipi chubby Wavi.

"Kamu berharga, banyak orang masih peduli sama kamu." Ujar Shaqeella lalu mencubit pipi Wafi sampai ada bekas merah.

"Akh... Aww!!" Wavi menangkis tangan Shaqeella dengan cepat.
"Sakit anjir." Lanjutnya.

Shaqeella hanya ketawa ringan melihat sahabatnya marah seperti itu.

* * *

Karena harus memenuhi keinginan orang tuanya, Shaqeella memutuskan untuk meneruskan pendidikannya di Universitas luar negri bersama Papanya yang akan mengelola sebuah perusahaan disana.

Dan kini Wavi merasa tak lagi memiliki tempat untuk pulang. Yang kini dia lakukan hanyalah berusaha terlihat bahagia didepan semua teman-teman barunya.

Jadi, tak heran semua orang mengenal sosok Wavi itu adalah seorang yang periang bahkan humoris. Banyak orang yang mengaguminya karena banyak kemampuannya yang tak bisa dilakukan oleh orang lain. Dan kadang banyak orang yang memanfaatkan kebaikannya itu, namun Wavi tak mempermasalahkan hal itu karena teman adalah prioritas pertama baginya.

Dimasa kuliahnya ini, Wavi sering merasa sepi meskipun banyak orang disekelilingnya. Dia justru merasa gelisah ditengah keramaian tersebut. Namun tak ada satu orangpun yang mengetahuinya.

* * *

Wavi mengikuti organisasi BEM di kampusnya, dan jabatannya sebagai artsaction.

Setiap kegiatan ia jalani dan ia kerjakan sebaik mungkin hingga ia memiliki penuh kepercayaan dari lingkungannya.

Meskipun terkadang atasannya seringkali membentaknya, yang entah karena merasa iri dengan kepercayaan yang Wavi dapat atau bukan, namun Wavi tidak menjadi down apalagi balik melawan mereka. Ia mampu menutupi beban hatinya dengan keceriaan yang selalu ia tunjukkan pada teman-temannya.

"Oh Tuhan... Mengapa aku masih terus hidup? Kapan engkau ambil diriku ini?"

Goresan tangannya diatas buku kecil berwarna hitam, yang menjadi luapan isi hatinya.

Enggak heran Wavi selalu tampak depressi seperti itu, karena dibalik keceriannya itu, dia memiliki berjuta beban yang harus ia hadapi namun ia belum mengetahui harus bersikap seperti apa dan bagaimana.

Tekanan dari lingkungan pertemanan, organisasi yang ia ikuti, bahkan tekanan dari orang tua yang membuatnya merasa semakin terpukul.

Wavi adalah orang yang paling tidak bisa dibiarkan untuk berjuang sendiri. Dia sangat membutuhkan seseorang disisinya agar ia mendapat dukungan dan dorongan dari orang yang dapat ia percaya, seperti Shaqeella.

"Sulit bagiku untuk menemukan orang yang bisa kupercaya. Karena terkadang, orang-orang yang bertanya 'kenapa?' itu hanya ingin tahu kehidupanku, tidak untuk peduli akan diriku."

Mungkin karena itu, sosok Wavi menjadi seorang yang selalu menunjukan perhatian dan kepeduliannya kepada oranglain.

*****








Thanks for reading 🥰

Sorry ceritanya masih agak membingungkan 😁🙏
Bantu follow ig saya juga ya manteman @asizannn21

Hatur Nuhun😇🙏

Kutemukan Malaikatku - (True Story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang