Saya menulis ini ketika bingung tengah memeluk saya dengan nyaman. Ketika duka menggerogoti jiwa bak kelaparan, menenggelamkan seluruh tawa juga bahagia yang menerbitkan pesakitan.
Saya jatuh. Saya sakit. Namun, saya ingin bangkit. Saya ingin pulang, namun tak ada yang menyambut saya untuk datang. Seakan buta. Saya tak tau arah mana yang harus saya pijaki dalam setiap langkah yang akan saya jajaki.
Bumi itu luas, katanya. Namun, saya merasa seperti di ruang sempit. Seakan terhimpit oleh kenyataan pahit. Sesak, tak dapat menghirup udara barang sedetik. Duka kian tertawa melihat saya terluka berpeluk nestapa.
Canda tawa hanya bualan belaka ketika air mata jatuh membentuk aliran duka. Semuanya terasa sia-sia ketika hanya isak tangis yang menjadi suara. Kata orang, menangis dapat melepas segalanya. Nyatanya, menangis hanya makin menyesakkan dada. Entah apa yang semesta ingin keluarkan dari buminya. Entah apa yang diinginkan jiwa untuk membuatnya bahagia. Karena menangis tak kunjung menyelesaikan duka yang berteman setia dengan lara.
Saya ingin pulang. Sungguh. Saya ingin merasakan apa itu sambutan. Saya ingin tau bagimana rasanya kehangatn. Saya ingin memeluk dan dipeluk dengan sesosok nyata manusia yang memiliki rasa. Saya ingin menitipkan barang sejenak lelah yang sedang saya bawa.
Saya rindu. Dan obatnya hanya satu. Temu. Namun bagaimana saya harus bertemu raga yang sudah diselimuti tanah dengan jiwa yang entah saya tau ada di mana. Bagaimana saya dapat memeluk mereka yang sosoknya sudah berada dalam pangkuan semesta. Bagaimana saya dapat mengobati rindu yang terus menggebu sepanjang waktu?
Saya lelah. Raga saya sakit. Jiwa saya terluka. Duka terlalu tega membiarkan lara menyetubuhi saya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dari Saya Untuk Semesta
PoesiaRasa yang tak dapat tersampaikan lewat kata, hanya mampu dilampiaskan dalam sebaris kalam pena.