Sepuluh

600 103 16
                                    

Jeongguk

Dalam doa, Jeongguk hampir selalu dihampiri oleh bayang-bayang sembilan Kerajaan yang menyambutnya dengan upacara besar-besaran. Memorinya semasa cilik, membuatnya tahu kalau sejatinya keberadaan Basuki ini tidak lebih dari dongeng anak-anak yang sudah diceritakan di abad ini. Wujud naga itu juga cuma bisa dikategorikan sebuah legenda. Sudah terhitung berapa ratus tahun ia tidak menjejak di atas dua kaki bertelapak sebesar satu buah mobil.

Taeyeon pernah beberapa kali berkata kalau sampai dua kakaknya ikut bangkit dan muncul diabad ini, kemungkinan besar bakal terjadi konflik menahun yang tidak bakal bisa rampung dengan cepat. Tiga naga legendaris itu bakal jadi rebutan. Entah siapa yang bakal menang. Klungkung, Buleleng, Karangasem. Atau mungkin bisa juga Badung atau Tabanan. Masih juga ada Gianyar, Bangli, dan Jembrana. Sembilan komponen yang membentuk Bali menjadi satu. Kuasa Majapahit sebelumnya tidak mampu mempertahankan Bali jadi kesatuan, sayangnya. Kesembilan kerajaan yang ada belum Jeongguk rasai punya minat pada keberadaan Basuki yang bersifat tidak mencolok ini. Kalau dipikir-pikir, menginjakkan kaki di Bali kembali jadi membuat Jeongguk banyak sekali beban pikir. Keberadaannya merupakan anugerah dan malapetaka disaat yang sama. Ia justru memilih untuk melalang buana. Pergi kemana saja dan membuat identitas baru. Bukan Jeongguk sang turunan Naga Basuki. Bukan juga Jeongguk yang hampir selalu mengayah membantu ajik Taehyung di pura. Cukup Jeon Jeongguk. Tidak lebih dan tidak kurang.

"Bli, bligung." Suara Tzuyu masuk melalui celah ruas pintu. Mengaburkan pikiran Jeongguk yang masih berdiri tegap di depan pelangkiran. Baru selesai mengayap dupa yang masih menyala. "Taman di samping merajan sudah selesai. Kalau mau lihat, langsung ke luar saja, ya, bli."

Jeongguk mengernyit. Ia bangkit dan merapikan lipatan kamen di atas paha. "Kok, ke ndak bilang kalau bikin?" Ia tarik gagang pintu dan menampilkan sosok Tzuyu dalam balutan piyama tidur. Sepertinya tidak ada acara ke universitas buat hari ini, jadi anak iru bisa bersantai. "Kan, aku bisa bantu," katanya.

"Bukan aku, kok." Tzuyu tidak mau disalahkan. "Mbok Taeyeon memang katanya ndak mau mengganggu bli, jadi dikerjakan sendiri. Kan, bli balik dari kantor kemarin jam dua malam?" tanyanya. "Sudah dua minggu, lho, bli. Ndak mau WFH saja kayak dulu?"

"Sing(tidak) ada urusan mendadak. Ndak perlu WFH kalau aku menginap di rumah Taehyung," sanggah Jeongguk.

"Ya, sudah."

Jeongguk sabet satu ikat rambut yang ada di atas meja komputer. Tidak mempedulikan banyak tumpukan buku berserakan di samping kursi atau dekat dengan jendela. Ia bergegas berjalan mendekat dan menguncir surai supaya tidak menghalangi pandangannya atau mengganggu di depan wajah. "Mbok nya mana?"

"Ada di dapur."

"'Dah makan, kan, ke?"

"Belum." Tzuyu menggeleng-geleng.

"Ngudiang(kenapa)?"

"Belum lagi lapar."

"Makan dulu. Sana gimana? Belum makan juga dia?"

"Kayaknya belum juga."

Jeongguk melipir ke meja makan. Menarik dua piring dan menoleh ke meja dapur, dekat kompor, wastafel, untuk memastikan bahwa mbok Taeyeon sudah memasakkan sesuatu untuk kedua keponakannya sebelum sibuk memacul taman mini yang disarankan olehnya sendiri. Beberapa panci dan wajan yang kotor masih tergeletak tidak tersentuh. Kalau sudah begini, Jeongguk yang awalnya tidak diperbolehkan masuk dapur karena dapur adalah area yang dikuasai oleh mbok Taeyeon, mau tidak mau harus membereskan kekacauan yang ada. Supaya serangga pemakan manis bertubuh mungil itu tidak mampir dan menyebabkan gatal-gatal. "Mbok masak apa?"

DewanandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang