Chapter 3

166 19 1
                                        

       "Hei, hei. Pernah dengar tidak?" " Apalagi, aku tidak akan termakan dengan cerita-ceritamu lagi." "Heee. Tapi yang satu ini tidak kalah menarik." "Baiklah, apa itu?" "Dulu, ada seorang anak yang tidak kesakitan meskipun disayat." "Eh? Mana mungkin." "Orang-orang desa memanggilnya makhluk abadi."


        Seseorang menapakkan kakinya melewati semak-semak. Disadarinya buah berry berada di sekitarnya. Tangannya meraih dan memetik beberapa berry untuk langsung disantapnya. Tidak mungkin ada pemilik kebun di dalam hutan,bukan?

        Pupilnya lebih lebar dari biasanya karena sedikitnya penerangan yang ada, malahan sama sekali tdak ada. Hanya bulan yang tetap setia mengikutinya. Matanya sibuk menelaah dan mencari 'sesuatu'. Sambil terus melanjutkan langkahnya menuju ke dalam hutan.

        Aneh sekali. Perasaannya tidak dapat dideskripsikan. Padahal ini baru pertama kalinya dia masuk ke dalam hutan. Tapi rasanya sama seperti saat mengunjungi rumah teman. Apakah kepalanya tidak apa-apa? Entah apa yang sedari tadi surai pirang ini cari, padahal dia masih tidak tahu apa tujuannya. Andai saja saat itu sudah ada Doraem*n, mungkin dia akan merengek meminta baling-baling bambu. Berjalan itu tentu saja melelahkan.

        Sesekali dia menyingkap dahan-dahan yang menghalangi pandangannya. Di bawah pohon yang cukup besar, ada seseorang berdiri menghadap ke arah bulan. Kepalanya menoleh menuju pada sosok yang menginterupsi aktivitasnya. Sosok yang ditatapnya hanya terpaku dan sedikit menyeringai.

Y-yo."

***

" Danna. Kau mau tidak, un?"

" Tidak."

" Haaahh, tidak usah malu-malu,un." Deidara menawarkan bekal onigiri yang dibuatnya dengan penuh rasa bangga. Satu tangannya dipakai untuk melahap nasi kepal tidak sempurna tersebut.

" Bentuknya membuatku tidak nafsu makan."

" Masih baik aku mau membaginya dengan mu. Baiklah, akan kumakan semuanya, un."

        Mata hazelnya menatap orang yang duduk disampingnya. Tenaganya serasa habis hanya untuk menjawab sepatah dua patah kata. Suaranya selalu nyaring saat berbicara. Mmebuat telinga siapapun yang mendengar serasa berdenging. Tapi si rambut marun tidak merasa terganggu sama sekali. Perasaan hangat menyelimuti setiap inci bagian tubuhnya.

" Jadi, kenapa kau kesini? Lagi. "

        Deidara menjilati sisa-sisa onigiri yang ada di ibu jarinya. Dia mendengarkan apa yang dikatakan orang disampingnya. Lalu, menjawabnya tanpa menatap langsung lawan bicaranya.

"Aku..." sesaat dia terdiam dan mengangkat sebelah alisnya. Meskipun otaknya berusaha menggali memori tapi tetap saja tidak berhasil. Dengan ringan dia meneruskan kalimat yang terputus.

" Aku ingin menemuimu,un. Hehe."

" Hah, perbuatan yang sia-sia."

" Tidak juga. Buktinya kau juga di sini, un."

        Keheningan mulai bergabung dengan mereka berdua. Aktivitasnya berganti menjadi duduk-duduk di gubuk tanpa bicara satu sama lain. Dirasa tidak akan ada kata-kata yang keluar dari mulut Sasori, Deidara memecah kesunyian." Aku akan di sini beberapa hari, un." Kalimatnya sukses menarik perhatian mata hazel yang sekarang tertuju padanya. Raut wajahnya belum pernah Deidara lihat sebelumnya. Apa mungkin dia sebegitu cemas?

" Tidak boleh."

" Kenapa? Memangnya kau yang punya hutan, un."

" Apa kau gila. Bagaimana jika ada binatang buas yang berkeliaran. Tidak akan aman jika kau tetap berada disini."

Unfinished StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang