Hari ke-1: Surat

174 17 2
                                    

"Aku hanya ingin mengenalmu, melalui kata-kata yang terukir indah hingga relung sanubari."

Anita berlari terburu-buru masuk ke kelas. Ia menutupi kepala dengan tangan, menghindari cahaya matahari yang menembus atmosfer dengan membawa sengatan panas. Inilah alasan mengapa ia tidak suka masuk sekolah di siang hari. Semangat belajar sudah meleleh seperti es krim yang dibiarkan mencair.

Gadis itu berhenti sejenak di depan pintu kelas, membiasakan matanya beradaptasi dari cahaya terang ke tempat yang lebih gelap. Setelah rhodopsin dari sel batang di retina matanya mulai terbentuk, ia melangkah perlahan ke dalam kelas. Riuh rendah suara terdengar, menandakan kawan sekelas sudah banyak yang datang. Kaki Anita mulai melangkah menuju tempat duduk yang terletak di baris kedua dari depan. Tampak Rika, teman sebangkunya, sedang duduk menghadap kursi belakang sambil menyalin dengan cekatan.

"PR Matematika ya, Rik?" tanya Anita sambil menaruh tas di balik kursi. Jantungnya berdebar karena ia belum mengerjakan.

"Iya. Lo udah ngerjain?" Rika balik bertanya tanpa memalingkan wajah dari buku di hadapannya.

"Belum. Buku gue nggak ada di tas. Ketinggalan kayaknya," jawab Anita sambil merogoh kolong meja. "Nah, benar! Lihat juga dong, Rik."

"Ini gue lihat punya Hesti. Bilang dulu sama orangnya," sahut Rika yang masih sibuk menulis dengan kecepatan kilat.

"Hesti! Lihat PR Matematika, ya. Buku gue ketinggalan kemaren," pinta Anita menatap teman yang masih sibuk memainkan ponsel.

"Iye, lihat aja! Tapi nggak tau bener apa nggak jawabannya," sahut Hesti tak acuh.

"Asyik!" pekik Anita girang. Ia buru-buru membuka buku dan duduk menghadap belakang seperti Rika.

Sebuah kertas jatuh ke lantai dari sela halaman buku. Anita memungut kertas itu dan meletakkan di meja tanpa membukanya. Merogoh tas dengan isi berserakan, ia berhasil mengeluarkan pulpen hitam dan menyalin jawaban milik temannya.

Anita mendesah lega, seusai "mengerjakan" PR. Paling tidak, ia bebas dari hukuman Bu Asih. Guru Matematika tua itu tak akan segan menyuruh squat jump pada siswa yang tidak mengerjakan tugas. Cukup sekali dan Anita tidak mau lagi.

Setelah mengucapkan terima kasih atas contekannya, gadis berambut ikal itu kembali duduk menghadap depan. Saat hendak meletakkan bukunya kembali di kolong meja, pandangannya tertuju pada kertas yang tadi terjatuh. Penasaran, ia membuka lembaran putih bergaris yang disobek dari tengah buku tulis. Tampak tulisan tangan yang terlihat asing di matanya.

'Hai nama kamu Anita ya? Yg punya buku mtk. Nilainya bagus2 yah. Kenalan dong.'

Anita tersenyum miris saat membaca tulisan itu. Pasalnya, si penulis surat jelas-jelas menyindir dirinya karena nilai di bukunya lebih sering berkisar lima puluh sampai enam puluh. Rekor tertinggi di bukunya adalah nilai tujuh puluh saat tugasnya hanya menyalin dari buku cetak. Entah mengapa Matematika selalu menjadi pelajaran yang paling sulit terkoneksi di antara milyaran saraf otaknya.

Keusilan yang selama ini disembunyikan tiba-tiba mendesak keluar. Diiringi dengan terbitnya senyum di sudut kiri dan kanan bibir, tangan Anita menggoreskan pulpen di bawah tulisan kecil yang berjajar rapi di tengah garis.

'Hai juga. Iya aku Anita. Jangan buka-buka buku orang sembarangan, dong! Apalagi lihat nilainya. Kayak nilainya bagus aja.'

"Bersiap, memberi salam!" Terdengar suara ketua kelas memberi aba-aba. Anita terkesiap. Dengan cepat tangannya memasukkan kertas surat itu ke kolong meja sebelum melipat tangan di atasnya. Bersama teman-teman yang lain, ia memberi salam pada guru yang sudah memasuki kelas dan dilanjutkan dengan berdoa bersama. Pelajaran pertama pun dimulai.

Surat di Kolong MejaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang