7. Bapak Takut Kehilangan Saya?

210 62 16
                                    

EPS 7. Bapak Takut Kehilangan Saya?

Pulang dari pasar malam, aku memang menelepon Mama seperti yang sudah dijadwalkan rutin tiap malam Minggu, kecuali ada hal penting mendadak. Itu mulai kulakukan sejak Diana meninggal.
Kematian membuatku semakin percaya bahwa kapan pun kita akan dipanggil tanpa melihat usia. Ibaratnya, mumpung Mama masih ada usia, jangan sampai nanti menyesal.
Namun, aku tak mengira sama sekali kalau tiba-tiba siang ini Mama bakal datang bareng Vivian.

Aku beranjak menyambut dan mencium tangan Mama lalu menyalami Vivian. Kusuruh mereka ke dalam. Adel sibuk mencarikan kursi untuk keduanya.

"Hai, Adel, ketemu lagi kita ya, apa kabar?" sapa Vivian. Mereka saling bersalaman cukup akrab dan sikap Adel juga santai tak terlihat canggung sedikitpun.

"Alhamdulillah saya baik, Mbak." Adel menghampiri Mama dan mencium tangannya takzim.
Ia menyodorkan kursi ke ibuku itu lalu beranjak menyeret satu kursi lagi di belakang meja kasir.

"Sini duduk, Mbak. Mbak Vivi sudah tinggi nanti makin tinggi kalau nggak duduk," jawab Adel. Aku cuma tersenyum saja dengar ucapannya.

"Makasih, ya." Vivian yang kali ini mengenakan celana panjang hitam dengan blus warna coklat muda tampak cantik. Ya, aku tak memungkiri kalau Vivian memang perempuan yang cantik, matang, mandiri, berkelas dan sukses tentu saja.
Namun, menurut cerita mamaku, tidak dengan perjalanan perkawinannya. Katanya, suami Vivian berselingkuh, lalu dia menggugat cerai. Jadi, statusnya janda tanpa anak di umur 33 tahun itu.

Bukan berprasangka, aku tahu kedatangan Mama bareng Vivian tentu dalam upaya mendekatkan kami. Mama memang tak bosan mencarikan pengganti Diana untukku. Katanya, menikah itu sunah nabi apalagi aku masih muda.

Sayangnya, untuk menikah lagi aku perlu banyak pertimbangan. Bukan takut atau bagaimana, tetapi yang kupikirkan juga apa dia akan menerima aku satu paket dengan anak-anakku?

Di satu sisi, aku juga belum bisa melepas bayangan Diana begitu saja dari benakku.
Bahkan kamarku tak berubah susunannya setelah istriku pergi. Masih seperti setahun lalu posisinya. Barang-barang Diana tak bertukar tempat. Termasuk baju-bajunya beberapa masih tersimpan di lemari. Aku kerap menyemprotkan parfum kesukaannya di atas baju-bajunya agar wangi khas Diana selalu tercium hidungku. Ya segitunya mungkin orang bilang.

Vivian menyeret kursi ke dekatku. Mama pun sudah duduk persis di depanku.

"Ibu dan Mbak Vivian mau minum apa? Biar nanti saya bilangin ke Bi Isah," ucap Adel sembari mendekati kami.

Dih, aku yang dari tadi di sini saja nggak ditawarin sama sekali. Giliran mereka datang sok perhatian. Kulirik wajah Adel yang kelihatan basa-basinya.

"Pak Duan juga kayaknya sangat kehausan? Tenang, nanti sekalian ya," ujar Adel kayak bisa membaca pikiranku. Dasar!

Vivian dan Mama tertawa memandangnya.

"Apa aja, Adel, kamu yang waktu itu angkat hp-nya Mbok Isah ya?" tanya Mama. Adel mengangguk.

"Adel keponakan Mbok Isah, Ma," kataku.

"Iya, Mama tahu, kami sudah ngobrol lama kan ya, Del. Ternyata kamu cantik dan manis. Sepintas mirip Ria Ricis ya ...."

Uhuk, Ria Ricis dari Cileungsi? Kulirik roman Adel yang mendadak bersemu. Baru dibilang manis dan cantik langsung berubah begitu.

"Ibu bisa saja, padahal kata tetangga, saya mirip Agnez Mo loh," timpalnya.

Sungguh, pengen rasanya segera kutarik hidungnya saat itu juga. Lagian, kenapa mereka jadi pada bilang mirip-miripan di depanku?

Vivian masih tertawa lirih tertahan dengan duduk tegak, terlihat seperti ingin tetap menjaga wibawanya sebagai putri keluarga terhormat.

DURIAN DAN DELIMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang