8. Kamu Nggak Cocok Pakai Daster

228 59 17
                                    

EPS 8.  Kamu Nggak Cocok Pakai Daster

Saat memasuki garasi, sekitar jam 8 malam, aku tercengang melihat dua sosok itu tengah duduk di depan kursi panjang ruko. Mbok Isah dan Adel ngapain jam segini masih beredar di rumah?

Rasa letih seharian mengecek persiapan pembukaan kantor cabang bank pembiayaan rakyat syariah yang baru, membuatku tak ingin menduga-duga lebih jauh. Apa mungkin ini terkait jawaban Adel soal berhenti kerja?

"Alhamdulillah Pak Duan sudah sampai," ucap Mbok Isah tampak berseri, Sementara Adel justru sebaliknya romannya agak lesu. Kenapa dia?

"Ya, Mbok, ada apa? Kok belum pada pulang tumben?" Aku melirik tas baju di samping Adel yang tadi luput dari penglihatan. Kok mendadak nggak enak ya. Jangan-jangan Adel mau pulang ke Surabaya atau Cileungsi? Awas saja kalau nekat malam-malam begini langsung mau izin pulang.

"Del, mau kemana?"

"Pak Duan, saya- maksudnya kami apa boleh malam ini menginap di sini? Maksudnya di rumah laundry?"
Aku terperangah. Kok mendadak begitu?

"Sebentar, ada apa memangnya?"

"Anu, Pak Duan, kamar saya di rumah kan kebocoran, jadi mulai tadi siang lagi dibenerin tukang. I-iya begitu," lanjut Mbok Isah terdengar memelas.

Kok kayak aneh di telinga. Perasaan Mbok Isah kemarin atau tadi pagi tak cerita apa-apa soalnya rumahnya? Semalam memang hujan, tapi kayaknya nggak deras-deras amat.

"Kalau Pak Duan keberatan nggak papa sih, biar nanti saya cari penginapan murah saja dekat-dekat sini," ujar Adel.

Aku kesal saja mendengarnya karena Adel suka banget mengambil kesimpulan sendiri .

"Bukan begitu, cuma kan kamar di situ kurang layak, Adel. Nggak ada AC-nya dan banyak barang-barang laundry di ruang tengah?" ucapku.

"Nggak papa, Pak. Saya sudah biasa."

"Kenapa nggak di rumah saja, kan ada kamar tamu? Cukup sepertinya buat berdua?" Sebenarnya aku nggak enak nawarin ini. Kalau Mbok Isah yang nginep nggak masalah. Semua tetangga sudah tahu dan kenal, tetapi kalau Adel kan masih asing. Bisa dikira aku nyimpen gadis orang di rumah.
Status duda juga sensitif bagi khalayak ramai. Apalagi duda kayak aku. Kalau 60 tahun ke atas sih siapa yamg mikirin?

"Jangan, Pak. Nggak enak sama tetangga. Nanti jadi gunjingan. Saya dan Bi Isah di ruko saja ya, kalau dibolehkan?"

"Tapi panas lho, Del. Waktu itu saja saya nggak bisa tidur," ungkapku ingat kejadian Adel tidur di kamar Kikan. Adel sedikit nyengir mungkin ia ingat juga kejadian pagi itu yang dia teriak histeris hanya karena aku telanjang dada. Duh, kenapa justru aku yang selalu ingat sih.

"Alhamdulillah saya bisa tidur di segala cuaca, Pak. Nggak usah khawatir. Yang penting diizinin."

Akhirnya aku mengangguk saja. Mereka berdua pun berkemas masuk.

***

Jam 10-an kulihat anak-anak sudah ke kamar masing-masing. Aku pun sudah mengganti piyama untuk istirahat. Namun, kenapa jadi keingetan Adel dan Mbok Isah di rumah samping ya?

Aku kayaknya nggak sampai hati membiarkan mereka tidur kegerahan di sana. Ah, kenapa tak kutawarkan saja kipas angin yang ada di gudang bawah?
Ya, bagaimanapun mereka kan pegawaiku. Tenaga mereka amat kubutuhkan. Kalau mereka sakit gara-gara tak bisa tidur kan aku juga yang repot.

Aku bergegas menuju gudang kecil di bawah, setelah sedikit kubersihkan dengan kain lap aku membopong kipas angin itu ke luar.

Suasana malam sudah terlihat sepi, padahal baru jam sepuluh lewat, tanganku hendak menggedor pintu tapi mendadak kuurungkan karena terdengar suara Adel yang begitu jelas di balik pintu. Sepertinya dia tengah bercakap-cakap dengan seseorang di telepon.

DURIAN DAN DELIMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang