Chapter 1

226 9 0
                                    

Warning!
Typo bertebaran, mengandung kata kasar dan konten dewasa. Bijaklah saat membaca, cerita ini hanya fiksi belaka dan tidak mungkin terjadi dikehidupan nyata.
Selamat membaca.






















Selamat membaca

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.





















Di keremang-remangan lampu, membuat ruangan besar itu terasa begitu sesak, terasa begitu mencengkam, terasa begitu sempit dan penuh dengan kesedihan. Malam itu, ketika seharusnya hati penuh dengan kebahagian, ketika seharusnya suka-cita yang menggema, ketika seharusnya dua hati yang terikat 10 tahun lamanya dapat menikmati malam yang penuh bintang.

Nyatanya tidak, kedua insan yang saling mencintai itu harus rela menanggung semua hinaan, cacian, dan sindiran-sindiran tak langsung, namun tepat menancap di relung hati mereka.

“Maafkan aku, seharusnya malam ini tidak menjadi seperti ini…”

Ia tak sanggup melihat sang pemilik hati yang serapuh ini, ia merasakan sakit yang amat sangat sakit ketika sang renjana tengah menanggung begitu banyak penderitaan hanya karena kalimat-kalimat yang seharusnya tidak ia dengar. Pemuda tampan itu mendekap dengan begitu erat seseorang yang sudah lebih dari 15 tahun ini menemani hidupnya, berada di sampingnya apa pun yang terjadi. Mewarnai hari-harinya yang semula berwarna abu-abu.

“Aku yang meminta maaf, Jeno. Maafkan aku yang tidak sempurna ini, karena diriku, kau harus menerima semua hinaan itu.”

Sang renjana menangis tersedu-sedu, bersusah payah menyelesaikan kalimatnya yang tersendat di tenggorokan karena isakan tangis yang tidak mampu ditahan. Hatinya benar-benar hancur saat melihat foto pernikahan mereka yang sudah sangat lama menggantung di dinding, tepat di atas ranjang besar mereka.

“Oh, Minju… aku tidak pernah menyesal dengan semua yang sudah aku putuskan. Kita sudah melalui semua ini, tepat hari ini 10 tahun kita melaluinya. Aku mohon, jangan terpuruk karena mereka. Aku hanya butuh dirimu, aku bahagia hidup hanya dengan dirimu. Aku mohon, kau juga harus berpikir seperti diriku.”

Sepuluh tahun yang lalu, Kim Minju dan Lee Jeno, dua pasangan yang saling mencintai memutuskan untuk menikah di usia mereka yang masih sangat muda. Saat itu Jeno baru saja menyelesaikan Pendidikan sarjananya, sedangkan Minju lulus dari Sekolah Menengah Atas. Usia mereka terpaut lima tahun, namun sudah saling mengenal sejak mereka kecil.

Di tahun pertama Minju masuk Sekolah Menengah Pertama, dan Jeno yang berada di tahun ketiga Sekolah Menengah Atas, kedua orang itu memulai lembaran kisah cinta mereka.

Menikmati hari-hari dengan penuh cinta, saling menyalurkan kasih sayang dan kebahagian. Berbagi rasa sakit bersama, berbagi kisah cinta dan suram bersama, saling menjaga dan menggenggam erat tangan masing-masing agar tidak saling meninggalkan.

Di tengah kebahagian yang sedang mereka jalani, saat Minju masuk ke Sekolah Menengah Atas, gadis cantik itu harus menanggung penderitaan yang begitu berat. Terlibat kecelakaan tragis, yang membuat bagian dalam tubuhnya terluka. Hingga Minju harus menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya, hatinya, dan pikirannya ketika hari itu dokter mengangkat rahimnya yang terluka parah.

Ia harus menanggung semua penderitaan saat ia mengetahui bahwa dirinya tidak lagi bisa menjadi sosok wanita ‘sempurna’, bahwa dirinya tidak akan pernah mendapatkan keturunan dan menimang seorang anak. Ia terpuruk, hari-harinya menjadi begitu suram.

Minju memaksa Jeno untuk meninggalkannya, memaksa pemuda tampan itu untuk mencari kebahagiaan lain yang lebih sempurna. Tetapi, Jeno menolak untuk pergi. Jeno menemani Minju dengan semua cinta yang semakin hari, semakin bertambah di hati Jeno. Tentu saja semua cinta itu hanya untuk Kim Minju seorang.

Melihat Jeno yang tidak pernah menyerah, dan kegigihan pemuda tampan itu untuk tetap mencintainya, akhirnya membuat Minju luluh. Gadis itu memilih untuk kembali bangkit, untuk kembali menggenggam tangan yang selalu Jeno ulurkan untuknya.

Memilih untuk sepenuhnya mempercayai cinta seorang Lee Jeno, dan memilih untuk menerima lamaran sosok itu di usianya yang ke 20 tahun. Dan hari itu, 10 tahun yang lalu Jeno mengikat Minju sebagai istrinya diusia 25 tahun, ketika ia sudah resmi memegang jabatan CEO Kingdom Group. Warisan terakhir yang almarhum ayahnya berikan.

Hari-hari kedua pasangan itu mereka isi dengan penuh kebahagiaan, walaupun kadang masih saja rasa sedih dan sakit itu singgah di kehidupan mereka. Faktor terbesar yang selalu menjadi dalang kesedihan mereka adalah tentang keturunan.

Kenyataan Minju yang tidak akan pernah bisa memberikan Kingdom Group pewaris selanjutnya, Minju tidak akan pernah bisa memberikan Lee Jeno keturunan. Setiap tahun, setiap hari di mana mereka merayakan hari pernikahan mereka, selalu saja terjadi seperti ini.

Keluarga Jeno selalu menorehkan luka di hati Minju dengan segala sindiran dan hinaan tentang ketidaksempurnaanya itu. Dan hari yang seharusnya penuh dengan kebahagiaan itu, selalu saja berakhir dengan Minju yang menangis di dalam pelukan erat Jeno. Kalimat maaf yang selalu Minju ucapkan, selalu menjadi penutup Minju sebelum ia terlelap karena kelelahan.

“Jeno… ayo kita lakukan… aku ingin rencana kita dilakukan saat ini juga…”

Suara Minju masih terdengar bergetar, walaupun air matanya sudah berhenti mengaliri pipi putihnya. Jeno mengurai dekapannya, menatap wajah sembab sang istri tercinta.

“Kau yakin? Kau benar-benar ingin kita melakukannya?”

Jeno berbicara sangat lembut, ia tahu apa yang sedang Minju bicarakan. Mereka memiliki satu rencana yang sudah mereka pikirkan sejak beberapa tahun yang lalu, satu rencana yang akan mengubah hidup mereka.

“Kau tahu aku tidak punya banyak waktu lagi, Jen… aku mohon, kabulkan permintaanku ini. Kau harus segera memiliki keturunan.”

Jeno hanya mengangguk, ia terlalu enggan untuk menambah cerita sedih di malam sendu mereka ini. Tangan kokohnya kembali mendekap Minju dengan erat, dan kembali menyalurkan rasa sayang dan cinta itu kepada sang pemiliknya. Malam-malam mereka terlalu berat dan menyeramkan, kenapa terasa begitu sulit untuk tetap bahagia ketika hanya ada mereka berdua? Kenapa mereka harus membutuhkan satu sosok lagi untuk mendapatkan kebahagiaan itu?

Ketika sosok ketiga itu datang, apa mereka benar-benar akan bahagia? Apakah keputusan Jeno dan Minju tentang itu, akan berakhir baik? Atau hanya akan membuat kedua pasangan itu semakin terpuruk?
















Ketika sosok ketiga itu datang, apa mereka benar-benar akan bahagia? Apakah keputusan Jeno dan Minju tentang itu, akan berakhir baik? Atau hanya akan membuat kedua pasangan itu semakin terpuruk?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Next…

Our Heart ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang