III

242 43 18
                                    

Seperti senja yang menjadi aksara di atas cakrawala.

Pulang bagai pitaloka yang tertutup dengan gawaian asmaraloka.

Bila kunjungan hatimu telah tertutup untukku.

Tuliskan sajak dalam kalimat cerita. Yang terdengar singkat, hingga aku tersadar akan kisah kita.

Litaniku yang bercampur dengan renjana, menengadah meminta pada nirwana.

Asaku yang mengharapkanmu, terjatuh pilu dalam lubang tak berarah.

Harapan serasa menarikku keluar.

Tapi justru tertampar kenyataan.


***

Sudah sejak satu jam yang lalu Sasuke menunggu permaisurinya datang untuk sarapan bersama. Senyum tipis masih belum luntur dari sudut bibirnya sejak kemarin.

Makanan yang tersaji sejak tadi berangsur dingin. Namun sosok yang sejak pagi ditunggu-tunggu masih belum menampakkan batang hidungnya.

Tak masalah. Sasuke bisa menunggu, selama apapun waktu yang di butuhkan permaisurinya untuk bersiap.

Dahinya mengernyit ketika pelayan yang ia perintahkan untuk melayani sang permaisuri datang tergopoh-gopoh menghampirinya. Bersujud di bawah kakinya memohon ampun.

"Mohon ampun, Baginda. Permaisuri Sakura tidak ingin sarapan satu meja dengan Yang Mulia. Permaisuri bahkan tak ingin keluar dari kamarnya."

Denyutan perih sejenak menghinggapi dadanya ketika mendengar penjelasan dari pelayan setengah baya tentang penolakan Sakura.

"Kalau begitu siapkan dua meja terpisah di kamar permaisuri. Dan bawa hidangan baru ke kamarnya. Aku akan sarapan disana."

"... Lagipula, permaisuri hanya bilang bahwa ia tidak ingin sarapan semeja denganku. Maka jika itu adalah meja yang berbeda. Kurasa tak masalah."

Dengan senyum tipis, Sasuke bangkit dan berlalu menuju kamar dimana Sakura berada. Ia mengetuk pintu kayu itu pelan. Dengan suara lembutnya ia memanggil nama yang sejak lama telah menjadi candunya.

"Permaisuriku, aku masuk."

Tanpa menunggu persetujuan dari sang pemilik kamar, Sasuke lekas membuka daun pintu di depannya. Menyaksikan para pelayan yang tengah menyiapkan tempat untuknya dan sang permaisuri untuk sarapan pagi. Ternyata mereka jauh lebih gesit dari yang Sasuke kira.

Tak perlu menunggu lama, persiapan untuk sarapan Yang Mulia Uchiha dengan permaisuri Sakura telah siap.

Sasuke tersenyum lembut. Lengannya terulur berharap wanita di depannya akan menyambutnya dengan senyum manis. Namun sejak awal, harapan adalah penyiksaan paling kejam.

Ekspektasi mengundang harapan yang besar. Namun realita mendatangkan kekecewaan yang setimpal. Maka dengan senyum getir, ia menarik lengannya yang sempat terulur kembali.

"Mari sarapan bersama, permaisuriku. Nikmatilah hidangan hangat yang ada di depanmu ini sepuasmu."

Senyum cerah kembali terpajang di raut wajah sang Uchiha. Tatapan lembut yang tersorot dalam manik oniks yang segelap malam.

Akan tetapi, hanya ada raut kosong yang terpasang dari lawan bicaranya. Manik hijaunya yang seindah batu emerald tak lagi bersinar cerah. Wanita itu justru memandang pria di depannya dengan tatapan kosong.

"Aku bukan permaisurimu. Aku masihlah permaisuri dari negeri Suna. Yang tengah tertimpa sial hingga harus menjadi tawanan perang."

Senyum cerah yang sebelumnya bertengger manis di sudut bibir Sasuke, perlahan memudar. Makanan yang dihidangkan di hadapannya tak lagi nampak nikmat. Hatinya terlanjur merasakan getir. Membuat tatapannya meredup sayu.

HiRAEThTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang