Pagi menjelang siang ini, toko roti milik ibu cukup ramai. Terbukti rak-rak penyimpanan roti semakin menipis, sudah tidak di ragukan lagi toko roti atau yang lebih di kenal dengan nama WG'bakery&cake itu diminati oleh pembeli. Karena rasa dan tekstur roti dan kue-kue yang begitu lembut dan memiliki cita rasa tersendiri.
Nama WG sendiri berasal dari nama mereka, 'Wardhana dan Giatri'.
Giatri tersenyum hangat, sesekali menyapa pembeli. Sudah kebiasaan untuknya menyapa karyawan dan pembeli atau sekedar mengontrol toko roti miliknya. Dan mungkin salah satu nya hari ini.
Ia termenung, pikiran nya kembali menerawang masa lalu dimana ia belum seperti sekarang. Menjajakan kue-kue di pasar sembari menggendong Dhana kecil, bahkan tak jarang mereka berdua basah kuyup kehujanan.
Semua perjalanan dan lika-liku hidupnya semenjak Dhana lahir, hanyalah berdua.
Tanpa topangan dari orangtua sanak kerabat, berat sama sekali tak di rasa. Selama ada Dhana semua terasa ringan.Air mata, dan keputus—asaan terbayar berkat tangisan kecil sang buah hati di malam itu, malam dimana putera nya pertama kali merasakan udara yang sama dengan nya.
Putera kecilnya, yang dulu sempat ingin di hilangkan oleh mereka. Nyata nya, ia adalah malaikat penolong dan kekuatan nya hingga sampai detik ini.
Giatri mengusap daerah pipi nya yang basah, tidak menyangka langkah nya sudah jauh. Memulai semua dari awal, hingga sampai—hari ini.
"Untuk semuanya, aku merasakan cukup. Selama dengan putraku semua akan terasa cukup"
—
Kata Dhana, cukup ada ibu maka semuanya akan merasa tercukupi. Ibu satu-satu nya keluarga yang Dhana milikki.
Sejauh ini hidupnya hanya di kelilingi ibu, teman-teman, sekolah, dan toko roti milik ibu.
Mereka bilang hidup Dhana monoton, tidak berwarna dan menjenuhkan. Tapi Dhana tidak perduli dan enggan meladeni. Tidak perlu menjelaskan serinci apa kehidupan kita, karena tidak semua orang mampu mengerti.
"everyone just wants to know, and that doesn't help at all"
Bukan sekali dua kali, Dhana mendengar orang-orang membicarakan nya.
Bahkan dahulu, bukan hanya kata verbal yang ia dapatkan melainkan fisik."Hei, aku boleh ikut main bola tidak?" Ujarnya, berlari kecil menghampiri teman-teman sebaya nya di lapangan kecil dekat rumah.
"Emangnya bisa?"tanya salah satu dari mereka yang jelas sekali terkesan angkuh.
"Iya, emang nya bisa? Kamu kan gak punya ayah. Emang bisa main bola kaya kita? Kalo kita sih jelas, kan di ajarin ayah kita" ujar anak lain dengan pakaian bola berlogo garuda. Dan langsung di angguki oleh beberapa anak lain.
Dhana kecil menunduk, memainkan jari jemarinya. Kemudian dia menatap mereka dengan senyum ceria nya, "Bisa kok, Dhana bisa main bola meski gak di ajarin ayah. Dhana bisa belajar sendiri tanpa harus ada ayah. Kata ibu Dhana mandiri" ucapnya dengan sekali tarikan nafas.
Kemudian setelah itu, Dhana merasakan kepala nya di lempar bola, bahkan tubuhnya di tendang oleh kaki-kaki kecil bersepatu itu. Dhana menangis, menutupi kepala nya dengan kedua tangan kecilnya.
"Ibu sakit, mandiri nyatanya tidak enak. Mungkin punya ayah jauh lebih enak"
"Ibu Dhana ingin punya ayah, tapi Dhana gak ingin membuat ibu nangis kalo Dhana bilang ingin ayah, ibu Dhana harus apa?"