Prelude

3 0 0
                                    

Aku adalah tokoh utama, diceritaku sendiri. Tokoh yang harusnya dipuja, melewati sekian derita dan berakhir bahagia. Tidak peduli seberapa berat, akan ada malaikat penolong. Mengulurkan tangan dengan senyum lembut yg memberikan harapan, I wish.

Nyatanya, malaikat itu tidak berwujud. Malaikat itu imaji yang kubangun demi bertahan. Malaikat itu adalah gambaran asa yang masih tersisa, yang hingga kini kupaksakan untuk tetap tinggal. Dengan berbagai cara, kubuat dia tetap tinggal, apapun harga yang harus ku bayar. Aku tau, setengah waras mengumpulkan akalku demi membayar harganya. Menyerahkan dengan suka rela sepotong demi sepotong kewarasan, yang makin lama makin menipis. Hampir habis. Apapun itu, kulakukan demi menjagaku tetap tegak.

Akulah sang protagonis yang sering merengek lelah, yang memaksakan langkah. Terdiam ditempat ini sungguh buruk, meski aku tidak tau kepastian yang ada didepan aku menyeret pelan kakiku. Tidak apa pelan, dengan ritme begitupun aku sudah menguras tenagaku. Mempertahankan sedikit kewarasan dalam ketidakpastian, kita semua melakukannya kan?
Aku main lead, yang melihat rumput tetangga sebelah lebih hijau, lebih hidup dan lebih subur. Tidak tau seberapa belatung yang tersimpan dibawahnya, mungkin lubang menganga yang ditimbun tipis. Semua memang benar kan? Rumput tetangga selalu lebih hijau.
Aku juga tokoh antagonis, untuk kisah milik yang lain. Figuran bagi kisah orang lain. Berperan jahat, pengacau rencana yang mereka susun. Lalu menjadi mutlak kesalahanku. Sedangkan aku sama nelangsanya.

Bukan menjadi satu-satunya yang terluka membuatku bias, apakah aku yang benar paling salah? Apakah aku benar pengacau? Apakah aku seharusnya tidak begitu?
Seandainya aku tidak masuk dalam cerita itu. Seandainya aku melewatkannya. Seandainya aku tetap teguh pada diriku. Seandainya dan seandainya yang terus berlarian dalam pikiranku tidak mengubah apapun, hanya membuat penyesalanku semakin menggunung. Membuat aku terperosok lebih jauh. Apakah ada kesempatan kedua? Ya, tapi tidak dengan waktu yang sama. Aku harus memaksa kaki-kakiku bangkit, memaksanya kuat berdiri dan mencari jalan keluar. Tetap melanjutkan perjalanan yang entah aku sampai dimana. Disini, aku menemukan pada akhirnya aku terpaksa dan akan menjadi baik-baik saja.

Memoar BayangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang