Langit begitu kelam. Hitam tanpa ada bintang maupun bulan yang menghiasinya. Malam begitu sunyi dari binatang malam. Angin berputar-putar gelisah. Pohon dan rerantingan seakan ikut bisu. Alam seakan membaca, akan ada kejadian besar yang suatu saat akan mengoyak kehidupan saksi matanya.
Hanya suara manusia yang berdengung dalam gerombolan kecil. Ada sekitar 20 orang saling berbisik mempertanyakan apa yang terjadi.
Tak lama kemudian, seorang wanita berambut digelung menyentuh bahunya, dia mengenakan gaun panjang dengan lengan panjang berwarna hitam. Tubuhnya lemah dengan tangan terikat ke belakang, dia digelendang oleh beberapa lelaki.Bakar penyihir itu! Bunuh dia!” suara teriakan-teriakan di sela nyala obor serempak tanpa ada yang mengkomando.
“Dasar pembunuh sialan!” celetuk yang lain dengan nada keras
“Wajahnya saja cantik, tapi hatinya busuk, dia membunuh orang dengan ilmu hitamnya!” umpat seseorang dengan penuh kemarahan.Mata Nawang tak mampu terbuka lebar. Buram meyelimuti kedua bola matanya. Dengan tubuh terikat dan ditarik-tarik beberapa lelaki, dia seakan pasrah tak bisa melawan kekuatan yang tengah menguasainya. Badannya terhuyung-huyung dan beberapa kali nyaris jatuh karena setengah diseret dan dipaksa jalan.
“Tidak, saya tidak membunuh siapa-siapa!” teriaknya lemah di sela suara-suara yang menghujatnya.
“Pembohong!”
“Penipu!”
“Bunuh saja penyihir itu!”Buuuug! Buuug! Buuug! Beberapa batu tanpa ampun mengenai pelipisnya hingga berdarah. Tanah basah pun dilemparkan sehingga menodai pipinya yang bersih. Dia hanya bisa pasrah dan menangis dalam hati saja.
Duh, Gusti mengapa Engkau biarkan mereka memfitnahku, menghakimiku, dan menghinakanku sedemikian, seakan ku adalah seorang pesakitan! Tangisnya dalam hati tanpa suara isakan.
Airmatanya berlinangan membasahi pipi bercampur dengan darah yang menetes dari pelipisnya.Duh, Gusti bagaimana anak-anakku! Duh, Gusti selamatkanlah hamba-Mu ini! erangnya dalam hati putus asa.
Setibanya di pohon besar nan tua, tubuhnya diikat kuat-kuat. Matanya menangkap beberapa sosok tengah menimbun kayu bakar di hadapannya. Rasa putus asa menderanya. Hatinya pedih harus menerima semua perlakuan ini. Dia pun berkonsentrasi. Dalam hening yang diciptakannya dia memanggil seluruh prewangan hutan dan dedemit yang gentayangan di tanah penuh pohon meranti itu. Menyatukan hatinya untuk meminta pertolongan mereka untuk membalaskan dendam dirinya suatu saat kelak.
Api pun dinyalakan. Jilatannya begitu panas menyentuh batang tubuhnya. Sekilas masih didengarnya teriakan Revano, anak bungsunya itu, menangis memanggil-manggil namanya. Ingin berlari mendekat dan memeluknya tapi tak ada kekuatan yang bisa membuatnya melakukannnya.
Dia pun kembali berkonsentrasi dan tak lama kemudian terdengarlah dendang nyanyian jawa dari mulutnya, “Wanadri, Wiyati lan Udaka ingkang wilasita bathih kulo. Kulo nyuwun dihaturaken minasraya marang widyuta, bayu lan agni ingkang saget minulya pranala kulo ingkang sampun dados bathang. Sedoyo mustaka lan getih saget dados tumbalipun upadrawa punika. Mugi-mugi wilapa lan duhkitawara punika dados tembang ing rina wengi, panjenengan sedoyo badhe suwan marang yamadipati, badhe suwan marang yamadipati.. (Hutan rimba, langit, dan lautan penghibur hatiku, saksi segala penderitaanku. Aku meminta tolong sampaikan pada petir, angin, dan api agar aku dimuliakan walau aku berupa Maya. Semua kepala dan darah menjadi tumbal tombo kesedihanku. Jadikanlah syair dan cerita tentang duka-lara ini sebagai nyanyian penghantar bagi kalian ketika akan menemui sang malaikat kematian, ketika akan menemui sang malaikat kematian.)"
Sontak semua terdiam. Sunyi seakan merambah mereka. Angin berhenti berdesir lalu menderu perlahan, begitu seterusnya. Seakan alam turut bergolak menyaksikan kengerian yang akan terjadi malam itu. Sebagian dari mereka mulai merasakan ketakutan. Sebagian yang lain bimbang dengan perbuatan mereka.
“Dengarlah kalian, hari ini aku akan mati, tapi kelak aku akan menuntut balas akan perbuatan dzalim kalian kepadaku! Ingatlah bahwa karma itu ada. Kalian semua akan merasakan apa yang kurasakan, mati yang mengerikan, kehilangan orang yang kalian sayangi. Aku akan kembali dan memaksa kalian membayar setiap airmata derita yang kurasakan. Ingatlah nyanyianku, itu adalah tembang terakhir sebelum kematian yang mengenaskan menimpa kalian!” ancam Nawang dengan suara lantang diikuti suara lengkingan yang berasal dari kegelapan hutan dan pucuk-pucuk pohon yang tinggi melambung di angkasa. Entah mahkluk apa yang tengah menjerit seakan mengamini kata-kata sumpah dari Nawang.
“Wanadri, Wiyati lan Udaka ingkang wilasita bathih kulo. Kulo nyuwun dihaturaken minasraya marang widyuta, bayu lan agni ingkang saget minulya pranala kulo ingkang sampun dados bathang. Sedoyo mustaka lan getih saget dados tumbalipun upadrawa punika. Mugi-mugi wilapa lan duhkitawara punika dados tembang ing rina wengi, panjenengan sedoyo badhe suwan marang yamadipati, badhe suwan marang yamadipati..” Suara lembut Nawang Jatiasih kembali mengalun, kali ini terasa bagai sembilu yang siap menghujam jantung dan mengakhiri hidup seseorang.
Usai dia mendendang, sebuah getaran bergerak halus menyebar ke sekeliling. Bak mengingatkan mereka bahwa suatu saat wanita cantik itu akan datangMata Nawang terpejam. Terdengar raungan-raungan yang mengerikan disertai keluarnya bayangan-bayangan hitam yang melesat cepat dari tubuhnya menuju ke arah kelamnya hutan. Prewangan yang selama ini mengendap dalam tubuhnya telah kembali ke asalnya, bersama dengan kematian sang pemiliknya. Mungkin bersama ruh si empunya jasat itu juga. Gelora api itu membumihanguskan wanita yang sering menyembuhkan, kini dianggap sebagai penyihir ilmu hitam yang harus dilenyapkan. Ya tapi hanya tubuh saja, nyawanya sepertinya telah berhasil meloloskan diri menyatu dengan para prewangan hutan itu.
Satu per satu orang menyingkir dari tempat itu tanpa kata, tanpa pamitan. Tinggallah beberapa lelaki yang saling berbisik membicarakan kejadian baru saja terjadi.
“Tenang saja, kalian terima beres sajalah, aku yang akan bicara pada pihak berwajib nanti!” kata Leo menghentikan perdebatan sambil mengajak rekan-rekannya itu pulang meninggalkan api yang masih menyala menjilati tubuh Nawang yang sudah tak bernyawa itu.Tubuh itu telah habis oleh lalapan si jago merah, yang tersisa hanyalah debu yang bercampur dengan tanah. Yang tersisa adalah aroma anyir yang bercampur dengan udara malam.
Malam itu beberapa orang gelisah tak mampu memejamkan mata, mengira-ngira apa yang bakal mendatangi mereka esok lusa. Tapi ketakutan itu hanya bertahan seminggu dua minggu. Mereka sudah merasa aman, mengira mereka akan lolos dari rasa dendam. Mereka mengira kutukan itu tak ada, hanya ancaman kosong belaka. Mereka tak tahu sesuatu sedang menunggu mereka beberapa tahun kemudian, ketika mereka telah melupakan kejadian itu.
##
KAMU SEDANG MEMBACA
The Shaman
Mystery / ThrillerTentang kisah dendam di masa lalu seorang anak bernama Revano. Dimana di masa kanak-kanaknya dia dan kakaknya Evans harus menyaksikan ibunya meninggal dengan dibakar hidup-hidup. Revano pun bertekad untuk memberikan mantera kematian berantai bagi se...