keping 2

0 0 0
                                    

Lima belas tahun berlalu....

Selempang jingga bak membelah birunya langit. Bilur-bilur sang senja menapaki langit semakin lama semakin memasti. Angin semilir meniupkan aroma beku, pertanda pergantian waktu siap dimulai. Sore akan usai berganti dengan kelamnya malam.

Burung-burung berkoak berlarian, hendak mendekam di dalam sarangnya, menyongsong datangnya sang petang. Alam begitu damai, tenang dan hangat di kota kecil bernama Kota Awang Balaitok, somewhere place unknown in Borneo.

Sebagian besar orang memilih bercengkrama di beranda teras dengan segelas teh dan camilan. Sebagian yang lain sibuk mempersiapkan makan malam. Atau menonton acara televisi di ruang keluarga. Atau menikmati senja tertimpa di kemilau sungai di pinggiran hutan. Yaaa… menikmati sungai adalah pilihan teratas muda-mudi di kota ini. Sungai buatan yang jernih itu sebagai saksi bisu ikatan janji yang terucap dari bibir muda.

Tapi tidak sore ini, seakan sebuah firasat buruk tersirat di balik kesyahduannya. Hanya dua orang remaja duduk di batang pohon yang tumbang, di pinggir sungai. Lelaki itu mengenakan pakaian serba hitam, tshirt-celana hitam, penampilan gothic-nya dengan tato gambar harimau siap menerkam di lengan kanannya. Sedangkan tato di pipi kanan menjalar hingga ke leher jenjangnya adalah gambar ular berkepala tiga, satu kepala di pipinya, satu kepala di dagunya dan yang lain di lehernya.

Di sebelahnya, seorang gadis cantik berambut cepak menikmati suasana itu dengan menyandarkan kepala di bahu kekasihnya. Mereka membisu, hanya kedua tangannya saja saling bertautan begitu erat, seakan takut terpisahkan begitu senja digulung oleh raja gelap.

Lelaki itu bernama Revano atau biasa disapa Vano. Sedangkan gadis di sebelahnya bernama Rere Revita. Kedua sejoli itu baru tiba kemarin dari Jakarta, tempat keduanya menjalani bangku kuliah. Sore ini sore kedua yang mereka nikmati di tepi sungai. Terasa begitu nikmat bersahabat dengan alam, dimana ketenangan dan kedamaian ini tak mereka temui di sela hiruk-pikuk Kota Metropolitan. Kemarin, bermaksud memberikan kejutan keindahan alam, Rere malah dikejutkan oleh Revano yang menapaki jalan-jalan setapak itu dengan mudah seakan telah lama mengenal daerah itu.

“Vano, udah pernah kemari?” tanyanya keheranan.
“Pernah.”
“Oya? Kapan?”
“Di alam mimpi,” Revano nyengir.
“Ah, Vano… Tapi kamu kok hafal jalan menuju ke sungai?”
“Kan, ada jalan setapaknya, Sayang. Tinggal kita ikuti sampai deh!” Rere manggut-manggut setuju.
“Aku aja yang orang sini gak begitu hafal jalanan ke sini, soalnya emang gak dibolehin Papa main ke hutan apalagi sungai. Takut tersesat dan hanyut terbawa arus alasannya.” Revano manggut-manggut.
“Hebat sih Vano pertama kali kemari dan langsung bisa menebak ada jalan setapak ini segala.”
“Biasa aja Sayang, mengikuti kata hati aja. Hey lihat, kita sudah sampai, airnya jernih ya?” kata Revano mengalihkan pembicaraan sambil menarik lengan Rere mempercepat langkahnya mencapai bibir sungai, mereka pun duduk di salah satu batu besar di pinggir sungai. Menikmati udara yang masih segar. Merasakan belaian angin yang semilir. Mendengarkan gemericik air yang mendamaikan. Membiarkan kaki-kaki telanjang mereka bermain dengan sejuknya air bersih. Menunggu senja bergulir, menggantikan terang menjadi gelap malam.

“Papamu overprotektif, ya?” tanya Revano memecahkan kesunyian.
Rere mengangguk.
“Kamu anak tunggal sih, jadi takut kehilangan. Main ke hutan dan sungai dengan teman-temanmu saja tak boleh?”
“Iya apalagi dulu desas-desusnya, ada penyihir jahat yang suka menculik anak-anak untuk dijadikan tumbal kekuatannya.”
“Penyihir jahat? Menculik anak-anak? Tumbal?” Dahi Revano berkerut, matanya menatap Rere tajam.
“Iya begitu kabar yang beredar, dia ada sejak aku masih kanak-kanak. Penyihir jahat itu memang sudah dibakar hidup-hidup, tapi Papa masih suka takut.”
“Siapa yang mengatakan hal itu? Papamu?”
“Semua orang mengatakannya. Tapi aku dengar dari Papaku.” Revano geram tanpa sengaja dia meremas keras jemari Rere.
“Sakit Vano…” rintih Rere.
“Maaf… Maaf…” Revano menarik jemari Rere dalam genggamannya, menciumnya beberapa kali lalu membelainya sebagai ungkapan maaf.
“Apa ada yang salah dari ucapanku?”
“Enggak kok, Sayang.” Revano tersenyum kecut.
#

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 04, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The ShamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang