5

231 20 1
                                    

"Jadi kedatangan pak Jeka kesini karena itu?"

Kedua kompak menoleh ke arah sumber suara, rautnya tak bisa di deskripsikan yang pasti bisa kita rasakan Lis sangat terkejut atau mungkin tidak.

Ibu sontak bangkit dan berjalan menghampiri Lis yang masih diam tak bergeming.

Suasana tampak canggung sesaat, sebelum ibu buka suara kembali.

"Lis, sejak kapan kamu di situ. Ikut ibu ya ke kamar ibu mau ngomong," ajak ibu dan menggenggam bahu Lis yang sedikit bergetar.

"Kenapa ibu nerima kedatangannya? Bukan apa Bu kedatangannya yang tiba tiba gini dengan niat begitu tanpa sepengetahuan Lis,"

Lis tak ingin melanjutkan ucapannya, ia lebih memilih pergi menuju ke kamarnya. Ibu berniat pergi menyusul namun pintu kamar tersebut sudah tertutup rapat.

Jeffrey berjalan mendekati ibu, "Nggak apa apa Bu, wajar biarkan Lis sendiri untuk mikir gimana nanti ke depannya,"

Ibu mengangguk dan mengusap wajahnya, "Maksud bude bukan gini, Jeff." Ibu memijat pangkal hidungnya.

"Biarin Lis sendiri aja bude, dia masih kaget karena ajakan itu. Dengan itu, Lis bisa berfikir jernih."

Ibu menghela nafas pelan dan tersenyum, "Iya, makasih ya Jeff."

"Nggak usah makasih gitu, bude. Sekarang udah larut bude lebih baik tidur."

"Iya Jeff. Kamu juga tidur besok hari pertama kamu kerja jangan sampai kurang tidur." Jeffrey mengangguk mantap dengan senyuman yang menimbulkan lesung pipi manis untuk di lihat.

"Iya bude, bude juga." Ibu pergi dan Jeffrey menutup pintunya pelan.

Dengan langkah gontai, ia berjalan menuju ranjangnya. Jeffrey membaringkan tubuhnya dengan tatapan fokus menatap langit kamarnya.

"Ya Allah, jadi ini caramu untuk menghapus perasaan ini?" lirihnya dengan memejamkan matanya.
























Di sisi lain, Lis masih termenung di tepi ranjangnya. Mendengar kabar ajakan ta'aruf dari pria itu yang selalu mengganggunya setiap hari?

Dari awal, memang ucapannya aneh dan Lis tak terlalu menggubrisnya lantaran aneh saja. Tapi kok didiemin malah ngelunjak?

Lis menjatuhkan tubuhnya dan berteriak tanpa suara, "Kenapa harus dia si," gumamnya tertahan.

Lis terdiam sebentar, kemudian bangkit keluar dari kamarnya menuju kamar Jeffrey.

Ia menghembuskan nafasnya pelan, dan mengetuk pintu bercorak kerajinan itu. Tak lama berselang, pintu tersebut terbuka menampakkan Jeffrey yang tampak masih terjaga.

"Belum tidur?" Lis menggeleng.

"Mau masuk," pintanya dengan raut wajah memelas.

Jeffrey mengernyit dan menghalangi Lis yang hendak memasuki kamarnya, "Ngapain? Sana tidur udah larut."

Lis berdecak sebal, "Iiisss mau curhat, Jeff. Gimana perasaan kamu?"

"Perasaan apa?"

"Kamu kira aku nggak tau, udah ah mau masuk." Lis menerobos tubuh tegap Jeffrey dan berlari kecil menuju pinggir ranjang.

"Curhat bisa besok, nggak harus di sini dan malam ini." Lis berdesis pelan.

"Aku tau ya tentang perasaan kamu, jangan sok tegar. Ya walaupun aku nggak ada rasa itu ke kamu," ucapnya tanpa di filter.

Lis menggantungkan kalimatnya dan melirik sedikit Jeffrey yang masih berdiri jauh darinya.

"Kenapa ibu harus cerita ke kamu, akunya jadi nggak enak." Jeffrey terkekeh pelan dan duduk tepat di samping Lis.

"Nggak apa apa, mau ngomong apa?"

"Aku udah ada keputusan, dan aku bingung mau gimana ngomongnya ke ibu," Jeffrey memasang tampang kaget.

"Edan! Secepat itu?" Lis mengangguk mantap membuatnya tak habis fikir.

Jeffrey meringis pelan melihat tingkah laku sepupunya ini, "Jangan nggak enak gara gara bude cerita Lis, mau apapun perasaan di antara kita-"

"Stop! Ini bukan karena kamu ganteng, tapi dari awal aku emang nggak suka sama orangnya." Lis meremas gamis yang di kenakannya dengan kuat.

"Karena kamu belum kenal terlalu dalam sama orangnya, pikiran juga perasaan orang terutama bude." tuturnya pelan.

"Jadi kamu maksa aku buat nerima gitu?"

"Iya,"

Lis berdecak sebal dan melempas bantal yang ada di sampingnya ke arah wajah Jeffrey.

"Lupain, gimana perasaan kamu?"

Jeffrey mengernyit pelan, "Jangan di pikirin. Udah malem sana turu." usirnya halus.

Lis menghela nafas pelan dan kembali berucap, "Kalau misalnya perasaan kamu terbalaskan gimana?"

Jeffrey diam, Lis menaikkan sebelah alisnya seraya tersenyum aneh.

"Tidur, besok aku kerja." Jeffrey segera merapikan ranjangnya dan membaringkna tubuhnya.

Lis berdecak pelan dan memilih untuk pergi dengan menutup pintu kamar Jeffrey kuat hingga menimbulkan suara yang keras.

Jeffrey hanya menghembuskan nafasnya dan memilih untuk tidur tanpa memikirkan pertanyaan Lis tadi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 31 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Duda Jeka [Discontinue]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang