Potluck!
Ziya membaca sebuah papan nama kecil yang terbuat dari kayu dengan ukiran kata Potluck di atasnya. Sebuah papan nama kecil yang tergantung di dinding bagian atas pintu kayu sebuah kedai kopi kekinian milik Gevan sahabat masa kecil Ziya.
Potluck, hanya berupa bangunan kecil yang berada di sudut perempatan jalan.
Sebuah lokasi yang menarik menurut Ziya. Dari dalam kedai kopi ini, ia bisa melihat toko-toko yang berada di seberang jalan atau hanya sekedar memperhatikan para pejalan kaki yang tengah menyeberang dengan berbagai macam gaya dan penampilan.
Berbagai macam manusia dengan berbagai macam emosi yang tergambar jelas dari wajah mereka.
Anak-anak sekolah dengan seragamnya, para pekerja kantoran, para Ibu dengan anak balitanya, para penjual makanan atau minuman ringan yang menjajakan dagangannya di emperan toko atau para pengamen yang selalu bernyanyi setiap kali lampu merah menyala.
"Lo yakin mau kerja di Potluck?" tanya Gevan kala itu yang langsung dibenarkan Ziya dengan menganggukkan kepalanya berkali-kali.
"Udah bilang sama Ayah?" tanyanya lagi dan seperti tadi, Ziya langsung mengiakan dengan cepat.
"Beneran boleh sama Ayah lo yang posesip banget sama anak gadisnya itu?" Gevan menatap Ziya dengan tatapan menyelidik seakan tidak yakin dengan semua perkataan Ziya.
"Boleh, Gev! Boleh!" Ziya memutar bola matanya kesal. "Nggak percaya banget, sih, sama gue."
"Jelas nggak, Zi," Seringai Gevan yang membuat Ziya hanya bisa menghentakkan kakinya dengan kesal.
"Lo tuh ibarat perangko sama amplop dengan Ayah. Saking lengketnya, lo sama Ibun suka rebutan Ayah, kan? Ngaku lo!"
Ziya meringis saat mengingat kembali percakapannya dengan Gevan. Butuh waktu dua bulan penuh bagi Ziya untuk meluluhkan hati Ayah dan mengizinkannya pergi meninggalkan Bandung menuju Jakarta. Meninggalkan semua orang yang begitu mencintai dan menyayanginya. Ayah, Ibun dan kedua Abang tersayang Ziya.
Dan sekarang di sinilah ia berada. Di Jakarta, tempat ia akan memulai kembali kehidupannya. Tempat di mana Ziya berharap bisa sedikit mengobati hatinya dari luka.
Luka yang entah kapan sembuhnya.
Lalu pagi ini, tepat dua bulan sudah Ziya berada di kota ini. Dan selama dua bulan ini jugalah ia selalu melihat pria itu. Pria tampan yang selalu duduk di tempat yang sama setiap harinya. Pria dengan pandangan mata yang begitu kosong dan sendu dengan raut wajah yang tanpa emosi seakan hidup sudah tidak berarti lagi.
Pandangannya tampak menerawang jauh sambil menatap ke satu titik. Ziya tidak yakin apa yang pria tersebut lihat, toko kue yang berada di seberang jalan, pohon tinggi dengan dedaunan yang rimbun, atau kendaraan yang berlalu lalang di jalanan di depannya.
Apakah pria itu sedang menunggu seseorang? Mungkinkah seseorang itu adalah kekasihnya? Tapi kenapa kekasihnya tidak pernah datang? Semua pertanyaan yang selalu muncul di benak Ziya.
Pria tampan itu selalu tersenyum setiap kali Ziya mengantarkankan pesanannya. Hanya sebuah senyum tipis yang lebih mirip seperti ringisan dari seseorang yang tengah menahan kesakitan di sekujur tubuhnya.
Dan satu hal yang selalu membuat perasaan sedih tiba-tiba menyeruak di hati Ziya adalah sorot matanya. Sorot mata yang selalu menatapnya tanpa cahaya. Kosong dan begitu redup. Pekat dan penuh luka.
Dalam tatapan pria itu, Ziya seakan melihat dirinya sendiri yang sedang terluka. Pria tampan itu benar-benar menggambarkan sosok dirinya saat ini.
Berusaha untuk tersenyum tapi penuh luka di dalamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekelumit Kisah di Suatu Senja
Short StoryIni hanyalah sekumpulan kisah pendek yang ditulis saat tubuh terasa lelah tapi pikiran terus bekerja. Hanya sebuah coretan ringan yang mungkin saja bisa jadi penghiburan buat sebagian orang. Tidak melulu soal cinta, bisa jadi tentang sebuah luka, k...