"Hujan, Bang."
Nadine mengarahkan telunjuknya ke kaca mobil yang mulai basah oleh titik-titik air hujan. Cuaca yang beberapa saat lalu begitu terik tiba-tiba saja berubah menjadi mendung, dan dalam sekejap rintik hujan mulai turun setetes demi setetes.
Dulu, aroma khas yang tercium dari tanah yang basah di kala hujan selalu menjadi aroma terfavoritnya. Namun semenjak ia mengenal lelaki ini, hanya aroma mint segar yang menguar dari tubuh lelaki yang sangat ia cintai inilah yang paling ia sukai. Dan tentu saja, Pelukan lelaki inilah yang akan selalu ia rindukan.
Duduk menyamping di pangkuan Nathan dengan berbantalkan dada bidang lelaki tersebut, dan sambil memeluk erat sebelah lengannya, Nadine memandangi setiap tetesan air hujan yang jatuh membasahi kaca jendela. Kedua kakinya tampak kompak bergerak ke kanan dan ke kiri mengikuti alunan lagu yang mengalun indah sementara hidungnya sibuk mengendusi dada Nathan.
"Abang kenapa bisa wangi terus, sih? Mau abis nukang juga tetep aja wangi padahal udah banjir keringat. Heran, deh."
Lagi, Nadine berbicara tanpa menyadari kalau lelaki yang ia ajak bicara saat ini sudar tertidur lelap sambil mendekapnya.
Nadine kembali menggesek-gesekkan hidungnya sambil mengingat-ingat kehidupannya beberapa tahun yang lalu. Tahun-tahun di mana di setiap lembar dari kisah hidupnya hanya terisi dengan coretan-coretan kecil, dan bahkan ada lebih banyak lembar yang masih kosong. Namun semuanya berubah setelah ia bertemu dengan Nathan Abhimana Putra.
Nathan, lelaki luar biasa yang telah membuat lembaran-lembaran yang tadinya kosong mulai terisi penuh oleh berbagai macam kisah, dan dengan berbagai macam warna. Lalu dalam sekejap mata, dan tanpa disadari olehnya, di dalam tubuh Nadine tumbuh sebuah rasa yang semakin lama semakin membesar.
Lelaki ini miliknya. Dada bidang ini kepunyaannya. Dan pelukan hangat ini adalah tempat ternyaman sekaligus teramannya.
"Abang ..." Nadine kembali memanggil. Hening. Tidak ada sautan terdengar, dan Nadine sontak menengadah. "Abang tidur?" Lembut jari jemarinya bergerak mengusap pipi Nathan, dan seketika kekesalannya sirna begitu melihat kedua bola mata kecoklatan itu sudah terpejam sementara bibir tipisnya yang berwarna kemerahan karena tidak pernah terpapar nikotin tersebut kini tertutup rapat. Telapak tangan Nathan bahkan sudah tidak lagi mengusap punggungnya.
"Abang Nathan ..." Nadine berbisik lirih, dan spontan, senyum mencurigakan terlukis di sudut bibirnya.
Bergerak sepelan mungkin, dan setelah memastikan kalau lelaki tersebut masih tertidur nyenyak, perlahan-lahan Nadine mulai mengeser kedua kakinya. Sambil berpegangan pada sandaran kursi, Nadine sedikit mengangkat tubuhnya kemudian dengan sangat hati-hati duduk di pangkuan Nathan dengan kedua kaki yang mengapit paha lelaki tersebut.
Lagi, matanya menjelajah ke seluruh wajah Nathan selagi jari jemarinya bergerak lembut merapikan helaian rambut yang jatuh di kening lelaki itu. Dan tatkala kedua matanya melihat sesuatu dengan sangat fokus dan penuh perhatian, secara mengejutkan Nadine baru menyadari -setelah sekian lama- betapa tampan lelaki ini.
Dan setelah puas mengagumi wajah Nathan, ujung telunjuknya mulai bergerilya menelusuri alis, lalu turun ke hidung, pipi, dan terakhir bibirnya yang kemerahan.
Nadine terkekeh. Seketika ia teringat ucapan Lalang tempo hari.
"Mas Kafka, tuh, kenapa makin hari makin ganteng, ya. Lo tau nggak, Nad sekarang gue jadi punya hobi baru. Mandangin wajah Mas Kafka pas lagi tidur."
Dan Nadine ingat kalau ia dan Beben kompak saling berpandangan kemudian serentak berteriak.
"Dasar bucin ...!!!"
![](https://img.wattpad.com/cover/293143490-288-k385054.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekelumit Kisah di Suatu Senja
Short StoryIni hanyalah sekumpulan kisah pendek yang ditulis saat tubuh terasa lelah tapi pikiran terus bekerja. Hanya sebuah coretan ringan yang mungkin saja bisa jadi penghiburan buat sebagian orang. Tidak melulu soal cinta, bisa jadi tentang sebuah luka, k...