Liya (1)

32 2 0
                                    

Semesta sedang menangis malam itu. Memuntahkan segala kesedihan, yang tidak lagi sanggup untuk dipikul. Hujan seperti sedang mengamuk, melampiaskan seluruh amarahnya pada seluruh kota. Kilat menari-nari menghiasi langit, seakan berlomba siapa yang bisa bersinar paling terang, dengan detuman yang paling besar. Membuat kota terasa mengerikan. Pemandangan yang sangat indah, langit terus dihiasi warna-warni yang silih berganti. Tapi, sepertinya orang-orang tidak tertarik untuk melihatnya, malah berlarian masuk kedalam rumah, mengunci pintu, menutup tirai-tirai dan berlarian kedalam kamar masing-masing membungkus diri mereka dengan selimut.

Dibawah badai hujan yang sepertinya tidak ingin dihentikan, seseorang tidak peduli, ia terus berjalan, memacu motornya, membelah seluruh jalan dengan tenang. Tidak ada kecepatan tinggi untuk menghindar, tidak ada menepi untuk berlindung atau sekedar untuk memakai mantel hujan. Ia menikmatinya. Hujan adalah sahabat yang selalu dirindukanya. Ditunggu, dinanti, seperti sahabat yang pergi jauh dan selalu berjanji akan kembali.

Liya. Gadis berusia lima belas tahun, dengan mata terus memandang kedepan, ia tidak peduli pada orang-orang yang tergopoh-gopoh sibuk untuk menyelamtkan diri dari derasnya hujan. Hujan adalah temannya. Sahabat yang selalu ia nanti kehadirannya. Maka, tidak ada alasan untuk menghindari badai yang sedang berteriak murka ini.

Liya senang berjalan-jalan tanpa tujuan, hanya sekedar untuk menikmati angin yang berhembus, dengan lembut membelai wajahnya. Lampu-lampu kota yang berbaris, hiruk-piruk jalanan yang ramai, pengemudi yang terkadang egois untuk menguasai jalanan. Ia tidak pernah terganggu dengan itu. Ia benci kesepian, benci keheningan, sesuatu yang terus membawanya terbang jauh kedalam sakit yang tidak bisa diobati. Lalu, dengan lancang meninggalkan bekas luka yang menjijikan, menganga, dan terlihat menyedihkan.

TIN!

Sejak kapan ada mobil dibelakangnya? Liya tidak sadar atau orang itu yang buta? Liya sudah berjalan di tepi, dibagian jalan yang benar, kecepatannya rata-rata bahkan hampir pelan. Apakah orang itu tidak lihat?!

Liya membelokkan stang motornya segera, melemparkannya kesembarang arah. Ia jatuh terduduk diatas rerumputan yang hanya bisa diraba. Disini sedikit gelap, lampu jalan diseberangnya sedikit meredup membuat pencahayaannya tidak mengenai area ini.

"Aduh.. Sakit sekali. Sialan orang itu. Mentang-mentang pakai mobil tidak lihat apa ada orang?!"

Liya memberdirikan motornya. Mengelap jok motor yang basah terciprat lumpur.

"Ini tandanya aku sudah harus pulang," Liya menyalakan motornya,"oke sayang. Ayo kita pulang."

Liya kembali membelah jalananya yang tampak lengang. Mengendarai pelan kendaraanya. Jalan sudah tidak selengang tadi. Badai sudah pergi, orang-orang kembali melanjutkan perjalanan mereka. Seperti kesetanan, takut tidak kebagian sembako mereka mengendarai kendaraan mereka seperti orang gila. Seolah hujan membuat seluruh janji temu mereka terlambat dan harus bergegas sebelum orang penting itu membanting gelas di restauran dan pergi tanpa sebuah kesepakatan.

Liya tidak benar-benar pulang kerumah ia akan singgah sebentar untuk membeli makanan yang hangat. Setelah mandi hujan, apa lagi yang lebih enak dari menyeruput kuah dari mangkuk dengan asap yang mengepul?

***

Bulan purnama sedang berdiam diri ditengah luasnya hamparan langit yang dipenuhi kerlip-kerlip, sendiri, sepi, dan terasing. Tidak peduli ribuan bintang yang seperti mengejek, riuh seakan berbisik dengan menampilkan kilaunya masing-masing. Ia hanya datang untuk menyelesaikan tugasnya, berharap pagi cepat datang secepat ia pergi tanpa saling menyapa.

3¹=3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang