Liya (2)

17 1 0
                                    

"Anin!" Liya memanggil temannya."Kamu sudah mengerjakan Pr yang semalam?"

Orang yang tengah sibuk menulis itu menoleh,"Kamu tidak lihat?"

"Lihat apa?"

"Ini aku lagi mengerjakan Pr, Liya!" Anin kembali menoleh pada buku dihadapannya. Menyalin jawaban yang ntah punya siapa, terburu-buru.

"Eh aku lihat dong, tunggu sebentar." Liya bergegas mengeluarkan buku tugasnya, lantas ikut terburu-buru mengerjakan.

"Harusnya kita mengerjakan Pr itu dirumah tahu, Liya." Anin membuka obrolan ketika kedua tangan dan matanya sibuk menyalin jawaban-jawaban.

"Kalau kamu tahu, kenapa kamu masih mengerjakannya disekolah, Anin?!"

"Karena aku menganggap sekolah adalah rumah, rumah adalah sekolah." Liya memutar matanya malas. Temannya ini ada saja jawabannya.

"Soalnya suasananya sama. Sama-sama bikin pusing."

"Iya-iya terserah kamu, Nin." Liya pusing menghadapi manusia sejenis Anin yang tidak berhenti berbicara. Ditambah lagi ia kesal dengan sekolahnya ini. Bisa-bisanya pembaruan jadwal dilakukan dalam semalam. Pr yang seharusnya dikumpul minggu depan jadi harus dikumpul hari ini karena bertemu jadwal mata pelajaran yang sama.

"Tapi, kita dosa tidak ya kala-"

Kringg!

"Anin, Diem!" Liya membekap mulut temannya yang asik mengoceh dengan kedua tangan."Kamu itu! Aku belum selesai. Diem dulu, bel sudah bunyi, paham?!"

Anin mengangguk-nganggu kecil, tangannya memukul tangan Liya yang masih membekap mulutnya."Awas ih tangan kamu bau!"

"Enak saja!"

Liya mengerjakan Prnya dengan secepat kilat. Tapak sepatu sudah mulai terdengar dari lorong kelas, layaknya suasana horor jantung Liya berdetak lebih cepat, tangannya yang memegang pena tergelincir karena basah oleh keringat. Hari ini guru yang mengajar dikelas adalah guru killer katanya, tidak mentoleransi apapun mengenai tugas yang buat disekolah.
Lagi-lagi katanya loh ya.

Tepat sebelum guru berada diambang pintu, Liya sudah bernafas lega, bergegas menutup bukunya dan membereskan meja dihadapannya. Guru itu berdehem membuat Liya menyengir, menunjukkan deretan giginya.

"Pagi, bu." Sapa Liya canggung.

Guru itu melihat Liya dari ujung kaki hingga ujung kepala,"Kamu baru selesai mengerjakan, Pr?"

"Oh, tentu tidak, bu. Saya murid teladan kok."

"Awas kalau kamu bohong. Sana duduk!"

"Baik, Bu!" Liya berlari kecil menuju tempat duduknya. Berdekatan dengan guru killer itu membuat suasana disekitarnya terasa lebih mengerikan. Liya tiba-tiba saja bergidik ngeri membayangkan bagaimana atensi ruangan saat guru killer itu marah.

Setelah selesai berdoa, seperti waktu yang sedikit tanpa ada basa-basi atau salam pembuka hal pertama yang ditanyakan oleh guru yang saat ini sedang berdiri dengan kedua tangan dibelakang itu adalah Pr. Catet! Tanpa basa-basi. Untung saja tadi Liya sempat mengerjakan, kalau tidak Liya tidak bisa membayangkan bagaimana nasibnya.

"Hufff... Untung saja tadi sudah selesai. Selamat, selamat."

***

Jam pelajaran selanjutnya tidak ada guru yang datang untuk mengajar, ini menjadi waktu yang paling ditunggu-tunggu oleh para murid yang malas belajar tetapi, juga malas meliburkan diri dirumah. Jam kosong. Kelas mendadak menjadi tempat konser, salah seorang murid membawa gitar kesekolah yang menjadi pengiring konser dadakan didalam kelas. Teman-teman yang lain tentu saja tidak tinggal diam, ada yang memukul meja, ada yang menjadikan kemoceng sebagai miceroffon—sang vokalis dan sisanya menjadi viewer yang sudah pasti ikut menyumbangkan suara-suara merdunya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 23, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

3¹=3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang