Prolog

1.5K 119 7
                                    

Sosok dengan jubah putih panjang melangkah dengan gundah. Langkahnya bergema di keramik granit yang sangat berkilau. Irisnya menatap langit, yang membentang tanpa ujung, dengan burung-burung yang terbang secara bebas. Sosok itu menghela napas berat, sesuatu yang mengganjal dan mengganggunya beberapa hari terakhir benar-benar menyebalkan.

Ia tak bisa menyingkirkannya dengan senang hati. Itu terus mengekorinya seperti bayangan, tak seperti dulu yang bahkan ia tak menganggap kehadirannya.

Pik! Pik!

Sosok itu mendongak, melihat burung yang menghampirinya. Ia tersenyum kecil, membiarkan burung itu hinggap di bahunya yang lebar. Ia mempersilahkannya bicara.

"Haahh, lagi-lagi itu terjadi." Suara berat seekor burung jantan menelusup ke dalam telinga sosok itu. Ia menarik sudut bibirnya ke bawah, cemberut. Burung itu terus berbicara, memberitahukan situasi saat ini berkecamuk. Sosok itu tak sepenuhnya fokus, ia menyapukan pandang ke burung-burung lain yang menyapanya sopan.

Tak! Tak! Tak!

Iris sosok itu melirik ke belakang. Ia sangat familiar dengan aroma parfum ini, jadi ia tak perlu menoleh untuk melihat siapa itu. Wanita bersepatu hak sedang itu berhenti di depan pintu balkon. Matanya yang sejernih dan seindah bulan menatap sosok itu. Ia mengantupkan mulut beberapa kali, sampai akhirnya benar-benar bicara.

"Kita tak bisa diam," kata si wanita.

Sosok itu menarik sudut bibirnya ke atas. Burung meninggalkan bahunya, terbang entah ke mana. Mengetahui betul bahwa ia tak boleh mengganggu mereka berbicara. Sosok itu tak berbalik, malah ia menopang dagunya di teras.

"Benar. Kita membutuhkan variabel lain."

Sosok itu mengusap wajah.

Who the Real Villain?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang