3.

4 0 0
                                    


"Kau telah membuatku marah."

Lakban yang melingkari pergelangan tanganku sama sekali bukan apa-apa. Setelah terlepas, dengan segera aku meraih sepatu heels merahku dan memukulkan kearah kepala si bos gila.

Si pirang berteriak kesakitan. Namun aku tidak akan memberinya kesempatan untuk kabur. Kembali kutancapkan ujung heelsku yang tinggi di kepalanya. Mencakar dan menonjok wajahnya sebelum meraih pisau buah yang ada di meja. Memang bodoh mereka, memberi peluang yang besar bagi kriminal sepertiku untuk menyerang mereka dengan mudah.

Kedua wanita tua tadi berlarian untuk menghampiri anak mereka yang telah tumbang dengan darah mengucur dari kepalanya. Si nenek berusaha meraihku namun pisau ditanganku bergerak lebih cepat. Pisau kecil itu menancap pada dadanya. Sekali tidak akan cukup. Aku menancapkannya beberapa kali di daerah lain dan mencabik-cabik tubuh tua itu hingga darah merembes memenuhi seluruh bajunya. Kemudian setelahnya aku menendang kepalanya hingga ia jatuh ke kolam renang dan tenggelam. Membuat sebagian warna air di kolam menjadi merah.

"ANAKKU!!!" si ibu dengan histeris terus meneriaki anaknya yang sudah terkulai lemas dengan darah yang masih mengucur dari kepalanya. Jika dilihat dari keadaannya sekarang dan sepatuku yang masih menancap, kemungkinan besar dia sudah mati.

"Kau!" Aku menarik rambut si ibu dengan keras. Membuatnya mendongak dan sedikit menjauh dari tubuh anaknya. "Kau tadi bilang apa yang telah aku lakukan bukan? Aku baru saja memberi pelajaran kepada anakmu."

Lalu aku menarik kepala si ibu hingga ia tersungkur di lantai pinggir kolam renang yang terbuat dari batu alam. "Sekarang giliranmu. Kau juga perlu diberitau bagaimana cara mendidik anak dengan baik!"

Aku berdiri, kakiku yang tidak terbalut dengan sepatu menginjak leher bagian belakang si ibu rambut merah. Suara tulang saling gemeletuk jelas terdengar. Tapi apa peduliku? Ia hanya manusia sombong yang tidak memiliki rasa hormat dengan manusia lain.

"Sakit tidak? Tapi ini tidak sesakit hatiku ketika harus melihat kakakku dipermalukan olehmu di depan semua petinggi dan karyawan." Kemudian aku berjongkok. Merendahkan diri untuk berbicara lebih dekat dengan si ibu gila satu ini. "Kakakku adalah orang yang baik. Namun kau memanfaatkannya dan memakinya sesukamu. Jika saja dia tidak memiliki diriku, mungkin ia akan hidup jauh lebih bahagia dari sekarang."

"Dasar kau bajingan!!"

"Kau lebih banjingan nyonya!!" aku kembali meraih rambut wanita tua ini dengan kencang. Menggerakkan tanganku untuk menggesekkan wajahnya pada lantai berhiaskan batu alam ini. Wanita itu terus berteriak, namun teriakan itu justru yang membuatku lebih bersemangat untuk menyiksanya.

Lantai cokelat itu kini telah berhiaskan noda merah yang sangat menyegarkan. Sangat merah hingga membuat siapapun merinding. Oh tapi itu belum cukup bagiku.

Setelah mengecek bagaimana rupa wajah cantiknya itu, aku kembali menyeret dirinya menuju ukiran batu yang cukup besar dimana terdapat nama keluarga mereka yang terletak di sisi lain kolam renang. Wanita itu masih hidup, masih bisa bernafas. Namun mungkin ia akan kesulitan berbicara karena bibirnya yang telah terkikis oleh lantai serta wajahnya yang mengelupas dibeberapa bagian.

"Lihat, ini adalah nama keluargamu. Bukankah kau sangat menyangi mereka? Kau bangga bukan?" Tidak ada reaksi sama sekali dari wanita itu. Bahkan sekedar gelenganpun ia tidak sanggup melakukannya. "Kalau kau mencintai mereka, kau boleh menciumnya."

Aku mengarahkan kembali wajahnya pada batu tersebut. Menggosokkan wajah yang telah terkelupas itu dengan kasar agar ia merasakan sakitnya. Tidak hanya itu, aku membenturkan kepalanya beberapa kali agar dia benar benar merasakan sakit yang pernah kurasakan dulu.

Don't Worry  [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang