2.

5 0 0
                                    


Tangannya terangkat. Jari telunjuknya tepat berada di depan mataku. "Kau.."

PLAKK

Kemudian ia menamparku dengan cukup keras. Menimbulkan suara yang dapat membuat semua mata tertuju pada kami. Aw.. cukup sakit memang. "Kau hanya salah satu karyawan bodoh di perusahaanku. Jangan berlagak." Pria itu menyeringai. Kemudian mengambil beberapa langkah mundur. "Tahan perempuan ini. Lalu seret dan bawa ia kepadaku nanti. Aku ingin menyiapkan hadiah terindah untuk masa depannya."

Pria sombong itu kemudian meninggalkan kami semua. Namun semua mata tetap tertuju kepadaku yang masih ditahan oleh 2 orang penjaga di sisi kanan dan kiri. Di sebelah lain halaman, kakakku masih berusaha untuk bangkit kembali. Sambil sedikit meringis ia menatap kearahku. Kemudian berlari sambil sedikit terseok untuk menghampiriku.

Matanya berair, namun itu semua tertutup oleh lebam pada pipi hingga area mata. Hanya aku yang tau jika ia sedang menahan tangisnya. Tangan kecilnya terulur, membelai pipiku. menyalurkan perasaan tenang agar aku tidak kembali berontak. "Kita kesini hanya untuk memenuhi undangan pesta. Tapi kenapa jadi seperti ini?"

Kali ini ia benar benar menangis. Air matanya jatuh hanya untuk hal yang sia-sia. Seharusnya ia menangisi dirinya sendiri, bukan adik perempuan yang hanya bisa mempermalukan dan menyusahkan hidupnya. Memiliki catatan kriminal membuat kakakku harus ekstra menjaga diriku. Ia yang selalu menahan emosiku jika suatu hal seperti ini terjadi. Agar aku tidak menambah panjang daftar kejahatanku.

"Sayang.. apa yang telah kau lakukan?" Tangisannya semakin deras. Orang-orang semakin ramai menonton kami. Namun pria kecil di depanku ini bahkan sama sekali tidak memperdulikannya. Jemarinya masih saja mengusap pipiku yang kotor dengan noda tanah.

Aku memejamkan mata sejenak. Berusaha berpikir dengan jernih meski itu sia-sia. Kepalaku kosong, tidak ada gunanya berpikir. "Kak, pulanglah, istirahatlah. Aku akan baik-baik saja di sini. Maaf tidak bisa mengobati lukamu."

Kemudian ia menggelang dengan ribut. Bibirnya melengkung kebawah dengan warna kemerahan pada ujungnya. "Sayangku, aku sudah berjanji kepada ibu-"

"Tidak kak! Pulanglah! Aku berjanji kepadamu kalau aku akan baik-baik saja. Tolong.. jangan khawatirkan aku kali ini."

Ia memejamkan mata. Kedua tangannya memegang pundakku sangat erat. Sedikit nyeri, namun aku merasakan getaran ketakutan dari remasan itu. Dengan lembut seperti biasa, ia memelukku dan mengusap rambut pendekku yang baru kupangkas tiga hari lalu. "Berhati hatilah. Aku selalu menyayangimu."

Pelukannya mengendur. Ia kembali menatapku sambil mengusap air mata di pipinya. "Apapun keputusan bos kita, aku akan selalu berjuang untuk kebahagiaanmu. Kau mengerti?"

Aku hanya mengangguk sambil terus mengamatinya meninggalkan lokasi pesta ini hingga punggung bergetar itu tidak lagi terlihat. Setidaknya, jika kali ini aku lepas kendali lagi aku tidak akan menyakitinya. Karena aku menyayanginya lebih dari apapun.

...

Bos gila itu adalah orang terburuk yang pernah aku temui selama hidupku. Setelah semua kejadian tersebut aku ditahan di sebuah ruang keamanan di sudut rumah dimana tempat tersebut terletak jauh dari lokasi pesta diadakan dan tanpa air sama sekali. Oh ayolah, aku sangat haus sedari tadi!

Aku ditahan dalam keadaan tangan terikat di belakang kursi. Lalu untuk apa dia susah-susah memblokir semua akses keluar jika aku bahkan tidak bisa bergerak? Meskipun bisa, akupun tidak berniat untuk kabur.

Pesta tidak berhenti hanya dengan kejadian kecil tadi. Semuanya tetap berjalan seolah aku tidak pernah hadir di tengah-tengah mereka. Dan kabar yang membuatku cukup terkejut adalah, seorang gay yang berpakaian serba merah muda, yang tidak sengaja diludahi didepannya oleh kakakku adalah kekasih dari bos gila tersebut. Mungkin ia sangat terkejut hingga mengira bahwa kakakku merendahkannya dan melaporkannya pada kekasih gilanya itu. Hah, salah paham ini membuat hariku semakin buruk.

Satu satunya pintu diruangan ini terbuka. Penjaga yang tadi diperintahkan untuk menjagaku berjalan mendekat. Kemudian ia melepaskan tali pengikat ditanganku sambil berbisik. " Hidup ini sudah berat. Jadi jangan menambah bebanmu sendiri nona."

Kemudian satu lagi penjaga tambun masuk kedalam ruangan dengan berisik. "Bagaimana gadis itu? Dia sudah siap? Bos memanggil."

Penjaga di dekatku mengangguk. Menarikku untuk berdiri dan berjalan bersamanya. Kemudian penjaga tambun itu juga memegangi lenganku yang lain. Ayolah.. sudah kubilang kalau aku tidak akan kabur! Tidak perlu memperlakukanku sebagai buronan.

Aku dibawa ke sebuah kolam renang rumah ini. Tempatnya tidak jauh dari pos tempatku ditahan tadi, namun masih cukup tertutup dari hiruk pikuk pesta diluar. Meski begitu, musik masih sayup-sayup terdengar.

Di sana telah duduk 3 orang penting dalam perusahaan. Si bos gila, ibunya dan neneknya. Sayang ayah dari si bos gila sedang ada dinas luar negeri sehingga mereka tidak bisa berumpul untuk menyidangku.

Aku didudukkan di kursi yang lumayan jauh dari mereka. Tanganku sudah tidak terikat, Mereka hanya melilitnya dengan lakban. Sungguuh payah, lakban seperti ini tidak akan mampu untuk membelengguku.

Wanita paruh baya dengan warna rambut merah dan kalung mutiara yang sangat besar itu memberi kode kepada para penjaga untuk meninggalkan kami. Entah apa maksudnya. Tapi apapun itu, mungkin mereka membuat keputusan yang salah.

"Kau tau apa yang telah kau lakukan?"

Wanita itu bertanya setelah kembali memfokuskan dirinya kepadaku. Matanya melirik kearah anaknya di seberang meja. Ohh.. kelihatannya si bos gila telah membersihkan lukanya.

"Beraninya kau melakukan ini kepada anaku! Siapa kau?" Wajah wanita itu menantang. Apa dia pikir aku akan takut padanya? Yang benar saja.

"Apa yang telah kakakmu lakukan kepada kekasihku?" Kini si kepala pirang melemparkan pertanyaan yang sebenarnya aku malas menjawab. "Dia meludahi kekasihku!"

Aku mendengus. Sedikit geli mendengar pernyataan dari di bos gila ini. Hey kakakku bahkan tidak pernah tau jika itu kekasihmu dan dia ada di sana. Jika bukan karena kebiasaan, kakakku tidak akan pernah melakukan hal seperti itu.

"Meludah? Seperti ini?" Kemudian aku meludahi si bos gila yang ternyata tepat mengenai sepatunya.

"KAU!!" Si pirang gila itu berdiri. Berjalan mengahampiriku dengan emosi yang sudah diujung kepala. "Beraninya kau!!" Jemarinya menyusup diantara rambutku dan menariknya. Beruntung karena rambutku yang pendek, si gila itu tidak dapat meraih banyak rambutku.

"Kau tau apa akibat dari perbuatanmu? Aku bisa membuat hidupmu dan kakakmu lebih menderita." Ucap bos gila itu tepat di depan wajahku. Mata oranyenya menatap nyalang kearahku. Mencoba membuatku gentar namun sepertinya gagal.

"Benarkah?" jambakan pria itu semakin mengerat. Rasanya sedikit sakit namun ini bahkan tidak membuatku merintih sekalipun.

"Kau.. si kriminal dan pembuat onar, apa kau pikir perusahaan ini serendah itu sampai mau menerima kriminal sepertimu? Tidak, itu semua karena kakakmu yang memohon dibawah kakiku untuk menerimamu bekerja di sini. Si lemah itu bersujud kepadaku hanya untuk adiknya yang tidak tau diri! Kau bodoh! Tapi kakakmu lebih bodoh!"

Rambutku ditarik dengan keras hingga aku dapat merasakan beberapa helai mungkin ikut tercabut. Namun, jemari itu masih belum mau melepasnya. "Setelah ini jangan harap kalian bisa bekerja lagi di perusahaanku." Kemudian si gila itu tersenyum. "Tapi mungkin dengan melihat kakakmu kembali bersujud dan memohon dihadapanku dan kekasihku, aku akan berbaik hati mempertimbangkan kalian lagi."

Napasku memburu, telingaku terasa sangat panas mendengar semua ocehan dari si pirang gila ini. Tidak, tidak akan aku biarkan kakakku kembali diremehkan oleh pria gila yang menyebut dirinya bos.

"Kau telah membuatku marah."

.

.

.

.

.

Don't Worry  [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang