Day 2: Merida→Seville

483 88 11
                                    

Perjalanan mereka dihabiskan dengan Zoro yang tertidur dan Sanji yang memandang sekitar dengan iris biru berbinar, terkesima pada setiap jalanan yang mereka lewati. Ia mengeluarkan ponselnya, merekam perjalanan seraya menarik napas dalam. Untunglah dia memutuskan untuk keluar dari zona nyamannya dan pergi mengikuti travel dalam grup bersama orang asing lainnya. Orang yang tidak pernah ia temui dalam hidupnya. Beberapa pergi dengan pasangan mereka, yang lain lagi dengan teman, ada pula keluarga, hanya Zoro dan Sanji yang nekat mengikuti tur tanpa siapa pun.

Sekitar 4 jam lebih perjalanan, kendaraan akhirnya tiba di ibu kota Extremadura, Merida. Pengiring tur turun terlebih dahulu dan menyambut kedatangan grup itu di sana. Sanji dapat melihat dengan jelas reruntuhan bangunan dari roman kuno. Sanji mendorong tubuh besar Zoro, membangunkan pria itu dari tidur nyenyaknya. "Ayo turun," ujarnya.

Setengah sadar, Zoro mengusap matanya dan berdiri, menuruni tangga kemudian menguap lebar. Sanji menolehkan kepalanya ke sekitar, menatap tempat yang kini tengah ia injak. Angin hangat musim panas berhembus, mengelus lembut helai pirangnya. Ia menatap pohon-pohon hijau yang berdiri tegak, menyegarkan pemandangan di antara reruntuhan batu yang tampak gersang. Helaan napas keluar dari bibirnya, takjub ketika kakinya diajak berjalan melewati amfiteater. Dengan cepat ia menyusuri tempat tersebut, membaca tulisan yang dipamerkan untuk mengenang sejarah.

Tangannya menyentuh teralis yang membatasi pengunjung atas dan yang ingin bermain ke bawah. Ia segera memegang ponsel, mengarahkan ke setiap sudut tempat teater terbuka itu. "Dulunya ini digunakan untuk pertunjukkan gladiator, situs arkeologi yang menarik ya kan?" Zoro yang sejak awal mengikutinya menyentuh kamera dan mulai memotret sekitar.

"Kau suka arkeologi?" tanya Sanji.

"Tidak sama sekali, aku menyukainya hanya kalau itu menarik, sepupuku pecinta arkeologi," jawab Zoro. Ia menarik napas sebelum melanjutkan. "Mungkin kau bisa bertemu dengannya suatu saat nanti," ia mengarahkan lensanya ke arah Sanji, memotret si pirang yang masih belum siap. Kemudian tawa meluncur dari bibirnya. Ia bersiul sebelum berlalu pergi, menjauhi amarah Sanji.

"Ah menyebalkan!" Sanji menekuk wajahnya.

Tangannya menyampirkan sebagian helai pirang ke belakang telinga dan kembali menatap situs peninggalan tersebut.

Waktu makan siang pun tiba. Sanji mendatangi Zoro yang sedang duduk menunggunya. "Ayo," Zoro berdiri dan merapikan topinya. "Restorannya hanya dua menit jalan kaki," ucapnya. Sanji mengangguk dan mengikuti Zoro. Perjalanan mereka ditelan kesunyian dengan hanya suara daun bergesekan sebagai teman. Tidak beberapa lama berjalan, Sanji melihat restoran bercat putih dengan beberapa kursi dan meja yang disusun rapi di luar.

Mereka duduk di meja luar dan mulai membaca menu yang disajikan. Sanji menyerah dengan membaca dan menyenderkan punggungnya pada kepala kursi. "Aku menu yang pakai ayam saja," ujarnya. Zoro mengangkat sebelah alis.

"Steak ayam panggang kalau begitu, punyaku... migas con huevo,"

Sanji tidak peduli ketika Zoro menyampaikan pesanan. Matanya hanya fokus menatap langit biru. "Cuacanya bagus," ia bersuara, menguap. Zoro menopang wajahnya dengan tangan, menatap si pirang yang hampir terlelap dibuai hembusan angin hangat. Si hijau memperhatikan struktur wajah pria pirang di depannya. Mulai dari lekuk hidung mancungnya, rahang lembut yang membingkai wajahnya, jenggot di dagunya, bahkan kelopak dengan bulu mata panjang yang berkedip pelan. Sebelah matanya yang selalu tersembunyi di balik helaian keemasan kini terlihat saat Sanji bersandar pada bahunya sendiri. Dua alis indahnya agak bertaut sebelum akhirnya melembut ketika ia tenggelam dalam mimpi. Kurva bibir merah mudanya terbuka, membiarkan dengkuran halus lolos. Tanpa Zoro sadari, bibirnya sudah membentuk senyum.

Sekarang grup sudah kembali ke dalam kendaraan dengan tujuan Sevilla, kota terbesar keempat di Spanyol. Sanji menunduk, rambut pirangnya menutupi wajah. Ketika bus berbelok, tubuhnya ikut bergerak ke samping, kepala kemudian jatuh di pundak si hijau. Zoro menoleh, melihat dua kelopak mata yang tertutup. Tangannya merapikan sebagian rambut pirang dan kembali bersandar pada kursi, menatap lurus jendela kaca di depannya.

At The Heart of Madrid Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang