Day 5: Seville→Cordoba→Granada

452 80 13
                                    

Sore itu mereka diberi waktu bebas untuk mengeksplorasi Sevilla atau berbelanja. Sanji mendapati tangannya sudah kembali berada dalam genggaman hangat pria berambut hijau, mengajaknya mengunjungi istana Alcazar. Mereka keluar dari dalam hotel dan menaiki taksi, mengantarkan keduanya kembali ke area Santa Cruz.

Mereka turun dari taksi setelah membayar dan pergi melewati jalan dengan bebatuan sebagai tapakan kaki. Sanji memandangi kedua kakinya yang berlapis kaus kaki putih. Saat makan siang tadi ia mengeluhkan rasa sakit pada kaki bagian belakangnya. Zoro segera mengecek kaki si pirang dan menemukan lecet. Ia merogoh kantungnya untuk mengambil plester luka lalu melepaskan kaus kaki miliknya sendiri untuk digunakan Sanji selama berjalan.

"Masih perih?" Zoro bertanya.

"Tidak," Sanji menggeleng, menguatkan genggamannya.

Si hijau tidak mengatakan apapun. Matanya hanya menatap lurus ke depan. "Ah itu dia, sudah kelihatan, ayo," langkahnya dipercepat, mendekati bangunan istana. Beberapa orang sudah nampak mengantri di depan istana, menunggu giliran masuk.

"Antrian tiketnya?" Sanji bertanya.

"Tidak perlu, aku sudah memesan di website mereka."

Si pirang mengangguk lugu. Iris birunya memandang jauh antrian yang tidak begitu banyak. Ia menengadah, memeriksa cuaca. Matanya menyipit. Walau matahari telah tertutup awan, udaranya tetap terasa panas. Merasa bosan, tangannya mulai menyentuh rambut, memelintir helai pirang yang menutupi setengah wajahnya. Zoro dapat memperhatikan lewat sela matanya, memilih terdiam hingga antrian sudah semakin maju. "Kau ini suka memainkan rambutmu kalau bosan ya?" tanyanya.

Sanji terkejut dan melepaskan helainya. "Kau memandangiku?" gerutunya.

Zoro tertawa rendah. "Not my fault," ujarnya memandangi iris biru si pirang yang membara. Sanji sekarang menghentikan kebiasannya dan hanya melihat antrian yang tinggal sebaris lagi. Bibirnya mengerucut lucu, merasakan malu luar biasa dari observasi yang dilakukan si hijau terhadap dirinya. "Kenapa berhenti? Keep doing it," Zoro bersuara.

"Why?"

"Why? Well, isn't it obvious, you look cute when you're doing that,"

Jantungnya berdebar lebih cepat daripada sebelumnya. "Ah, haha... ayo sudah giliran kita masuk," Sanji tertawa gugup. Manik tembaga Zoro menelusuri telinga putih yang memerah, kembali tersenyum.

Istana itu dipenuhi banyak turis bahkan di sore hari. Si pirang menginjakkan kakinya di halaman tengah istana, memandang kumpulan orang yang berfoto di depan pintu masuk. Zoro hanya menarik tangannya, melewati sekumpulan turis yang bergabung dalam tur Alcazar. Orang-orang yang memesan pemandu wisata menggunakan alat bantu pendengar di telinga mereka, memandangi interior istana selagi mendengarkan penjelasan mengenai sejarah bangunan tersebut. Ia kemudian tiba di depan sebuah halaman dengan kolam persegi panjang di tengah dengan penghalang di sekitar, tidak memperbolehkan pengunjung menginjak bagian halaman. "Yang ini tempat apa?" Sanji bertanya, penasaran menyelimuti.

"Patio de las Doncellas," Zoro membawanya berjalan mengitari koridor di samping. "Namanya mengacu pada legenda mengenai bangsa Moor yang meminta 100 gadis perawan pada kerajaan Kristen di Iberia setiap tahun sebagai persembahan,"

Sanji kemudian memandangi kolam persegi panjang di tengah area terbuka. "Airnya keruh," ia menunjuk.

"Perawatannya kurang," jawab Zoro. "Ayo jalan, kita masih bisa menemukan hal menarik lainnya," ucapnya, kembali menggandeng Sanji. Mereka berjalan melewati kerumunan manusia yang tengah memotret dan berbincang dalam bahasa yang tidak dimengerti Sanji. Lagipula dia ke Spanyol hanya berbekal kata sapaan dan terima kasih saja. Sisanya sih Sanji tidak paham.

At The Heart of Madrid Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang