05. SENYUM NANDA UNTUK CAKRA
"Semua manusia punya hati. Tapi tidak semua manusia hatinya berfungsi." - 1001 LUKA
"Aku tidak akan meninggalkanmu dalam keadaan apapun. Tapi aku akan pergi ketika kamu mulai mencintai orang lain." - Nanda Diniera
•••
"Aduh!" Nanda meringis sakit ketika bagian tulang belakangnya mengenai dasar lantai. Cewek itu mengangkat kepalanya dengan tubuh yang masih duduk di atas lantai. Nanda menyipitkan kedua matanya menatap pelaku yang menabrak dirinya. Kalau diperhatikan lagi cowok itu seperti tidak merasa bersalah bahkan tak ada niat sama sekali untuk membantunya berdiri. Dasar, cowok.
"Lo kalau jalan selain pake kaki. Mata lo juga dipake. Kalau nggak gitu lo sumbangin aja sana!" ucap cowok itu tiba-tiba. Cowok itu menggunakan seragam yang sama dengannya, namun berantakan tidak rapi sesuai peraturan di sekolah. Kancing seragam juga tidak ditutup dengan benar sampai kaos hitamnya terlihat. Dasi yang seharusnya sebagai pelengkap juga tak digunakan. Sabuk bahkan tak sesuai dengan logo sekolah. Cowok itu juga menggunakan kalung rantai dengan lambang kepala tengkorak di lehernya. Ada tindik kecil di telinganya. Nanda geleng-geleng mengamatinya.
"Aku minta maaf. Lagian nggak usah ngomel-ngomel, bisa?" Nanda bangkit dari posisinya. Membersihkan bagian belakang rok dan seragamnya yang kotor karena jatuh di tempat sembarangan.
"Kenapa lo nggak marah sama gue?" Cowok itu terheran-heran. Menatap Nanda aneh, menaikkan salah satu alisnya. Biasanya, kalau ia sendiri membuat kesalahan selalu saja ada yang marah-marah, terutama perempuan. Mereka akan lebih detail mengidentifikasi kesalahannya.
"Ngapain marah? Di sini aku yang salah karena jalannya nggak liat-liat, seperti apa yang kamu bilang tadi," Nanda mendongak menatap cowok yang memiliki tinggi tidak sebanding dengan dirinya. Ukuran tubuh Nanda hanya sampai pada setengah pundaknya.
"Lo nggak lagi caper sama gue?" Nanda menggeleng sambil membersihkan roknya yang kotor. "Sebegitu nggak tertariknya lo sama gue?"
"Enggak kok. Lagian kamu siapa sih? Percaya diri banget pengin aku tertarik sama kamu?" katanya Nanda, heran. Kening cewek itu mengkerut.
"Baru kali ini gue nemu cewek yang berani ngejawab. But, okelah. Sekalian cari pengalaman baru, buat cewek model baru juga."
"Aku udah punya pacar. Jangan macem-macem,"
"Siapa pacar lo? Sini gue banting,"
"Kita belum kenalan. Nggak enak kalau belum kenalan udah sok akrab," Nanda tersenyum pada cowok jangkung itu. Nanda mengulurkan tangan ke arahnya.
"Nanda Diniera. Kelas dua belas IPA empat," Cowok itu menerima jabatan tangan Nanda.
"Cakra Atmadja. Murid pindahan SMA Trisakti. Kelas dua belas IPA lima," Cowok itu menyeringai aneh membuat Nanda sedikit mengerutkan keningnya namun tetap tersenyum.
"Jadi gue panggil lo Diniera?"
"Nanda bukan Diniera," Nanda membenarkan.
"Nggak deh. Gue panggil lo Diniera aja. Biar beda dari yang lain. Anggap aja panggilan kesayangan," Cakra tersenyum jahil. Mengedipkan satu matanya genit membuat Nanda refleks memukul lengan Cakra kencang.
"Sakit bego,"
"Namaku Nanda. Jangan coba-coba ganti nama panggilan orang, Cakra. Nggak sopan," Nanda cemberut menatap Cakra kesal setengah mampus. Padahal masih pagi dirinya sudah dipertemukan oleh Cakra. Nanda sedang tidak ingin berdebat.