Morning Warmth

32 4 0
                                    


happy reading all !

"Ini roti pesananmu,"

Suara khas dari balik pintu, memecah fokusku yang sibuk memanjakan bunga-bunga hias. Aku melepas celemek, menaruh asal dimeja tamu, lantas merapikan rambut yang sedikit berantakan.

Laki-laki dengan sekeranjang roti tengah berdiri diluar toko, menungguku membukakan pintu. Wajah rupawan itu tampak agak masam dibandingkan pagi sebelumnya.

"Ah terimakasih, masuklah dulu." Aku tersenyum, mataku ikut tersenyum sangking tulusnya aku menuturkan senyum itu. Aku membawa roti-roti kedapur dengan cepat. Memotong beberapa, berharap makanan manis bisa mengatasi temanku yang terlihat agak murung hari ini.

"Lav,"

Aku menggulir pandang. Laki-laki itu sudah ada diambang pintu dapur rupanya. Alih-alih berkata, Aku berdehem pelan, melanjutkan meracik teh bunga.

Agak samar, namun aku bisa mendengar jelas helaan napas frustasi tersebut. Selesai menyeduh air panas kedalam cangkir berisi bubuk teh, aku berbalik, mendapati pria itu menyender lesu pada dinding.

"Ada apa denganmu?" Tanyaku, melipat tangan didada.

"Tidak."

Hanya mulut yang berkata tidak, tetapi raut wajah dan tingkahnya sangat jelas menunjukkan bahwa moodnya sedang tidak baik-baik saja. Aku mengambil beberapa potong roti, mengolesinya dengan mentega, kemudian menyuap sepotong roti lembut itu pada pria didepanku.

"Charlotte tidak mengenalimu lagi?"

Tampak dia mengangguk samar, menghela napas untuk kesekian kalinya. "Bahkan dia tidak mengingat namaku,"

Aku mendudukkan diri disebuah kursi kayu tua,  agak mencondongkan badan kebelakang. "Alzheimer itu penyakit yang mengerikan." Ucapku bergidik, sekalian prihatin.

Ngomong-ngomong pria sebagai lawan bicaraku sejak tadi ini adalah Nevan. Dia teman masa kecilku, kami tumbuh bersama layaknya saudara kandung. Namun karena pekerjaan yang menugaskannya mangarungi samudra, kami jadi jarang bertemu 2 tahun terakhir ini.

Dan, Nevan memiliki seorang adik perempuan. Ya, dia yang menjadi topik pembicaraan kami sedari tadi. Charlotte, gadis mungil berparas elok penderita Alzheimer itu merupakan jiwa raga Nevan. Tidak sekali dua kali, malaikat kecil itu melupakan sosok kakaknya karena penyakit yang dia derita. Aku merasa hatiku seperti tercabik-cabik, ketika melihat Nevan menangisi adiknya semalaman, atau menjadi murung seharian seperti saat ini.

"Ayo antarkan aku bertemu Charlotte,"

"Dia juga tidak akan mengenalimu, Lav."

Aku berdecih. "Aku hanya ingin bertemu sebentar saja." Menarik paksa pergelangan tangan pemuda itu. "Ayo."

Walau lesu, Nevan tetap mengekoriku. Dia jadi mirip seperti kukang yang baru bangun tidur.

__

Rumah berdinding putih polos terlihat indah, berpadu dengan tanaman rambat hijau segar. Sudah lama aku tidak berkunjung kemari, sekitar 6 bulan yang lalu, itupun aku hanya lewat untuk mengantarkan pesanan bunga dirumah tetangga.

Bukan tanpa alasan aku jarang mengunjungi kediaman Nevan, semua karena aturan dari sang pemilik rumah sendiri. Dia takut Charlotte berbuat kasar padaku jika Alzheimernya kambuh. Alasan klasik yang pastinya tidak masuk akal, namun aku tetap mematuhi apa yang Nevan katakan. Jelas itu untuk kebaikanku.

Aku mengetuk pelan pintu kayu berlapis cat putih, "Permisi." Ucapku lembut, seraya melangkahkan kaki masuk.

Disamping tangga Nevan tergelak, "kau sedang apa, sih?"

"Menuturkan kesopan santunan," Sahutku, menunduk anggun seraya memegang dada layaknya penasehat istana memberi salam pada rajanya.

Nevan menggeleng pelan. Nampaknya dia tidak habis pikir dengan tingkahku.

Yah.. setidaknya Nevan tertawa.

Aku memindai isi rumah dua tingkat tersebut sejenak. Dekorasi, barang-barang, maupun wangi khas tempat ini tidak berubah sama sekali. Atensiku beralih ketika Nevan membuka gorden dibalik pintu kamar seorang gadis. Dengan langkah kecil, aku menyusul masuk, aroma persik mengumbar memenuhi ruangan sederhana.

Diatas ranjang, malaikat kecil sedang memeluk lucu sebuah boneka kucing. Ah, mataku berkaca. Boneka kucing itu merupakan pemberianku tahun lalu, sebagai hadiah ulangtahun ke-8 Charlottte.

Aku duduk dipinggir kasur, menatap teduh wajah tenang yang sedang berlabuh dipulau mimpi. Perlahan kukecup kening Charlotte, mengusap surai keemasan miliknya.

"Lama tak bertemu putri kecil," Aku tersenyum, hatiku sedikit terenyuh melihat dia tertidur pulas.

"Andai aku berani mendekatinya sepertimu, Lav." Suara berat barusan memecah hening, Nevan duduk bersimpuh disisi lain ranjang, sambil terus menatapi Charlotte.

"Kau harus berusaha mendekatinya lagi." Aku mengganti posisi, menidurkan diri disamping Charlotte, menepuk pelan sekitaran pinggangnya. "Bukan malah galau tak jelas,"

"Maaf."

"Biar aku yang menjaga Charlotte mulai sekarang." Putusku tiba-tiba, "Jadi kau setidaknya bisa tenang selama pelayaran."

Disana Nevan tampak berpikir sejenak, dia merenung cukup lama.

"Akan merepot- ,"

"Kakak..."

Perkataan Nevan terpotong, lenguhan suara gadis baru bangun tidur terdengar. Charlotte mengerjap, masih setengah sadar agaknya.

"Selamat pagi," ucapku, saat gadis mungil itu tak sengaja beradu pandang denganku.

"Pagi juga, Lav."

Aku mengedikkan alis, memandang Nevan sekilas. Disitu aku terpaku, mungkin sedikit berlebihan, namun aku benar-benar terkejut. Charlotte mengenaliku.

"Hei, hei!" Nevan berbisik disisi lain ranjang.

Menyadari hal itu, aku memasang tampang bingung.

"Apa?" Kataku tanpa suara, hanya menggunakan mimik wajah.

Sang nahkoda kapal itu hanya menunjuk adik perempuanny dengan pandangan mata. Sepertinya aku paham, Nevan tidak ingin Charlotte shock karena kedatangan orang asing, yang sebenarnya kakaknya sendiri. Agak miris memang.

"Sweetie, coba lihat sebelah sana." Jari-jemariku menunjuk, yaitu dimana Nevan sedang terduduk tanpa pergerakan.

Mengikuti arahanku, Charlotte menggulir pandang. 

Gadis itu terdiam beberapa detik, lantas berkata. "Oh kakak, selamat pagi."

"Lihat, dia mengenalimu kan?"

Alih-alih menjawab, Nevan merengkuh tubuh mungil Charlotte, dia dekap penuh kehangatan. Mencium kening dan pipi adiknya beberapa kali,  netra hijaunya nampak berkaca-kaca.

Tak ingin menggangu lepas kasih kakak beradik itu, aku memilih untuk keluar mencari udara segar. Kembali kututup gorden yang membatasi kamar, lalu berangsur pergi menyapa sang mentari diluar.

are u ready to next part?

LlovenderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang