Makan Siang

3 0 0
                                    

Disclaimer!
Cerita ini cuma karangan fiksi.
Semua ide cerita murni dari penulis (mungkin kedepannya akan ada part yang terinspirasi dari pihak lain. Tenang, bakalan diberi watermark kok!)

Happy reading
With Love
Yell.Ownthor 💛

.
.
.
.

Setelah Wulan pamit, kini waktunya Dewi yang mengurus dua anak kembarnya yang ternyata sudah keluar dari kamar mereka masing-masing. Hana melenggang menuju dapur untuk makan siang bersama Rohan, tapi kembaran cowoknya itu pergi ke halaman belakang untuk melihat kucing peliaraannya.

“Tadi ibu ada buat pudding untuk kalian, ambil aja di kulkas. Ibu ke kamar duluan, ya. Jangan lupa istirahat”

“Makasih, bu”

Rohan tiba setelah memberi makanan untuk Bunga—nama kucingnya—lalu mengambil bangku di sebelah Hana duduk dan mulai mengambil nasi serta lauk yang sudah tersedia di atas meja. Mereka makan dengan tenang, lalu Rohan yang mulai iseng menendang kaki Hana di bawah.

Kalau Hana sih cuek-cuek saja, dari dulu ini sudah menjadi kebiasaan Rohan entah tujuannya untuk apa, Hana hanya diam dan makan dengan tenang kecuali jika Rohan mulai mencomot lauk yang sengaja Hana sisihkan untuk dimakan terakhir.

Kalau sudah begitu Hana akan mengelitik pinggang Rohan sampai lauk yang tertusuk di garpu mental ke lantai, sekarang sudah kejadian kok, buktinya tangan Rohan menahan tangan Hana yang hendak memungut kembali nugget ayam yang tergeletak di lantai.

“Perasaan gue nggak ada apa-apain elo deh hari ini. Kok nugget gue yang jadi korban”

Rohan hanya terkekeh memperlihatkan kedua matanya yang melengkung jika tersenyum atau tertawa. Lalu ia mengambil dua nugget dari piring lauk ke piring milik Hana,

Sorry, nih gue kasih jatah nugget punya gue”

Ditengah makan siang mereka, Hana mulai teringat dengan tante Wulan yang bertamu tadi.

“Btw, elo kok bisa ingat sama tante … siapa namanya? Wulan? Ya itulah. Kok gue agak lupa gitu, tapi gue ingat dulu kita punya tentangga yang suaminya orang bule”

“Ingat dong, kan dulu kita sering main sama anaknya”

Hah?

“Siapa? Kok gue nggak ingat?”

Rohan memakan suapan terakhir makan siangnya lalu berdiri menuju wastafel kemudian mencuci peralatan makannya. Dari kecil mereka sudah diajari untuk membersihkan barang-barang milik mereka sendiri, kata ibu biar terbiasa untuk tidak selalu bergantung pada orang lain dan bisa lebih mandiri.

Meskipun Rohan cowok tapi ia biasa-biasa saja tuh dengan pekerjaan rumah, bahkan tugas membersihkan rumah pun ia sering bergantian dengan Hana. Lagian di jaman sekarang menjadi mandiri itu cukup penting untuk diri sendiri dan tentunya tidak merepotkan orang lain, tetapi bukan berarti kita tidak mau menerima bantuan dari orang lain jika memang ada keadaaan yang mendesak.

Setelah meletakkan piring dan sendok di samping wastafel, Rohan mengambil gelas lalu mengisinya dengan air minum.

“Jangan bohong, nggak ingat elo dulu yang nangis waktu tante Wulan sama anaknya pindah?”

“Serius, Han. Hmm … maksudnya bukan nggak ingat sama sekali, cuma gue lupa gimana dia dulu. Wajahnya aja masih samar-samar di ingatan gue”

Hana pun telah selesai dengan makan siang juga kegiatan mencuci alat makan, lalu meminum air yang tadi sekalian Rohan sediakan untuknya. Biarpun kadang menyebalkan, Rohan ini peduli dengan saudari kembarnya itu. Kadang kalau salah satu dari mereka tidak ada di rumah, mereka akan terus bertanya kepada orangtua mereka kemana perginya. Namun ketika sudah di rumah, pura-pura saling tidak peduli padahal sebelumnya selalu bertanya hingga mulut berbusa.

“Tadi gue denger kalau anaknya tante Wulan mau balik ke sini, tapi nggak tahu kapan. Tunggu aja, entar juga elo ingat lagi. Masa first love sendiri nggak ingat. Huuuu!”

"Apaan, sih? Pake first love segala”

Lagi-lagi Rohan hanya tertawa kecil lalu mereka kembali ke kamar masing-masing untuk tidur siang, setengah hari ini cukup melelahkan karena dari pagi tadi mereka sudah belajar di tempat bimbel untuk mempersiapkan diri mengikuti tes masuk perguruan tinggi negeri yang memang terkenal di kota ini, mau tak mau mereka harus ekstra belajar demi bisa lolos seleksi tes nantinya.

Tiba di kamar Hana tak langsung tidur, ia teringat dengan perkataan Rohan barusan. Memangnya siapa anak tante Wulan? Kenapa bisa ia lupa padahal waktu mereka masih kecil dulu sering main bersama?

Wajahnya masih samar-samar di pikiran Hana, ia benar-benar tak ingat bagaimana perangai anak si tante Wulan itu, bahkan nama pun ia lupa. Ah! Sudahlah! Ia mau tidur siang untuk meredakan otak yang sudah pusing dengan banyaknya materi di bimbel hingga membuat mata berkunang-kunang—Hana memang melebih-lebihkan sesuatu jika sudah ada hal yang membuatnya pusing—ditambah dengan sosok anak tetangga mereka yang belum jelas bagaimana bentuk dan rupanya.

Tak lama kemudian, dengkuran halus sudah terdengar dari bibir tipis Hana. 

Dua Musim SemiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang