[38] Tak Berguna

21.8K 2.4K 13
                                    

STEVANNO melebarkan matanya, tak percaya. Di hadapannya, dia melihat ayahnya sendiri menembak Leona dengan seringai khasnya.

"Itu yang kamu mau, Stevan?" tanya Arham, menoleh ke arah Stevanno. "Kamu tau, kalau dia gak terlibat sama kamu, dia gak akan mati di sini. Ya, kan?"

Stevanno buru-buru meraih ponsel Leona yang tak jauh dari posisinya. Dia mencoba menelepon nomor darurat. Arham hanya diam saja, menyaksikan semua itu dengan senyumannya. Stevanno yakin, meskipun kepolisian tau bahwa Arham adalah dalang dari kekacauan di sini, Arham tetap memiliki cara untuk menyumpal mulut polisi dan bersih dari tuntutan apapun. Kalian tau, itulah yang paling berbahaya jika seseorang memiliki uang.

"Lo..." Stevanno menunduk dalam. Semua serpihan kejadian malam ini mengambang di kepalanya, membuatnya pusing, kaget, dan bingung di saat yang bersamaan. "Lo udah sepenuhnya ngancurin hidup gue."

"Papa gak pernah ada niatan kaya gitu," ucap Arham, memberi jeda. "Kalau bukan kamu yang mancing. Secara gak langsung, kamu yang udah bunuh Leona malem ini, Stevan."

Stevanno mengepalkan tangannya geram. Dia berjalan dengan gusar ke arah pria yang sama tinggi dengannya itu, menarik pistol tersebut dan membuangnya ke arah tembok, membuat isi pistol itu keluar. Stevanno menarik kerah baju pria yang ada di hadapannya, menatapnya lekat dengan amarah yang menggelegak. "Gue bukan mainan lo, anjing."

Arham yang semula menyeringai, lantas memasang wajah datar ketika kerah bajunya di tarik oleh Stevanno. Lihatlah, dia sudah membangunkan singa dari tidurnya. Sejak dulu, Stevanno adalah anak yang pendiam dan dingin. Dia terlalu cuek dan tak pernah menampakkan emosinya di hadapan siapapun. Namun, kini, kedua mata itu memancarkan amarah yang mendidih dan Arham yakin, jika saja Stevanno sama bejatnya dengan Arham, mungkin Arham sudah mati di tangan Stevanno saat ini.

Namun, jika Stevanno membunuh Arham di sini, maka tak ada bedanya dia dengan Arham. Itu artinya, dia sama bejatnya dengan Arham, bahkan lebih buruk lagi karena membunuh orang tuanya sendiri.

"Lo gak pernah ngizinin gue untuk bahagia," ujar Stevanno. Air matanya mulai mengalir, meskipun tatapannya penuh amarah. Air matanya keluar bukan sepenuhnya karena sedih. Perasaan marah lebih mendominasi di dalam dadanya dan pria yang di hadapannya ini adalah penyebabnya.

"Papa tanya sama kamu," Arham memberi jeda. "Apakah kebahagiaan adalah syarat untuk hidup?"

Stevanno hanya diam, tak membalas apapun.

"Ada banyak orang yang sedih di dunia ini dan mereka tetap hidup," sambung Arham. "Kamu pikir, Papa pun bahagia?"

"Orang sebejat lo harusnya gak berhal ngomongin kehidupan," Stevanno menarik kerah baju Arham semakin erat. "Kalau lo gak bahagia, lo gak punya hak untuk bikin orang lain ikut gak bahagia. Lo gak punya hak untuk ngancurin ketenangan orang lain."

"Kamu pinter dan selalu juara kelas di sekolah," ucap Arham. "Tapi, jangan kamu pikir kepintaranmu itu bisa bikin kamu menggurui Papa di sini, Stevan. Lepasin Papa sekarang."

Stevan melepaskan tangannya dari pakaian Arham. "Andai gue bisa milih untuk gak dilahirin sebagai anak lo."

Arham terkekeh mengejek. "Kalau kamu bukan anak Papa, mungkin kamu udah jadi gelandangan di luar sana."

"Kalau itu bisa bikin gue lebih bahagia, itu gak masalah," ucap Stevanno.

PHAR!

Satu tamparan mendarat mulus di pipi kiri Stevanno.

"Setelah semua drama ini selesai, pulang ke rumah, Stevan," ujar Arham, berlalu. Setelah semua kekacauan yang dia sebabkan ini, dia bisa setenang itu dan meminta Stevanno pulang. Tak lebih dan tak kurang, dia meminta Stevanno pulang karena masih ingin menjadi wayang dari jalan hidup anaknya sendiri.

Stevanno tertawa. Lelaki itu tertawa dengan air mata yang mengalir di pipinya. Sepersekian detik, dia terduduk di posisinya. Dengkulnya sudah terlalu lemas karena dia pun kehabisan tenaga untuk menanggung kesedihan, amarah, takut, dan kaget di saat yang bersamaan.

"Gak berguna," gumam Stevanno, mulai menangis, menutup matanya dengan jemarinya. "Gue adalah orang paling gak berguna karena lahir dari laki-laki kaya lo."

Posisi ini adalah posisi terlemah dari Stevanno. Terakhir kali dia peduli dan bisa tersakiti seperti ini adalah ketika kedua orang tuanya berpisah. Sejak itu, dia berubah menjadi dry ice yang tak pernah peduli dengan kondisi baik dan buruk yang di sekelilingnya. Yang dia ketahui hanyalah dirinya sendiri. Namun, saat ini... dia tak pernah membayangkan bahwa dia bisa selemah ini.

Tak lama kemudian, Stevanno dapat merasakan seseorang memeluk tubuhnya dari belakang. Stevanno membuka matanya, menoleh ke belakang. Stevanno melebarkan matanya ketika dia melihat seorang wanita paruh baya yang memeluk tubuhnya erat. Wanita yang selama ini selalu menghilang darinya, yaitu Laudia, ibu kandungnya.

Stevanno membalas pelukan Mama Laudia. Sangat erat dan sangat hangat. Pelukan inilah yang selalu dia rindukan. Setelah belasan tahun pelukan ini menghilang, akhirnya Stevanno dapat merasakannya lagi. Rasanya tak berubah sama sekali.

"Leona bakalan baik-baik aja," kata Mama Laudia, mengusap punggung Stevan. "Rebecca yang mengurus soal Leona, barusan."

"Tante Rebecca?"

BelongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang