Bab 3 : SUKA DAN DUKA

8 1 0
                                    

suka dan duka tidak ada yang beda. Sama-sama akan mengalami kehilangan.

Suara alunan falling in love with you – Elvis Presley yang di cover oleh Alexander Porat mengalun lembut di seluruh penjuru ruang cafe siang ini. Hujan diluar cukup deras jika memutuskan untuk pulang lebih awal.

Aku masih menikmati secangkir matcha latte kesukaanku yang sejak tadi belum tandas sampai ke dasar cangkir seraya melihat betapa ramainya pengunjung yang datang sore ini. Namun, tetap menenangkan karena mendengar lagu yang kalau kata orang- aku banget.

For I can't help falling in love with you

Mendengar itu aku tersenyum lirih. Liriknya seakan mengatakan jika itu ditujukan untukku. Tidak bisa berhenti dan tidak bisa maju.

Tadi, sebelum aku pergi ke kampus, aku sudah feeling untuk membawa payung keluar karena cuaca telah mendung, namun entah kenapa aku batal mengambilnya dan berakhir di cafe ini dengan tugas yang menumpuk.

Aku mulai membaca beberapa jurnal penelitian untuk bahan laporanku dengan hikmat. Suara hujan yang semakin deras membawaku untuk lebih serius pada bagian hasil penelitian jurnal. Sunggu siang hari yang menyenangkan.

"Ting!" Suara bel cafe berbunyi tanda seorang pengunjung masuk. Aku cukup jelas melihat siapa yang datang sebab aku duduk menghadap pintu masuk. Ia mengacak rambutnya yang basah akibat hujan yang deras. membersihkan ujung celananya yang sedikit terkena percikan air dari aspal.

"Mas, matcha latte nya satu, ya." Ujarnya ramah pada barista coffe yang sudah siap untuk membuat pesanan pelanggannya. Aku tertegun. "Yang hot mas, terus less sugar."

Pria itu menyapu pandangan seluruh cafe untuk mencari bangku yang kosong. 

'Deg!'

Jantungku berulah lagi.

Ia menatapku sebentar, kemudian tersenyum ramah. Tidak! Aku tidak bisa diam saja! 

"Permisi." Ucapnya sopan. Ia menyapaku dengan sopan. Sungguh! Aku gak lagi mimpi!

Aku langsung gagap bukan main,"I-iya?" ucapku terbata.

"Kamu anak Nusa Bangsa, ya?" Kata pria itu yang entah tau dari mana.

"I-iya." Sumpah, ya. Aku sudah merutuki diri sendiri yang tremor dari tadi.

Ia menatap sekilas bangku kosong didepanku, Mungkin ia ingin duduk di bangku itu. Matanya menatap ragu, hingga akhirnya ia melanjukan kalimatnya,"Boleh saya duduk disini?"

"Iya, boleh Chav."

Eh?

Bentar?

Kenapa aku sebut namanya?

Bentar!

Siapapun tolong selamatkan aku dari sini!

###

Bangun pagi dengan semangat pagi di hari senin. Aku  mandi sebelum melakukan solat subuh agar kantukku hilang.Sungguh Ola yang manis dan rajin mandi. Setelah itu, aku langsung sholat subuh. Setelah Doa panjang selepas sholat aku memebereskan mukenahku dan melipat sajadah. Aku hendak membangunkan Iren - teman sekamarku untuk mandi dan sholat subuh, namun ternyata ia sudah bangun. 

"Ola, tadi ibumu telepon waktu kamu sholat." Kata Iren sambil memberikan handphoneku yang ia pegang.

Aku agak kaget saat diberitahu begitu. Kalian tahu kan maksudku? Jam-jam tidak wajar untuk seseorang menelpon. Aku mengambil ponsel dari tangan iren dan melihat notifikasi whatsapp.

Ibunya Ola

Ola, Om Indra sudah tidak ada lagi.

Hanya sebaris, namun mampu membuat semua otot-ototku lemas dan tak bertenaga. Kakiku seakan tak lagi memiliki kekuatan untuk menopang sampai akhirnya aku tiba-tiba terjatuh. Mataku berkaca-kaca membayangkan betapa terpukulnya semua keluarga kami.

Om Indra adalah adik kedua ayahku. Pasti ayah merasa sangat kehilangan apalagi hanya beliau saudara ayah. Usia ke 25 ternyata adalah akhir dari jatah hidup almarhum di dunia. Ia bahkan belum menikah karena masih mementingkan pendidikan S3 di Yogyakarta. Iren yang melihat isi pesan ibu tanpa bertanya padaku ikut syok dan memeluk untuk menguatkan.

Aku bergegas berdiri dengan sisa kekuatan yang ada. Bersiap untuk keberangkatan kereta api pukul 07.00 WIB.

"Ola, ayo makan dulu." ucap Iren dengan wajah khawatir. Aku tersenyum lesu. 

Iren langsung memberikanku sepiring nasi dan telur goreng mata sapi kesukaanku. Aku makan dengan air mata yang jatuh perlahan. Di usapnya pundakku agar aku tetap kuat. Sungguh, aku beruntung telah dipertemukan oleh orang seperduli Iren.

"Aku akan ikut kamu, ya. Aku khawatir kalau kamu harus pergi sendirian dalam kondisi begini." Aku ingin mengatakan tidak perlu, tapi ia langsung pergi ke kamar mandi. Bergegas untuk bersiap-siap. Tidak lupa aku mengingatkannya agar segera sholat subuh sebelum waktunya telah habis.

Sesampai di rumah duka aku melihat nenek dan ibu saling berpelukan. Ku datangi mereka untuk memeluk dengan penuh rasa duka yang mendalam.

"Kita harus ikhlas, sayang." Ucap ibu seraya menghapus air mataku.

Aku menggangguk paham dan melihat seluruh ruang tamu untuk mencari keberadaan ayah. Nihil. Saat diluar tadipun ayah tidak ada. Aku khawatir sekali dengan ayah karena beliau sangat dekat dengan om Indra.

"Kamu sudah makan?" Ibu datang dari kamar untuk menenangkan nenek yang sudah tidak sanggup berjalan. Aku mengangguk tanda mengiyakan.

Kemudian setelah merasa lelah karena menangis aku menghampiri Iren yang setia duduk tak jauh dariku. Ia kemudian menyalami ibu dan nenek untuk mengucapkan belasungkawa. Aku mengajaknya ke kamar tamu agar ia bisa istirahat karena perjalanan 3 jam pasti melelahkan.

Di hari ke 7 setelah kepergian pamanku, aku masih di kampung halaman dan merasa sangat berat untuk pergi secepat itu. Iren sudah pulang lebih dulu di hari ke 3 karena ada pratikum yang tidak bisa ia tinggalkan.

Ia adalah mahasiwa Pendidikan Biologi yang seangkatan denganku. Kami kenal karena dulu ia mengajakku untuk satu kos bareng. Saat itu aku belum mengenal Kalista, jadi aku mengiyakan tawaran Iren sejak semester pertama kami bertemu dan ternyata kami bisa memahami satu sama lain.

Aku membersihkan wastafel setelah selesai mencuci piring. Kulihat ayah masuk ke dapur dengan tatapan seperti 7 hari lalu. Hampa. matanya sayu dan tubuhnya mengurus. pasti banyak kenangan manis yang di tinggalkan om Indra dengan ayah semasa hidup didunia.

"Ayah sudah makan?" tanyaku dengan hati-hati. Aku menggenggam tangah ayah dengan lembut. Ku salurkan seluruh kekuatanku agar merasa lebih baik, meski aku tidak tau apakah itu berpengaruh.

Aku cukup dekat dengan ayah, namun untuk bertanya sesuatu di saat seperti ini rasanya kurang nyaman, sebab ayah lebih banyak diam dan melamun di teras rumah.

"Belum, nak." Jawabnya dengan suara pelan. Sontak, aku langsung mengambil piring dan menyedikan makan untuk ayah. Ia tak berselera, meski lauk pauk yang dimasak ibu adalah makanan favorit ayah sejak menikah dengan ibu.

Ia tersenyum manis, namun itu membuat hatiku seperti di tusuk jarum berkali-kali. sakit." Putri ayah sudah dewasa, ya." Gumamnya pelan namun masih dapat aku dengar.

Mataku memanas sampai seperti ada bendungan yang tidak bisa aku tahan lagi."Iya, tapi aku belum bisa buat ayah bahagia." Dan, akhirnya air mataku mencair. Mengalir begitu saja. Tangan ayah mengusap air mataku perlahan. 

"Sejak Ola lahir, Ola sudah buat ayah dan ibu bahagia."

Ah, kalian tau kan bagaimana rasanya?

CAVOLA (Chava dan Ola)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang